Bulog Usulkan Indonesia Impor Beras, Perlukah?

Reporter : Seno

Optika.id - Pengamat Kebijakan Publik, Bambang Haryo Soekartono yang juga merupakan Anggota DPR RI Periode 2014 - 2019 menyoroti polemik impor beras yang diminta oleh Direktur Utama Bulog (Badan Urusan Logistik) Budi Waseso (Buwas).

Baca juga: BHS Berikan Jawaban, Maju Bupati atau Tetap DPR RI?

Buwas berdalih bahwa produksi panen beras petani sangat kurang, yang kemudian disanggah oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang mengatakan bahwa produksi beras petani cukup.

Pria yang juga akrab disapa BHS tersebut menilai bahwa hal ini sangat memalukan dan tidak lazim.

"Karena Bulog tidak biasanya mengusulkan impor beras secara nasional, karena yang paling tahu kebutuhan beras dengan mempertimbangkan keseimbangan antara Supply (produk pertanian) dibanding dengan Demand (konsumen beras) adalah peran dari Kementerian Perdagangan," kata BHS dalam keterangannya, Jumat (23/12/2022).

Apalagi, Bulog secara nasional hanya bisa menyerap beras nasional sebesar 1,2 juta ton di tahun 2021. Jumlah ini relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan serapan produksi beras nasional secara total yang jumlahnya mencapai 31,33 juta ton total serapan nasional.

"Jadi Bulog hanya membeli beras petani nasional dan mengedarkan beras ke masyarakat tidak lebih dari 3ri total beras yang diproduksi nasional, jadi serapan terbesar adalah dari swasta. Sehingga Dirut Bulog tidak pantas memberikan usulan impor dan informasi kepada Pemerintah, yang akhirnya menjadi salah informasi juga kepada publik karena ketidaktahuannya tentang produksi dan bahkan cadangan beras secara nasional," katanya.

"Serapan Bulog yang relatif sangat sedikit ini karena Bulog belum bisa secara profesional menyerap beras nasional, termasuk juga memasarkan beras nasional kemasyarakat. Terbukti sebagian besar bahkan semua masyarakat Indonesia tidak berminat untuk membeli beras yang dipasarkan oleh Bulog," imbuhnya.

Pria yang merupakan Dewan Pembina Grakan Tani Rakyat (GETAR) Pusat ini menyayangkan pernyataan Dirut Bulog yang juga meminta impor 500 ribu ton beras dengan anggaran sebesar Rp 4,4 triliun.

BHS menambahkan mereka rugi besar karena harus menjual beras impor dengan harga 8.300 rupiah per kg sedangkan harga belinya 8.800 rupiah per kg dari Vietnam.

BHS menambahkan bahwa pernyataan kerugian Dirut Bulog tersebut adalah tidak masuk akal! Lantaran harga beras di Vietnam yang sebenarnya hanya berkisar paling murah 5.800 Dong (3.800 rupiah) dan paling mahal 12.000 Dong (7.900 rupiah), dan bila pengirimanan ditambah ongkos angkut plus keuntungan 15%. Maka harga beras Vietnam sampai di Indonesia hanya ditambah 25%.

"Disinyalir Dirut Bulog memberikan keterangan yang tidak benar dan cenderung mencari keuntungan yang terlalu besar disela sela masyarakat yang lagi kesulitan terutama petani nasional kita. Tentu ini sangat memberatkan masyarakat dan petani," tukas BHS

"Saya juga sangat prihatin dengan pernyataan Menteri Pertanian yang bisa memaklumi harga beras tinggi di Indonesia tanpa menganalisa penyebabnya dan bahkan menyarankan masyarakat mengkonsumsi sagu sebagai pengganti beras, padahal Menteri Pertanian seharusnya malah mendorong peningkatan produksi beras nasional untuk bisa bersaing dengan negara lain," tandasnya.

"Misalnya Vietnam, dimana Indonesia mempunyai lahan pertanian sebesar 70 juta hektar dengan lahan panen padinya sebesar 10,41 juta hektar tetapi hanya menghasilkan beras nasional sekitar 31 juta ton pertahun, sedangkan Vietnam yang hanya mempunyai lahan pertanian sebesar 7,2 juta hektar menghasilkan produksi beras 44 juta ton pertahun. Dan Vietnam bahkan bisa menjadi negara pengekspor beras nomor 2 terbesar dunia di tahun 2020 tetapi Indonesia tidak masuk dalam negara pengekspor beras terbesar didunia sampai dengan peringkat 10 besar dunia," sambung BHS.

