[caption id="attachment_34017" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Nanang Purwono[/caption]
Optika.id - Mbah Deler, begitu warga lokal menyebut makam orang Belanda di lingkungan Yani Golf, Gunungsari. Surabaya. Mbah Deler dianggap orang pintar. Kenyataannya, ia memang orang pintar karena banyak membantu warga, baik orang Belanda maupun orang pribumi, khususnya ketika Surabaya menghadapi wabah penyakit cacar pada awal abad 19.
Baca juga: Peringatan 100 Tahun Perjalanan HP Berlage ke Surabaya
Jika warga lokal menyebutnya Mbah Deler, itu karena lidah mereka tidak bisa mengucapkan nama yang lengkap. Nama lengkapnya adalah Fredrik Jacob Rotenbuhler. Ia adalah pejabat tinggi di wilayah Ujung Timur Jawa yang disebut Gezaghebber. Rotenbuhler, begitulah orang Belanda menyebut.
F.J. Rotenbuhler adalah pejabat Vereneeging Oost Indisch Compagnie (VOC), yang disebut Gezaghebber untuk wilayah Ujung Timur Jawa (Gezaghebber op Java's van den Oosthoek). Ia berkuasa di wilayah Ujung Timur Jawa (1799-1809), yang ber ibukota di Surabaya.
Jabatan yang disebut Gezaghebber pun juga diucapkan berbeda oleh warga lokal (pribumi). Mereka menyebutnya Sakeber. Maklum lidah lokal. Rohthenbuhler menjadi Deler. Gezaghebber menjadi Sakeber.
F.J. Rotenbuhler sebagai pejabat VOC mulai menjabat sebagai Gezaghebber di saat VOC diambang kebangkrutan, 1799. Suasana di Surabaya juga dianggap tidak menentu pada masa peralihan itu. Akibatnya di awal awal ia menjabat, 1799, ia tidak bisa berbuat banyak. Kecuali ia menunggu hingga keadaan stabil dan ada pemerintahan baru yang definitif.
Memasuki tahun 1800 pemerintah sudah beralih dari VOC ke Hindia Belanda dimana di negeri Belanda sendiri dipengaruhi oleh Perancis. Akibatnya, perubahan di Belanda juga berimbas di Hindia Belanda. Sistim pemerintah Belanda-Perancis mewarnai Hindia Belanda dan ini berlangsung selama 11 tahun. Selama periode itu sempat berganti-ganti Gubernur Jenderal di Hindia Belanda.
[caption id="attachment_46739" align="aligncenter" width="788"] Makamnya menyendiri dalam sunyi dari ramainya kota.[/caption]
Gubernur Jenderal Hindia Belanda di era pemerintahan Belanda-Perancis mulanya dijabat oleh Pieter Gerardus van Overstraten (1800-1801), Johannes Sieberg (1801-1802), Albertus Hendrikus Wiese (1802-1808), Herman Willem Deandels (1808-1811).
Di era Pemerintahan Hindia Belanda, yang menggantikan pemerintahan VOC, pejabat yang berkuasa di daerah daerah sudah bisa mulai bekerja berdasarkan sistim pemerintahan yang baru. Pejabat daerah termasuk di wilayah Ujung Timur Jawa yang ber ibukota di Surabaya, F.J. Rotenbuhler (Mbah Deler) sebagai Gezaghebber (Sakeber) juga mulai bekerja maksimal.
Ada 3 hal penting yang terjadi dan dihadapi oleh Rotenbuhler di Surabaya selama ia menjabat sebagai Gezaghebber. Pertama terkait dengan upaya menghadapi wabah penyakit cacar yang menular. Kedua terkait dengan usaha pribadi sebagai pengusaha. Di era VOC, seorang pejabat pemerintahan (penguasa), juga menjalankan bisnis dagangn sendiri (pengusaha). Ketiga adalah terkait dengan masuknya pasukan Inggris ke Surabaya. Inggris selama itu memang sudah ancang ancang akan masuk ke Surabaya tapi sudah diantisipasi oleh Gezaghebber sebelum F.J. Rotenbuhler, yaitu Dirk van Hogendorp, dengan mendirikan perbentengan. Di era F.J. Rotenbuhler, Surabaya kebobolan. Inggris berhasil memasuki Surabaya.
