Optika.id. Surabaya. Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan yang besar dan kuat perlu memperkuat aspek politik kebangsaan, tutur Prof Dr Zainudin Maliki dengan santai di resto hotel Elmi, Surabaya, Rabu 18/5/2022. Politik kebangsaan itu adalah politik undang-undang (PUU), politik distribusi kekuasaan (PDK), dan politik alokasi anggaran (PAA), urai anggota Komisi 10 DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) dari PAN (Partai Amanat Nasional).
Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur yang aktif di kegiatan politik sejak mahasiswa IAIN Sunan Ampel ditahun 1970an itu selalu memandang politik kebangsaan diperlukan oleh Muhammadiyah, baik dilihat dari sisi kelembagaan maupun jamaahnya, kata mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya. Jika organisasi sosial keagamaan besar tidak mampu berperan dalam 3 aspek politik besar itu, PUU, PDK, dan PAA, maka gampang dipinggirkan. Di sinilah urgensinya perlu ada banyak tokoh Muhammadiyah menguasai 3 aspek politik besar itu, tuturnya.
Baca juga: 112 Tahun Muhammadiyah dan Harapan Masyarakat
Perlunya Berperan dalam PUU
Menurut Zainudin, negara modern seperti Indonesia semua kehidupan masyarakat diatur dalam undang-undang atau aturan hukum. Kecuali beberapa aktivitas peradaban masih diatur oleh konvensi atau kebiasaan, urainya lebih lanjut.
La kalau semua kehidupan diatur oleh undang-undang maka siapa yang bisa kendalikan undang-undang maka dia kendalikan bangsa, kata Zainudin kepada reporter Optika.id dalam wawancara khusus. Di situ pentingnya orang bisa berperan mewarnai undang-undang. Semua kehidupan masyarakat Indonesia diikat oleh undang-undang atau aturan hukum yang berlaku, imbuhnya.
Kalau membicarakan politik undang-undang atau aturan hukum kan harus membicarakan siapa yang ada di sana, ujar Zainudin. Lebih lanjut dia katakan bahwa komposisi dan dominasi pembuat policy atau undang-undang sangat mewarnai isi undang-undang itu. Kalau kelompok nasionalis dominan di sana maka nilai-nilai dan kepentingan nasionalis mewarnai undang-undang, keterangannya lebih detil. Menurut Zainudin, di balik lahirnya suatu undang-undang atau aturan hukum itu penuh dengan perdebatan, konflik, intrik, dan intimidasi. Itu yang tidak banyak diketahui masyarakat umum, kata Zainudin.
kami yang tarung di parlemen tidak banyak diketahui masyarakat. Jumlah kelompok Islam kan tidak banyak karena itu banyak undang-undang lolos dari sana karena ada bargaining dan intimidasi kelompok nasionalis, urainya.
Baca juga: Khofifah: Muhammadiyah adalah Pilar Kemajuan Bangsa dan Kemanusiaan
Dikisahkan oleh Zainudin tentang perdebatan membuat undang-undang minuman keras atau minuman beralkohol. Kami, kelompok Islam menentang rancangan itu, tapi dari pihak sana ngotot untuk meloloskan. Mereka mayoritas. Bagi mereka undang undang tentang minuman beralkohol itu diklaim 50 persen adalah konstituennya. Mereka bahkan mengancam kalau pihak Islam tidak setuju maka mereka akan menaikkan angka parliamentary threshold (PT) sangat tinggi yaitu 8 persen ke atas.
Kalau PT sampai 10 persen kan habis orang Islam di Parlemen. DPR akan diisi mereka semua. Parpol sedikit di DPR dan itu mereka semua, urainya.
Kami coba negosiasi tapi susah sekali. Tawarannya naikkan PT atau setujui undang-undang mereka, kenang Zainudin. Hal-hal intimidasi, negosiasi, dan tekanan politik seperti itu sering dialami oleh kelompok Islam. Inilah yang menyebabkan undang-undang kontroversial bisa lolos. Di mata masyarakat kan tampaknya kami ada di sana, tapi kami seolah diam saja. Bahkan dikesankan kami setuju. Memang akhirnya kami tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyodorkan aturan penjualan, distribusi, pemakian, pembelian, dan pola impornya harus ketat dan terkontrol. Hanya itu jalan tengah jika kami nggak mau PT naik, urai mantan pegawai Kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Timur itu.
Baca juga: Paus Fransiskus Desak Penyelidikan Genosida Israel di Gaza, Ini Tanggapan Muhammadiyah
Menyaksikan realita politik keras di DPR itulah maka tokoh atau kader Muhammadiyah harus banyak yang masuk ke parlemen. Kader harus sebanyak-banyaknya agar kita bisa mewarnai undang undang. Menurut Zainudin, kader Muhammadiyah boleh masuk lewat partai apa saja asal bisa lolos di DPR, DPRD Provinsi, dan Kabupaten/Kota agar kepentingan atau nilai Muhammadiyah bisa mewarnai undang undang. Minimal isi undang undang atau aturan hukum tidak menyudutkan atau merugikan umat Islam. Karena itu baik Pimpinan Pusat Muhammadiyah hingga Daerah perlu memberi keleluasaan kadernya jadi kontestan pemilu. Termasuk kelonggaran menjadi kader parpol, simpulan Zainudin.
Tulisan Aribowo
Editor Amrizal Ananda Pahlevi
Editor : Pahlevi