Alumni ITS yang didaulat sebagai Bapak Petani Sidoarjo ini mengatakan, "harusnya Menteri Pertanian berusaha untuk mendengar keluhan petani mulai dari sektor pengairan yang kesulitan air walaupun dipinggir sungai atau waduk yang baru dibangun, kesulitan pupuk baik subsidi maupun non subsidi dengan harga sangat mahal padahal bahan baku untuk pupuk sangat berlimpah di Indonesia, kesulitan benih (subsidi bahkan dihapus dan harga mahal), kesulitan BBM Subsidi, Asuransi, hama (tikus, wereng, dll), kesulitan mendapatkan Kredit Usaha KUR, serta pemasaran produk petani sangat kurang mendapat dukungan dari Kementerian Pertanian."

Dia menjelaskan bila produksi wajar dengan lahan panen padi 10,4 juta hektar yang perhektarnya menghasilkan rata-rata 8 ton gabah dan bisa panen dua kali.

Serta keberpihakan pemerintah kepada petani cukup besar, maka harusnya bisa menghasilkan 166,4 juta ton gabah atau setara dengan sekitar 90 juta ton beras yang dihasilkan per tahunnya.

Dengan kebutuhan masyarakat Indonesia setahun yang hanya berkisar 20 sampai 30 juta ton, kata BHS masih akan tersisa 60 juta ton beras yang bisa diekspor ke negara lain seperti yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak perlu lagi impor beras dari luar negeri.

"Tentu harga beras kita pun akan menjadi semakin murah bila komponen biaya yang saat ini besar ditanggung oleh para petani bisa di selesaikan oleh Kementerian Pertanian sehingga beras di Indonesia tidak masuk dalam harga yang tertinggi di Asia Tenggara yang saat ini dari 10 tahun terakhir beras di Indonesia, yang menurut Data World Bank, adalah termahal di Asia Tenggara," tukas BHS yang pernah mendapatkan penghargaan Anggota DPR RI ter-Aspiratif tahun 2019 ini.

Izin Impor Beras

Diketahui, pada 6 Desember 2022 lalu, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan mengungkapkan, telah memberikan izin impor beras sebanyak 500 ribu ton kepada Perum Bulog.

Padahal, di sekitar bulan Juni 2022, ramai diberitakan sejumlah negara meminta akses impor beras dari Indonesia. Berawal dari pernyataan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo terkait permintaan impor 2,5 juta ton beras oleh China. Namun, ditolak oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Mendag Zulkifli Hasan sendiri mengatakan, secara prinsip tak setuju dengan impor beras, tapi sudah hasil rapat kabinet. Pasalnya, Bulog sudah berupaya menyerap beras petani dengan harga fleksibel. Namun, tetap tak bisa memenuhi target cadangan beras pemerintah (CBP) sebanyak 1,2 juta ton di akhir tahun 2022.

Selanjutnya, BUMN pangan itu akan merealisasikan izin impor secara bertahap. Yaitu, 200 ribu ton sampai akhir tahunn 2022 dan 300 ribu ton lainnya di awal tahun 2023 sebelum masuk musim panen raya.

"Dari 500 (ribu ton), 200 (ribu ton) sudah kontrak. Kalau sudah kontrak biasanya akan terealisasi. Tinggal proses masuk saja," kata Kabag Humas Bulog Tomi Wijaya, Rabu (21/12/2022).

Baca juga: Anggota DPR RI Bambang Haryo Siap Maju Pilkada Sidoarjo 2024

"Diberikan penugasan, mencari, diterbitkan izin, kontrak. Kira-kira gitu prosesnya. Prosesnya sejak diberikan penugasan," tambahnya.

Sekitar 10 hari sejak pernyataan Mendag tersebut, pada 16 Desember 2022, kapal perdana membawa 5.000 ton beras impor asal Vietnam masuk Indonesia lewat pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Selain itu, menurut Direktur Utama Bulog Budi Waseso (Buwas), di saat bersamaan 5.000 ton beras asal Vietnam masuk lewat pelabuhan Merak, Banten.