F.J. Rotenbuhler Disanjung dan Diasingkan
Dari tiga peristiwa di masa Rotenbuhler, ada dua yang menjadikan ia bagai menenggak madu dan racun. Menenggak madu mengibaratkan peran dan perbuatan positif dan baik bagi lingkungan, yaitu bagi warga: baik orang Eropa sendiri maupun orang pribumi. Ini karena jasa Rotenbuhler yang memberikan vaksinasi cacar kepada warga sehingga melindungi mereka dari virus cacar.
Ditulis dalam Oud Soerabaia (GH von Faber), bahwa tidak mudah memberikan vaksinasi cacar kepada warga. Ketika vaksin akan disuntikkan ke anak anak orang Belanda, mereka menolak dan mengatakan agar vaksin terlebih dahulu disuntikkan kepada anak anak orang pribumi sebagai percobaan.
Begitupun dengan warga pribumi. Mereka juga takut menerima suntikan yang belum dikenal sebelumnya. Rotenbuhler pun harus mengeluarkan uang sebagai imbalan kepada anak warga pribumi yang mau disuntik. Sebagai percobaan, ia membutuhkan 15 anak. Untuk 9 anak pertama, ia memberikan 10 sampai 20 ringgit kepada masing masing orang tua anak yang disuntik. Sementara untuk 6 anak sisanya, ia harus mengeluarkan uang lebih banyak. Setiap anak diganti 1.000 ringgit karena Rotenbuhler harus membeli dari orang yang berstatus budak.
Dari percobaan itu, akhirnya ia bisa menyuntikkan vaksin kepada warga Surabaya baik yang Eropa dan Pribumi. Meski masih tercatat ada angka kematian, tapi vaksinasi cacar relatif bisa menyelamatkan warga, terutama bagi warga pribumi. Karenanya, F.J. Rotenbuhler dipandang sebagai orang pintar bagi lingkungan dia bertempat tinggal, tepatnya setelah ia lengser dari jabatan Gezaghebber pada 1808. Warga lokal menyebut dan memanggil Mbah Deler.
Baca juga: Menyongsong Hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya
Sebelum meninggal, ia memang tinggal di kawasan hutan yang bertanah tinggi di Gunungsari. Gunungsari adalah deretan pegunungan Kendeng yang jauh dari kota, benedenstad van Soerabaia, yang sekarang dikenal di kawasan Jembatan Merah. F.J. Rotenbuhler (Mbah Deler) meninggal pada 21 April 1836 dan dimakamkan di tanah yang paling tinggi di Gunungsari. Hingga sekarang (2022) warga setempat masih mengenal bahwa makam yang kini terletak di lingkungan Yani Golf Surabaya itu adalah Makam Mbah Deler.
Sebutan Mbah dalam kultur setempat memiliki konotasi dan makna orang pintar. Kepintaran yang dimaksudkan oleh warga setempat adalah karena jasa jasanya dalam menyelamatkan warga dari wabah (pageblug) penyakit cacar. Ia dihargai dan dihormati semasa hidupnya selepas dari menjabat sebagai seorang Sakeber. Ia lepas jabatan pada 1808 dan Ia meninggal pada 1836
Sebaliknya, dimata pemerintah Hindia Belanda, yang kala itu dikepalai oleh Gubernur Jendral Albertus Hendrikus Wiese (1802-1808), Rotenbuhler justru diasingkan. Pengasingan ini karena di wilayahnya (Surabaya) telah kebobolan dengan masuknya orang orang Inggris. Akibatnya, semula ketika menjabat, ia tinggal di Istana Simpang (sekarang Grahadi), kemudian ketika diasingkan ia tinggal di hutan Gunungsari hingga meninggal pada 21 April 1836
Jejak kematian F.J. Rotenbuhler ini masih dapat dilihat karena kuburannya bertengger di titik tanah tertinggi di lingkungan Yani Golf Surabaya. Dari tempat ini, dulu, pemandangan ke arah utara, bisa terlihat kawasan Kota. Kiranya hukuman yang diterima oleh Rotenbuhler, ia hanya bisa memandang Surabaya dari kejauhan. Di hutan Gunungsari inilah Rotenbuhler hidup dengan lingkungan warga pribumi hingga ia meninggal dunia.
Gunungsari dari Masa ke Masa
Gunungsari, tepatnya di lingkungan dimana makam Mbah Deler berada adalah lingkungan yang sudah lama menjadi konsentrasi permukiman. Di kawasan perbukitan ini, di selatan Kali Surabaya dan kali Pulosari di sisi timurnya, diilustrasikan dimana sebuah perbentengan pernah ada.
[caption id="attachment_46740" align="aligncenter" width="721"] Gunung sari menjadi saksi bisu pertahanan kota Surabaya di era Perang November 1945.[/caption]
Selain ada makam Rotenbuhler yang berangka tahun 1836, di kawasan sekitarnya juga terdapat makam kuno yang usianya jauh lebih tua. Disana juga ada lemah murup (tanah bernyala api). Maklum di kawasan ini memang memiliki kandungan minyak dan gas yang sudah menjadi eksplorasi perusahaan minyak pemerintah Belanda. Tak heran jika kawasan Yani Golf dan lahan hotel disebelahnya tercatat menjadi aset Pertamina setelah ada nasionalisasi dari perusahaan minyak di era Hindia Belanda, Shell.
Baca juga: Badan Pengelola Cagar Budaya Masuk Perda Cagar Budaya Kota Surabaya
Di kawasan perbukitan Gunungsari di era November 1945, juga menjadi saksi bisu pertempuran Surabaya. Di sana pejuang Surabaya mempertahankan kota setelah didesak mundur dari sektor tengah. Mereka mundur hingga titik perbukitan Gunungsari. Ketika Gunungsari berhasil dikuasai Sekutu, maka di saat itulah Surabaya secara total dikuasai Sekutu. Peristiwa pertahanan terakhir Surabaya di Gunungsari ini terjadi pada akhir bulan November 1945.
Karena peristiwa sejarah dalam mempertahankan Surabaya secara fisik dan mempertahankan kedaulatan secara non fisik, sebuah produksi film dokumenter yang berjudul Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi diproduksi. Ceritanya adalah menggambarkan bagaimana pejuang pejuang Surabaya mempertahankan Surabaya di titik Gunungsari.
Pengambilan gambar itu dilakukan di sekitar tempat ditemukannya tulang tulang dari 4 pejuang. Teridentifikasi bahwa mereka adalah Soetojo, Samsoedin, Soewondo dan Soewardjo. Nama nama itu telah terukir pada monumen yang dibangun di area lapangan golf di sekitar ditemukannya tulang tulang. Namanya monumen Kancah Yudha.
Di Gunung sari inilah, para pejuang yang tergabung dalam TRIP atau Tentara Republik Indonesia Pelajar berjuang melawan serangan tentara Inggris mempertahankan wilayah Gunungsari Surabaya pada tanggal 28 Nopember 1945.
Gunung sari menjadi titik bersejarah yang menjadi salah satu latar (setting) pembuatan film dokumenter Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi, yang diproduksi TVRI Jatim yang bekerjasama dengan Pemerintah Kota Surabaya, FIB Unair dan Komunitas Begandring Soerabaia dkk.
Penulis: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya/Begandring Soerabaia)
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi