Oleh: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya/Begandring Soerabaia)
Baca juga: Menyongsong Hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya
Optika.id - Jika Anda pernah berkunjung ke Museum Surabaya di gedung Siola di Jalan Tunjungan, di sana terpajang sederetan foto foto walikota Surabaya mulai dari era Hindia Belanda hingga Pasca Kemerdekaan (sekarang). Walikota terkini adalah Eri Cahyadi (2020-2024). Sementara walikota pertama di era Hindia Belanda adalah A. Mayroos (1916-1920).
Berbicara tentang sejarah Surabaya, khususnya sejarah pemerintah Kota Surabaya, diketahui bahwa Pemerintah Kota Surabaya (Gemeente van Soerabaja) mulai ada sejak 1906. Kehadiran Kotamadya Surabaya ini ada kaitannya dengan desentralisasi yang serentak di Hindia Belanda pada awal abad ke 20.
Desentralisasi merupakan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab atau kekuasaan untuk menyelenggarakan sebagian atau seluruh fungsi manajemen dan administrasi pemerintahan dari pemerintah pusat dan lembaga-lembaganya ke pemerintahan daerah atau lokal.
Pemandangan dari balkon kantor Residen Surabaya
Bagi Kota Surabaya, pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat Batavia (kini Jakarta) ke Surabaya terjadi pada 1 April 1906. Maka jadilah Surabaya sebagai Gemeente (kotamadya). Sejak itu sistim pemerintahannya menjadi Kotamadya (Gemeente), yang wilayah teritorialnya tidak lagi seluas wilayah Kabupaten Surabaya dan Karesidenan Surabaya.
Surabaya sebagai sebuah kota, dalam perjalanan sejarahnya pernah menjadi ibukota bagi wilayah pantai utara Jawa bagian timur (Java's Oosthoek) yang dikepalai oleh seorang Gezaghebber atau Sakeber.
Kantor Residen Surabaya
Kemudian Surabaya juga pernah melayani sebagai ibukota Karesidenan Surabaya. Secara klasik, Surabaya juga pernah menjadi bentuk Kabupaten. Hingga sekarang Surabaya masih menjadi ibukota propinsi Jawa Timur dan sebagai Kota Surabaya (perubahan dari Kotamadya Surabaya).
Secara mandiri Surabaya menjadi sebuah kota setelah sebelumnya bernama Kotamadya (Gemeente). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kota madya adalah kota yang merupakan ibu kota daerah tingkat dua (setingkat dengan kabupaten). Wilayahnya dikepalai oleh seorang wali kota.
Dalam konteks kebahasaan, istilah kota madya sebetulnya merujuk pada kota. Sejak diberlakukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sebutan untuk Kotamadya ini secara resmi diganti dengan Kota. Maka sejak itu nama Kotamadya (Gemeente) Surabaya berubah menjadi Kota Surabaya.
Baca juga: Badan Pengelola Cagar Budaya Masuk Perda Cagar Budaya Kota Surabaya
Gemeente, Pemerintah Kotamadya Surabaya terbentuk pada 1 April 1906. Namun Kotamadya Surabaya baru memiliki walikota pada 1916. Lho, kok bisa? Siapa kepala daerah yang memimpin dan menyelenggarakan urusan urusan pemerintahan mulai 1906 sampai 1916?
Walikota pertama, sebagai mana diketahui dari pajangan foto foto Walikota Surabaya dari zaman ke zaman di Museum Surabaya, adalah A. Meyroos (1916 - 1920). Menurut Joko Triwinarto Santoso dalam bukunya "A Study of Architec Cosman Citroen (1881-1935) and His Works in Surabaya", Universiteit Leiden, 2010 menuliskan bahwa selama 10 tahun (1906-1916) penyelenggaraan urusan dan layanan pemerintahan dikerjakan oleh pejabat, staf dan pegawai Keresidenan Surabaya yang dipimpin oleh Asisten Residen (di Kabupaten Surabaya).