Wacana potensi impor beras dilontarkan pertama kali oleh Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi dan Budi Waseso saat rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI pada 16 November 2022.

Pada 18 November 2022, Buwas mengungkapkan, pihaknya telah mempersiapkan cadangan beras di luar negeri.

"Total stok yang kami punya sekarang sudah hampir 1,2 juta ton yang tersimpan di gudang-gudang Bulog di seluruh Indonesia. Ditambah stok beras komersil hasil kerja sama di luar negeri. Stok beras di luar negeri ini bisa kapan saja kami tarik jika memang stok dalam negeri sudah habis. Intinya untuk stok beras tidak ada masalah," kata Budi Waseso dalam keterangan resmi.

Anehnya, di saat bersamaan, Buwas tetap mengklaim pasokan beras nasional yang dikuasai pemerintah dalam jumlah yang aman untuk enam bulan ke depan (sejak 18 November 2022).

"Masyarakat jangan khawatir, Bulog menjamin kebutuhan beras tersedia di masyarakat dengan harga terjangkau walau di pasaran ada sedikit kenaikan harga. Kami melakukan pemantauan secara terus menerus di tengah situasi saat ini agar tetap terkendali," kata Budi.

Aneh! Impor Beras Akhir Tahun

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, impor beras kali ini aneh. Apalagi, impor dilakukan pada akhir tahun.

"Kalau alasannya untuk kesiapan stok jelang libur Nataru (Natal dan Tahun Baru), harusnya sudah impor sejak Oktober," kata Bhima, Rabu (21/12/2022).

Alasan sebenarnya impor beras, lanjutnya, untuk menjaga stabilitas harga pangan di tahun politik. Sebab, ada kekhawatiran inflasi pangan meningkat karena porsi beras terhadap sumbangan inflasi dan garis kemiskinan cukup besar.

Baca juga: Bambang Haryo Apresiasi Pemangkasan Bandar Udara Internasional, Terlalu Banyak!

"Semacam menjaga stabilitas ekonomi sehingga legacy pak Jokowi dalam menjinakkan inflasi dapat dilakukan," tukasnya.

"(Impor) terlalu buru buru dan menimbulkan kejanggalan. Harusnya ada perencanaan sesuai data valid produksi dan proyeksi kebutuhan. Kalau di luar rencana artinya ada masalah serius soal tata kelola pangan," kata Bhima.

Sementara itu, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran menduga, rencana impor memang sudah dipertimbangkan sejak harga beras di dalam negeri menunjukkan tren menanjak.

"Sebetulnya solusi impor sudah bisa diputuskan sejak Bulog sudah menyebut cadangan berasnya belum mencapai batas aman. Sebelumnya juga sudah ada kenaikan harga beras walau tipis," kata Hasran.

"Impor beras ini adalah suatu tindakan yang wajar mengingat belum tercukupinya stok beras nasional, yang mengancam ketahanan pangan nasional," tambahnya.

Di sisi lain, dia mengatakan, impor idealnya tidak dilakukan secara reaktif. Impor dapat direncanakan dari jauh hari dengan mempertimbangkan pergerakan harga dan ketersediaan beras.

"Impor yang dilakukan secara mendadak dan reaktif sebenarnya juga merugikan Indonesia. Karena dari segi harga, beras yang didapat lebih mahal dibandingkan dengan impor yang dilakukan secara terencana," jelas Hasran.

"Impor juga solusi logis mengingat harga beras nasional cenderung masih lebih mahal dibandingkan di pasar internasional. Termasuk di beberapa negara tetangga seperti Filipina dan Thailand," katanya.

Dia menambahkan, pemerintah harus fokus memiliki satu data pangan yang akurat dan terintegrasi dengan semua institusi.

"Kebijakan yang diambil berdasarkan data yang tidak akurat berpotensi tidak efektif untuk menyelesaikan masalah," imbuhnya.

"Parameter harga yang menunjukkan ketersediaan komoditas pangan dapat menjadi salah satu pertimbangan. Sambil melihat potensi masalah lain, misal persoalan pada distribusi dan faktor eksternal yang memengaruhi, seperti kenaikan harga BBM," pungkasnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru