Optika.id - Sewaktu masih menjadi mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, Baim, bukan nama sebenarnya, sering mendapat pekerjaan sampingan sebagai petugas survei (surveyor/enumerator) terkait figur capres (calon presiden) di wilayah Jawa Barat dan Banten.
Baca juga: Usai Debat Cawapres, Survei Prabowo-Gibran Kalah Jauh dari AMIN dan Ganjar-Mahfud
Ketika itu, untuk menambah uang saku, Baim menggarap survei dari beberapa lembaga survei tersohor di Indonesia misalnya Indopol Survei & Consulting, Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC). Saat itu pula, ia mengaku sering menemukan hasil survei yang janggal, dan terkesan pesanan.
"Dalam daftar (kuesioner) itu, ada nama calon yang sering keluar dan harus ditanyakan ke responden daripada calon lain," ucap Baim, kepada Optika.id, Selasa (27/12/2022) .
Dia bercerita, ketika dia ditugaskan salah satu lembaga untuk melakukan survei di Ciamis, Jawa Barat perihal figur potensial yang maju sebagai calon Gubernur Jawa Barat pada 2018, dia sempat heran pasalnya ada nama yang belum pernah masuk radar calon gubernur.
Waktu surveinya sekitar akhir tahun 2016 menjelang awal 2017. Ada nama Farhan yang terus berulang-ulang harus ditanyakan. Saya semula enggak ngeh waktu di-briefing senior. Tapi, pas saya lakukan survei, kok nama Farhan muncul terus. Kan aneh soalnya telinga saya asing sama nama itu, kata dia.
Usai melaksanakan survei, dia kemudian bertanya kepada seniornya yang bertanggung jawab dalam mengatur lapangan. Rasa ingin tahunya tersebut terjawab tatkala seniornya menjelaskan bahwa survei yang dilakukan tadi memang bertujuan untuk mengukur popularitas Farhan yang berniat maju sebagai Gubernur Jawa Barat.
Baim menyadari, setelah banyak bergaul dengan berbagai lembaga survei dan terjun langsung ke lapangan, metode survei ternyata tidak valid dan bisa diutak-atik sesuai keinginan pemesan. Namun, dia tak menampik jika lembaga survei dilakukan secara sukarela untuk mengukur siapa figur yang paling mendapat atensi publik.
Dia juga menjelaskan cara membedakan lembaga survei pesanan dan sukarela.
Cara membedakannya, kalau ada satu nama yang lebih sering ditanyain ke responden ketimbang nama lain, itu bisa jadi pesanan yang bersangkutan, tuturnya.
Tak jarang, Baim juga menemukan survei yang memunculkan nama-nama politikus kelas teri yang tidak dia kenal sama sekali.
Lain Baim, lain pula Rizky. Pria asal Ciputat yang sudah lama berkecimpung di lembaga persurveian ini menuturkan bahwa metodologi survei memang bisa diutak-atik seenak hati guna memunculkan nama calon. Pancingannya yakni dengan mengondisikan pertanyaan supaya seolah tingkat kepopuleran salah satu calon tinggi.
Rizky yang berpengalaman sejak tahun 2015 tersebut menjelaskan bahwa metode survei yang tak ketat atau sengaja dibuat tak ketat bisa menjadi celah manipulasi. Sebab, tidak semua lembaga survei teliti terhadap hasil petugas di lapangan.
Ada lembaga yang masa bodoh dengan hasil yang sudah didapat surveyor, ucapnya, Senin (26/12/2022).
Adakalanya, survei pesanan ini terjadi pula pada jajak pendapat kepuasan publik terhadap pejabat di suatu daerah. Misalnya, pada tahun 2019 menjelang Pilpres, Rizky melakukan survei di daerah Banten untuk mengukur kepuasan publik terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi. Namun, yang ditonjolkan dalam survei tersebut hanya program unggulan Jokowi seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
"Kesimpulannya baik. Padahal ada banyak program lain yang enggak sukses, tapi enggak ditanya," kata Rizky.
Ketika ditanya soal survei titipan, peneliti SMRC, Saidiman Ahmad tak menampik bahwa survei bisa dibayar atas jasanya dalam mengukur popularitas tokoh atau partai. Akan tetapi, hal tersebut tak bisa dipaksa sesuai keinginan klien. Saidiman mengaku bahwa SMRC menggunakan metode pertanyaan semi terbuka yang disusun agar selalu proporsional dengan tujuan agar kesimpulan survei nantinya dihasilkan secara logis dan sesuai dengan perhitungan survei.
Baca juga: Survei Indometer Peroleh Hasil Gerindra Naik Signifikan, PDIP Justru Turun
Di SMRC, ada beberapa bentuk pertanyaan untuk mengukur (misalnya) tingkat kepuasan publik pada kinerja pemerintah, ucapnya ketika dihubungi, Selasa(27/12/2022).
Hal yang pertama, tutur Saidiman yakni responden ditanya dengan pertanyaan umum. Misalnya terkait kepuasan dengan pilihan sangat puas, puas, dan tidak puas.
Hal yang kedua yakni lembaga surveinya mengajukan beberapa program yang dilakukan pemerintah dan warga diminta untuk memberikan penilaian. Terkait survei figur capres atau kepala daerah, Saidiman menyebut bahwa survei yang benar adalah tidak mengarahkan pilihan dengan cara mengerucutkanke beberapa nama.
Survei biasanya ada beberapa tingkatan atau simulasi untuk melihat elektabilitas calon, mulai dari pertanyaan terbuka, di mana responden bisa menyebut nama siapa saja. Lalu semi terbuka, responden dikasih daftar 45 nama dan diberi kesempatan untuk menyebut nama lain di luar itu," ucapnya.
Kendati demikian, dia tidak sepakat jika survei hanya dijadikan alat untuk publikasi semata di luar musim kampanye lantaran bisa tampil lebih dahulu sebelum pemilu. Dalihnya, survei adalah hasil yang belum pasti meningkatkan popularitas politikus karena masih jarang orang yang membaca hasilnya.
Kalau kita amati, proporsi warga yang menonton berita itu sedikit. Lebih sedikit lagi yang menonton berita tentang politik. Dan, jauh lebih sedikit yang menonton publikasi survei, ucapnya.
Menurutnya, lembaga survei saat ini sudah bernaung dalam satu perkumpulan. Misalnya, saat ini SMRC tergabung dala Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI).
Kalau ada hasil survei yang janggal, biasanya lembaga survei yang ada di bawah PERSEPI akan dipanggil untuk memberi penjelasan, jika ada kode etik yang dilanggar oleh anggota maka lembaga survei tersebut bisa dikeluarkan kata dia.
Baca juga: Prediksi Indikator Politik, Putaran Pertama Prabowo-Gibran Lolos
Senada dengan Saidiman, Arman Salam selaku Direktur Riset Indonesia Presidential Studies (IPS) menilai bahwatak ada yang salah dengan survei berbayar. Dengan catatan tetapmenaati kaidah metodologi survei yang baik.
Mengingat survei bisa dijadikan arah dalam menentukan strategi yang efektif dalam menggapai kemenangan sebuah kontestasi. Nah yang menjadi masalah besar kan penyelewengan hasil survei, ujar Arman, Selasa(27/12/2022).
Adapun penyelewengan yang dimaksud bisa dilakukan di berbagai jenjang tergantung pada integritas penyelenggara survei atau lembaga survei.
Menurutnya, sudah menjadi rahasia umum jika ada lembaga survei yang dapat titipan dari politikus, lembaga tertentu, atau bahkan partai politik. Namun, Arman menegaskan bahwa hal tersebut tak jadi soal selama metode yang digunakan benar serta tak mengelabui data.
Jadi benar jika survei adalah pesanan, meski ada juga lembaga yang melakukan survei dengan biaya sendiri untuk meningkatkan pamor lembaga," klaimnya.
Disinggung mengenai survei kepuasan publik terhadap kinerja pejabat, Arman menjelaskan bahwa hal tersebut tidak cocok ketika diukur hanya dengan menjadikan satu atau dua aspek saja sebagai acuan. Meskipun demikian, tidak masalah jika ingin mengukur kesuksesan pada satu proram yang dijalankan kendati hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai acuan utama dan satu-satunya.
Jika yang mau diukur terkait program populer kan memang mau melihat efektifitas suatu program. Nilai publiklah yang akan dianalisis oleh mereka. Jadi membaca hasil survei per item isu. Dan, item isu itu bukan parameter keberhasilan sebuah kepemimpinan, pungkasnya.
Editor : Pahlevi