Seorang Asisten Residen (struktur pemerintahan Belanda) berkedudukan di wilayah Kabupaten yang sejajar dengan seorang Bupati (struktur pemerintahan lokal atau pribumi), yang merupakan bagian dari Karesidenan Surabaya yang dijabat oleh seorang Residen. Karesidenan Surabaya terdiri dari Kabupaten Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Jombang, Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Jombang.
Adapun kantor untuk menyelenggarakan urusan urusan pemerintahan Kotamadya Surabaya saat itu masih berpindah pindah tempat sebelum akhirnya memiliki kantor Balai Kota di Ketabang pada 1927. Sebelum 1927, Kotamadya Surabaya belum memiliki kantor sendiri. Sejak menjadi pemerintah Kotamadya (Gemeente) Surabaya, 1906, kantor pertamanya menyewa di jalan Gemblobgan no 6. Kemudian berpindah di sebuah persil di jalan Deventerlaan di kawasan Tunjungan. Selanjutnya berpindah lagi ke daerah Tegalsari.
Dewan Kota Surabaya (Surabaya Raad) memandang apa yang selama ini dilakukan oleh Gemeente Surabaya tidaklah efektif dan tidak praktis. Apalagi dinas dinas yang ada di lingkungan Gemeente Surabaya juga berpencar.
Namun, nejak tahun 1913 ketika urusan urusan dan layanan pemerintahan semakin meningkat, seiring dengan perkembangan kota, maka muncullah gagasan untuk membangun kantor Balai Kota. Tapi usulan pejabat Gemeente Surabaya belum mendapatkan persetujuan Dewan.
Baca juga: Makam Belanda Peneleh adalah Taman Prasasti, Khasanah Kepustakaan Sejarah Kota Surabaya
Pada 1915, Dewan Kota baru menyetujui gagasan pembangunan Balai Kota. Pada 1916, ketika Kotamadya Surabaya memiliki walikota pertama, A. Mayroos, perancangan kantor Balai Kota dibuat. Walikota Mayroos menunjuk Cosman Citroen untuk membuat design Balai Kota.
Namun, ada dua dari anggota Dewan Kota: A. Van Gennep dan J.M. Easchbach, tidak setuju dengan langkah Walikota yang langsung menunjuk Arsitek Citroen untuk membuat rancangan gedung Balai Kota. Dalam istilah sekarang adalah Proyek Penunjukan Langsung (PL). Menurut mereka penunjukan langsung itu tidak fair karena tidak memberikan kesempatan kepada arsitek lainnya dalam berkarya.
Kedua anggota Dewan Kota ini menyarankan kepada Walikota Mayroos agar membuat sayambara perancangan dan design Balai Kota. Kedua anggota Dewan ini mencontohkan bagaimana kota Rotterdam membangun Balai Kota nya. Yakni dengan menyelenggarakan sayembara design Balai Kota. Untuk sayembara design Balai Kota Surabaya, Citroen bisa ikut sebagai peserta.
Sejak itu (1916) sayembara berjalan. Pada 1920 ada pergantian Walikota. A. Meyroos digantikan Dykerman (1920-1926). Pada 1922 masuklah design lain tentang Balai Kota. Perdebatan pun terjadi atas design design yang masuk. Ini adalah mekanisme sayembara dan singkat cerita, Citroen memenangi lomba dan designnya menjadi gambar yang selanjutnya diaplikasikan.
Namun, pembangunan belum kunjung dikerjakan sampai pada saatnya di tahun 1925 pada era Walikota Dykerman. Pembangunan Balai Kota dimulai pada 1925. Ketika Balai Kota selesai pada 1927, Walikota Dykerman tidak sempat menikmati gedung Balai Kota yang baru.
amp;lt;p>Adalah J.M. Easchbach (1926-1934), walikota Surabaya ketiga, yang mulai menempati gedung Balai Kota Surabaya yang megah. Jadi Walikota A. Meyroos dan Dykerman tidak pernah menikmati gedung Walikota baru di Ketapang. Secara praktis dan historis, sejak 1906 sampai 1916, Kotamadya Surabaya tidak memiliki walikota karena walikota pertama Surabaya ada pada 1916.
Editor : Pahlevi