Optika.id - Rasa kaget langsung menyeruak begitu mendapat kiriman sebuah foto dari seorang jurnalis yang mengabarkan bahwa bangunan klenteng Boen Bio dibongkar, senin 27 Juni 2022. Tampak dari frame foto, bahwa bangunan tua dari abad 19 dan 20 itu sudah bersih kecuali dinding dinding samping (sisi barat dan timur). Bangunan Klenteng yang dimaksud adalah unit bangunan bagian belakang.
Untuk mengetahui lebih jelas mengapa ada pembongkaran, maka berbagai pihak langsung dihubungi penulis mulai dari ketua TACB kota Surabaya Dr. Retno Hastijanti; Sekretaris TACB Prof. Purnawan Basundoro; dan salah satu panitia pembangunan Liem Tiong Yang.
Baca juga: Peringatan 100 Tahun Perjalanan HP Berlage ke Surabaya
Menurut Prof. Purnawan Basundoro bahwa bangunan yang dibongkar adalah bangunan yang tidak termasuk bagian bangunan yang tercatat sebagai bangunan Cagar Budaya.
Yang tercatat sebagai Cagar Budaya adalah bangunan utama saja, bagian depan," jelas Purnawan Basundoro.
Hal senada juga dikuatkan oleh Ketua TACB Kota Surabaya, Dr. Retno Hastijanti yang dihubungi lewat Whatsapp (WA) pada Senin siang, 27 Juni 2022
Njih mas, yang belakang bukan BCB," jawab Retno Hastijanti singkat.
Ia juga menjelaskan bahwa pihak Boen Bio sudah lama merencanakan pemugaran Boen Bio. Baru terlaksana pada tahun 2022. Pemugaran bangunan Klenteng hanya pada bangunan belakan, bukan pada zona initi yang dipakai sebagai tempat ibadah.
Bangunan klenteng Boen Bio ini memang terdiri dari dua unit bangunan. Bagian depan adalah bangunan utama yang menjadi tempat ibadah umat Kohungcu. Sementara bagunan yang ada di belakang adalah bangunan penyanggah. Bangunan penyanggah inilah yang dipugar.
Tinjau Lapangan
Untuk mengetahui kondisi fisik pemugaran, maka penulis langsung mendatangi lokasi yang beralamat di jalan Kapasan Surabaya pada senin sore (27/6/2022). Dari depan (jalan Kapasan) memang tidak terlihat ada kegiatan Pemugaran. Bahkan ketika masuk ke dalam klenteng, juga tidak terlihat aktivitas. Kecuali di teras depan klenteng, terdapat tumpukan barang barang termasuk sepasang kipas angin gantung kuno. Ini pertanda adanya kegiatan sehingga terdapat barang barang yang diletakkan di sana.
Tidak lama setelah penulis mengamati suasana di bagian teras dan dalam klenteng, datanglah Liem Tiong Yang, salah satu panitia pembangunan, menghampiri penulis.
Penulis memang sudah ada janjian untuk bertemu Liem Tiong Yang. Karenanya, Liem langsung memberikan buku proposal pembangunan sambil menjelaskan kegiatan pemugaran dan latar belakang pemugaran.
[caption id="attachment_30827" align="aligncenter" width="788"] Penulis menemui panitia pemugaran, Liem Tiong Yang di lokasi proyek.[/caption]
Kami tau apa yang sedang kami lakukan dengan pemugaran terhadap klenteng Boen Bio ini. Bangunan utama klenteng tetap berdiri karena bangunan itu adalah berstatus Cagar Budaya. Sementara bangunan yang ada di belakang tidak Cagar Budaya, meski bangunannya adalah bangunan lama yang sejaman dengan bangunan klenteng. Tapi kami juga tidak menghabiskan semuanya untuk pemugaran ini. Kami sisakan tembok bangunan pada sisi kiri dan kanan yang berlanggam arsitektur Tiongwa," terang Liem Tiong Yang sambil mengajak penulis melihat proyek pemugaran.
Tembok kiri dan kanan, yang masih membingkai jendela dan ventilasi, masih berdiri. Untuk menjaga keamanan dalam proses pembangunan, kedua sisi tembok yang masih berdiri itu disanggah oleh kaki kaki besi agar tidak roboh. Semua pondasi bangunan lama masih in situ alias pada tempatnya. Sementara untuk pondasi baru, dibuat paku bumi dengan cara mengebor dengan kedalaman 20 meter.
Menurut Liem, rencananya akan didirikan bangunan 3,5 lantai, dimana lantai satu akan dipakai lahan parkir, lantai dua untuk ruang sekolah dan lantai tiga untuk ruang pertemuan dan kegiatan kegiatan budaya seperti latihan barongsai yang membutuhkan langit langit tinggi.
Pemugaran ini untuk menunjang sarana kegiatan sosial, pendidikan dan budaya. Dengan sarana yang lebih representatif untuk mendukung kegiatan sosial, pendidikan dan budaya, maka ruang klenteng yang selama ini bercampur dengan kegiatan sosial dan budaya akan terpisah dengan ruang sosial dan budaya. Sehingga ruang klenteng khusus dipakai untuk kegiatan keagamaan," tambah Liem.
Proses pemugaran yang dilakukan ini mewarisi cara cara para pendahulu. Yaitu bersifat terbuka donatif. Jika dulu pembangunan klenteng atas donasi publik dan nama nama donatur diabadikan pada prasasti bulat yang tertempel pada dinding klenteng, maka pemugaran ini juga dibuka donasi bagi siapaun yang berminat berdonasi. Menurut Liem, nama nama donatur yang berdonasi di atas 10 juta, maka nama namanya akan diabadikan dalam prasasti.
Baca juga: Menyongsong Hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya
Upaya menjaga dan melestarikan nilai nilai sejarah dan budaya, menurut Liem, adalah dengan menggunakan materialan lama pada kontruksi baru. Ia juga berencana mengumpulkan peninggalan materialan masa lalu untuk artefak edukatif sebagai bahan informasi.
Selain materialan bangunan, juga ada foto foto yang menjadi bahan informasi sehingga pengunjung dan pengguna gedung akan tau seperti apa perwujudan gedung lama, tambah Liem.
Liem juga menunjukkan buku proposal yang isinya selain Rencana Anggaran Belanja (RAB), juga gambar gambar design bangunan, serta surat surat ijin pembangunan yang sudah dikantongi dari Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, Cipta Karya dan Tata Ruang serta (2021) serta dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (2021). Selain itu proyek pemugaran ini juga mendapat surat imbauan dari Walikota Surabaya, Eri Cahyadi. Pemugaran yang diperkirakan menelan biaya sekitar 12,5 M ini akan selesai tahun depan (2023).
Zonasi
Dalam Undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang dimaksudkan dengan zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan dengan tujuan mengatur fungsi ruang pada Cagar Budaya, baik Vertikal maupun Horisontal.
Zonasi ini yang menentukan boleh tidaknya suatu bagian (benda, struktur dan bangunan) yang ada pada lingkungan Cagar budaya diubah.
Sayang, sebagian besar bangunan atau komplek bangunan Cagar budaya di Surabaya belum memiliki penetapan zonasi.
Mestinya penentuan zonasi ini harus dilakukan sebelum penetapan sehingga ketika ditetapkan, bangunan Cagar Budaya itu telah diketahui batas batas keruangan baik secara horizontal maupun vertikal termasuk bangunan mana yang utama, pentanggah dan pendukung, kata Ir. Yayan Indrayana, pegiat sejarah Begandring Soerabaia yang membidangi arsitektur dan bangunan Cagar budaya.
Sementara menurut UU 11/2010 tentang Cagar Budaya, sistim zonasi dapat terdiri dari zona inti, penyangga, pengembangan dan penunjang. Berdasarkan batas batas zona itulah, dapat diketahui mana yang boleh dipugar dan yang tidak.
Baca juga: Badan Pengelola Cagar Budaya Masuk Perda Cagar Budaya Kota Surabaya
Sedangkan menurut Ketua TACB Kota Surabaya, Ir. Retno Hastijanti, kebanyakan BCB belum memiliki ketetapan zonasi, karena PP umumnya belum memiliki ketetapan batas zonasi karena
Sementara ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan zonasi baru diatur dalam peraturan pemerintah yang baru turun pada 2021, maka banyak Cagar budaya di kota Surabaya belum memiliki penetapan zonasi.
Menurut Retno Hastijanti bahwa penzonasian harus dilakukan oleh pemilik BCB dengan menyewa konsultan. Karena harus menyewa konsultan yang berbiaya dan bai yang tidak punya dana, maka pemkot akan mempertimbangkan untuk membantu dengan membahasnya di TACB langsung.
Harusnya, dari hasil konsultan zonasi, baru dibahas di TACB, jadi TACB tinggal memberi rekomendasi dengan memvalidasi hasil/produk konsultan tersebut, jelas Retno.
Untuk sekarang, sebelum dilakukan penetapan, maka perlu dilakukan zonasi, namun tidak harus sampai mendetail karena sifatnya lebih kepada analisis kepentingan atau yang menunjang kepada penetapan: bagian mana dari bangunan tersebut yang paling penting, untuk nantinya di tuangkan dalam deskripsi CB tersebut, tambah Retno.
Kalau begitu siapapun yang akan melakukan pemugaran atas BCB yang dimilikinya harus memiliki surat penetapan zonasi. Karenanya peraturan ini harus disosialisasikan kepada masyarakat luas.
Oleh: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya/Begandring Soerabaia)
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi