Optika.id - Dalam keterangan persnya pada Kamis (19/1/2023) lalu, Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah menyebut jika DPR harus segera menyetujui RUU PPRT senagai RUU inisiatif DPR dalam sidang paripurna DPR. Dirinya juga mendorong agar pemerintah bersama dengan DPR segera mempertimbangkan hasil kajian lembaganya sebagai salah satu rujukan dalam membahas RUU PPRT.
Baca juga: DPR Setujui Naturalisasi Kevin Diks dan Dua Pemain Belanda untuk Perkuat Timnas
Untuk diketahui, pada tahun 2021 yang lalu, Komnas HAM sudah melakukan serangkaian penelitian terkait urgensi pengesahan RUU PPRT menjadi Undang-Undang yang sah. Komnas HAM juga meneliti urgensi ratifikasi Konvensi Internasional Labor Organization (ILO) Nomor 189 tentang pekerjaan yang layak bagi PRT. Adapun hasil kajian tersebut memuat kesimpulan bahwa ratifikasi Konvensi ILO 189 dapat mendorong kondisi HAM yang lebih kondusif bagi perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak-hak bagi PRT.
Ratifikasi konvensi tersebut juga dapat menjadi norma rujukan dalam penyusunan dan pembahasan RUU PPRT, ujarnya.
Komnas HAM berdasarkan kajian tersebut menyampaikan tiga rekomendasi untuk pemerintah. Yang pertama yakni mendesak pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi ILO 189. Kedua, pemerintah melakukan percepatan pengesahan RUU PPRT. Dan yang terakhir, mendorong Kementerian Ketenagakerjaan agar menjadi pihak yang menginisiasi ratifikasi Konvensi ILO 189.
Anis menyebut jika ketiga rekomendasi yang disampaikan oleh pihaknya sudah diteruskan kepada Menteri Ketenagakerjaan dan Komisi IX DPR RI.
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Nasional Jala PRT, Lita Anggraini mengatakan jika sejak awal pihaknya sudah merekomendasikan hal serupa dengan Komnas HAM. Namun, pemerintah menolak ratifikasi ILO 189 sebab ingin fokus membahas dan mengesahkan RUU PPRT lebih dulu.
Kalau menunggu ratifikasi lebih lama lagi (pengesahan RUU PPRT), sementara PRT dalam situasi darurat, ucap Lita, Senin (30/1/2023).
Baca juga: Penerimaan Tenaga Ahli AKD di Lingkungan DPR RI TA 2024
Isi Konvensi ILO 189, ujar Lita, bisa menjadi acuan dalam membentuk RUU PPRT. Dia menegaskan, hal tersebut seperti Filipina yang mengacu 75ri isi konvensi dari berbagai negara lain juga demikian.
Pada dasarnya, menurut Lita, ratifikasi Konvensi ILO 189 sangat penting. Akan tetapi, pemerintah dan pengusaha enggan bahkan menolaknya. Pasalnya, mereka menilai konsekunsinya akan berat jika PRT disamakan dengan ketentuan yang ada di UU Ketenagakerjaan.
Misalkan, liburnya harus mengikuti kalender nasional. Jam kerja 9 pagi sampai 5 sore. Nah, PRT kita kan enggak bisa seperti itu karena juragannya ada yang kerjanya pagi, ada yang malam. Kan enggak fleksibel, katanya.
Pemerintah kemudian menjawab dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan PRT.
Baca juga: RUU Perampasan Aset Tak Masuk Prolegnas, ICW: Pukulan bagi Publik dan Pemberantasan Korupsi
Itu karena tidak mau ratifikasi konvensi, Tegas Lita.
Lebih lanjut, Lita menjelaskan jika meminta ratifikasi Konvensi ILO 189 sekarang sama saja mengganjal pengesahan RUU PPRT menjadi undang-undang. Meski standar RUU PPRT tidak setinggi ILO 189, ujarnya, tetatpi beberapa poin yang ada di konvensi tersebut sudah masuk di dalam RUU PPRT.
Sehingga sebetulnya, konten di Konvensi ILO 189 itu 70% sudah ada di PPRT, ungkapnya.
Editor : Pahlevi