Optika.id - Kurang lebih selama dua tahun, Dita (24) lulus dari perguruan tinggi, akan tetapi kesempatan bekerja tak kunjung datang kepadanya. Tak terhitung sudah berapa banyak lamaran yang dia kirimkan ke beragam perusahaan, akan tetapi panggilan wawancara belum mengunjunginya.
Padahal, semasa kuliah dia begitu yakin kalau setelah lulus -berbekal ijazah dan pengalaman di unit kegiatan mahasiswa (UKM), dia bisa mendapatkan pekerjaan sesuai harapan.
Baca juga: Pertamina Buka Rekrutmen Agustus 2024, Panduan Jadwal, Syarat, dan Cara Daftar!
Saya merasa sudah cukup sibuk saat kuliah, banyak kegiatan. Modal kuliah beberapa tahun dan pengalaman di UKM saya pikir akan mudah dapat kerja setelah wisuda, kata Dita pada Optika.id, Rabu (28/9/2022).
Pada awalnya Dita memiliki ekspektasi dan gambaran bisa bekerja sesuai dengan keahlian yang dia miliki serta bidang yang digemarinya, yakni Sastra Indonesia. Setelah dia lulus dari salah satu universitas negeri di Surabaya, dia langsung menyebar curriculum vitae (CV) dan berkas lamarannya ke beberapa perusahaan yang relevan dengan bidang studinya.
Beberapa waktu berlalu tanpa hasil, Dita akhirnya memutuskan untuk menurunkan ekspektasinya. Dita tak lagi berharap mendapat pekerjaan ideal seperti angannya. Akhirnya, dia menyebar lagi CV ke perusahaan dengan jangkauan industri dan bidang usaha yang jauh lebih beragam. Mulai dari penulis, reporter, hingga marketing dia coba.
Dalam benak Dita, yang terpenting saat ini ialah harus segera bekerja, apapun posisinya bakal dia jalani. Menurutnya, keinginanya untuk bekerja di perusahaan dengan posisi tertentulah yang menjadi pembatasnya menemukan pekerjaan.
Saya sempat down hampir dua tahun menganggur. Akhirnya saya coba turunkan impian-impian saya, yang penting kerja dulu aja, keluhnya.
Akan tetapi, waktu berlalu selama dua tahun dan hal tersebut menjadi bumerang bagi dirinya kala dia mendapati fakta bahwa persaingan bakal semakin banyak. Posisi yang dia lamar pun jadi semakin jah dari jurusan, minat dan bakatnya. Dalam benaknya, ada rasa sesal karena merasa tak punya bekal pengalaman. Hal ini sempat membuatnya sedikit terpuruk.
Mengapa Sulit Mendapat Pekerjaan?
Dita hanyalah satu dari jutaan fresh graduate yang susah mendapatkan kerja setelah lulus kuliah. Bayangan manis iming-iming mudahnya dunia kerja dari cuap-cuap mereka yang telah mapan seakan mengaburkan harapan mereka.
Dilansir dari data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juni 2022, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,4 juta orang atau sekitar 5,83ri total 208,54 juta penduduk usia produktif atau usia kerja.
Dari 8,4 juta orang yang menganggur, 14%-nya atau sekitar 1,1 juta merupakan lulusan diploma dan sarjana (S1). Jika dikorelasikan dengan data statistik pendidikan tinggi Indonesia, setiap tahun Indonesia menghasilkan lebih dari 1,7 juta orang sarjana baru. Maka tak heran, kian banyak fresh graduate yang tidak terserap lapangan pekerjaan.
Selama ini, pendapat wajar yang mengemuka dari penyebab sarjana yang banyak menganggur disebabkan oleh jumlah lowongan atau kesempatan kerja yang terbuka sangat terbatas.
Akan tetapi, HR Officer sekaligus Psikolog Klinis, Lale Agit Diah Arini memandang ada faktor lain penyebab tidak terserapnya banyak fresh graduate. Penyebabnya ialah berasal dari faktor internal fresh graduate itu sendiri.
Agit, sapaannya, menilai jika banyak lulusan baru yang sangat lemah dalam aspek soft skill terutama berkaitan dengan attitude dan mental kerja.
Fresh graduate dulu dan sekarang sangat berbeda dari kepribadian dan pola pikirnya. Hampir 75% fresh graduate yang pernah saya interview itu gak mampu menghadapi situasi dunia kerja, ucap Agit ketika dihubungi, Rabu (28/9/2022).
Saat ini tidak jarang ditemukan fresh graduate yang pada tahap awal saja sudah terlihat menyerah ketika diberi tugas pertama atau dijabarkan tugas kerja yang akan diemban.
Agit menilai jika hal tersebut juga bisa dikaitkan dengan isu mental health yang saat ini ramai dibicarakan. Secara tidak langsung, banyaknya informasi atau kisah di media sosial tentang tekanan dunia kerja dan dinamikanya membangun keinginan bagi fresh graduate untuk terhindar dari tekanan-tekanan tersebut.
Imbasnya, fresh graduate juga berharap agar perusahaan yang mempekerjakan memiliki situasi kerja yang minim tekanan agar mereka terhindar dari burnout dan stres kerja. Di sisi lain, dampak sosial dari terpaparnya referensi dari sosial media tentang mental health jadi terbentuk di mind map atau peta pikiran perusahaan ideal itu seperti apa.
Ironisnya, ekspektasi yang tinggi terhadap perusahaan itu tidak dibarengi dengan kemampuan serta pengetahuan yang memadai tentang posisi yang dilamar di perusahaan tersebut.
Firdaus Amri selaku praktisi PR (Public Relation) menjabarkan sulitnya fresh graduate mendapatkan pekerjaan setelah lulus diakibatkan sikap idealis yang dimiliki. Misalnya, semangat mengejar passion bekerja di perusahaan ternama, maupun alasan lain. Logisnya, kata Firdaus, semakin picky dalam memilih, semakin terbatas pilihan dan kesempatan.
Ketika idealisme masih menjadi pegangan, ujar Firdaus, waktu terus berjalan cepat. Ujungnya, terjadi gap year dan ada kesenjangan waktu, dimana persaingan semakin banyak, lulusan baru terus ada, dan bakal menjadi kompetitor ke depannya.
Baca juga: Kesempatan Karier di Istana Kepresidenan Cipanas 2024: Rekrutmen PPNPN, Cek Syarat dan Daftarnya!
Tak hanya itu, masih ada masalaah lain yang dihadapi yakni minimnya pengalaman yang dimiliki atau gap competencies. Gap competencies juga menjadi penghalang diterimanya pelamar lulusan baru itu di pekerjaan. Kondisi ini terjadi saat individu matang secara teori tetapi tak bisa mengaplikasikannya di pekerjaan keseharian.
Membenahi Peran Kampus yang Nyaris Tak Relevan
Sejumlah personalia di beberapa perusahaan secara garis besar menyebut jika minimnya soft skill dan pengalaman masih menjadi alasan utama banyaknya fresh graduate belum terserap dunia kerja.
Soft skill seperti cara berpikir, berkomunikasi, mengemukakan pendapat, sopan santun, dan lain sebagainya merupakan hal yang tak dimiliki banyak sarjana. Padahal, praktik terkait hal basic seperti itu sudah diterima selama duduk di bangku perkuliahan.
Totok Soefijano Pengamat Pendidikan Perguruan Tinggi menjelaskan jika mahasiswa sudah memiliki banyak kesempatan dalam mengasah keterampilannya ketika berkuliah, terutama ketika berlangsung proses pembelajaran di dalam kelas.
Kendati demikian, Totok menyebut jika kini kampus perlu mendorong agar mahasiswa aktif berkegiatan di luar aktivitas akademik. Berkegiatan di luar menurut Totok tak hanya memberikan mahasiswa kesempatan dalam mengembangkan lebih banyak soft skill, akan tetapi juga bisa menjadi pengalaman atau hard skill.
Dirinya mengakui sekarang sudah banyak perguruan tinggi yang mewajibkan mahasiswa untuk mengembangkan kegiatab di luar kampus atau non-akademik sebagi salah satu persyaratan kelulusan. Dia mengapresiasi ketentuan yang dikenal dengan nama Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI).
Namun, dia juga khawatir jika mahasiswa hanya mengejar bukti tertulis dari kegiatan di luar kampus tersebut. Sebabnya, kampus menjadikan kegiatan non-akademik tersebut sebagai syarat pendaftaran skripsi belaka. Dengan demikian, Totok merasa manfaat dari kegiatan yang diikuti tak diperoleh.
Idealnya kampus memantau dan mengkurasi kegiatan yang diajukan untuk masuk SKPI. Kegiatan non-akademik itu mestinya organik sifatnya, benar-benar sesuai minat dan bakat mahasiswa, tidak perlu formalitas seperti sertifikat atau surat resmi, ujar Totok.
SKPI, sambung Totok, tidak menjamin mahasiswa benar-benar mendapatkan apa yang mnjadi tujuan awal kebijakan ini. Hal itu sama seperti proragm Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang menurutnya tidak relevan sama sekali dengan kebutuhan dunia kerja.
Menurutnya, yang lebih pas yakni kampus dan Kemendikbud menjalin kerja sama dengan dunia usaha secara sistematik dan berkesinambungan.
Baca juga: Rekrutmen Staf Komnas Perempuan Dibuka sampai 20 Juli 2024
Jadi, bidang KKN atau magang mahasiswa bisa lebih selaras (aligned), tidak asal kerja di luar kampus, tuturnya.
Lulusan Baru Dituntut Perbanyak Pengalaman
Faktanya, di lapangan tak sedikit fresh graduate melamar pekerjaan hanya bermodal IPK tanpa memiliki pengalaman mumpuni yang bisa diandalkan dalam CV mereka. Firdaus, dalam hal ini, membocorkan jika banyak perusahaan yang enggan merekrut lulusan baru. Pasalnya, mereka dianggap membutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar.
Terlebih untuk perusahaan yang masih dalam kategori expanding. Cost efficiency buat mereka itu segalanya. Jadi mereka memilih membayar lebih untuk yang berpengalaman daripada investasi waktu dan energi untuk selulusan baru, urainya.
Baiknya lulusan baru juga penting dalam membuka mata mereka terhadap fakta bahwa tidak banyak perusahaan yang bersedia mempekerjakan mereka yang tak berpengalaman.
Oleh karena itu, sebagai langkah awal ketika duduk di bangku kuliah penting dalam meluangkan waktu menjalani kegiatan non-akademik seperti pekerjaan part time (paruh waktu), organisasi, seminar, serta kegiatan lain yang menunjang soft skill dan membangun mental yang kuat untuk menghadapi berbagai tantangan.
Dan, yang juga harus dimiliki oleh lulusan baru perguruan tinggi untuk bisa bekerja, adalah mengubur ego dan gengsi. Kedua hal ini biasanya menjadi penghalang kesempatan kerja terbuka lebar.
Harus diingat pula, bahwa pekerjaan pertama dapat menjadi bekal penting untuk melangkah mendapatkan pekerjaan-pekerjaan selanjutnya. Dan, tak ada kesuksesan yang diperoleh secara instan.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi