Optika.id - Dalam pilar demokrasi terdapat peran pers, bahwa pers merupakan pilar ke empat dari demokrasi. Ini tak lain karena memang peran pers sangat besar di sebuah negara. Bagaimana tidak, pers memiliki peran untuk mengontrol jalannya kekuasaan negara, baik Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, pers-lah yang memaksa kekuasaan negara transparan kepada rakyat.
Dilihat dari kedudukannya, pers layak menempati pilar demokrasi karena merupakan lembaga yang tidak memihak kepada salah satu pihak. Pers itu bersifat netral, hanya condong kepada kebenaran.
Harus diketahui bahwa peran pers strategis dalam pembangunan. Pers memiliki fungsi ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan keadilan, dan memberantas kebatilan. Media massa juga harus mampu membangun opini publik, sehingga Pemerintah pemegang kekuasaan sampai ke Pemerintah Daerah segera tanggap terhadap persoalan publik, karena pers mampu mempertahankan isu publik tersebut.
Kerja yang tidak gampang dan bukan berarti tanpa resiko, dalam sejarahnya, pada orde lama, di bawah pemerintahan Soekarno, dunia pers memiliki ruang cukup terbuka. Namun ketentuan dan peraturan pada jaman itu yang mensyaratkan adanya percetakan membuat usaha media tidak mampu berkembang secara maksimal.
Sesi acara Diskusi Akhir Pekan dengan membahas perihal "Pers dan Pilpres 2024" berkaitan dengan kedudukan Pers serta pelaksanaan pemilu kurang lebih satu tahun lagi akan dilaksanakan. Diskusi digelar pada hari, Jumat, 3 Februari 2023 dengan mengundang beberapa Narasumber antara lain, Prof Bagir Manan, Dr. Ninik Rahayu, Asep Saeful Muhtadi, Anang Sujoko, Dahlan Iskan dan Prof. Iswandi Syahputra. Akan tetapi, ada 2 Narasumber yang tidak bisa hadir dalam sesi diskusi tersebut, karena memang berhalangan untuk hadir.
"Dalam demokrasi, media harus Independen, media harus memiliki keberpihakan pada kebenaran, media harus memiliki keberpihakan pada kepentingan publik. Maka disinilah kemudian akan ada pembagian publik, publik manakah yang harus dibela, dan kebenaran manakah yang harus dibela," ungkap Anang Sujoko dalam sesi Diskusi Akhir Pekan melalui platform zoom seperti yang dikutip Optika.id, Minggu (5/3/2023).
Bagi Anang, peran Media Massa dalam politik yaitu sebagai pembentukan image/identitas, sebagai Humas Politik, Selebritis Politik, Standard Politik, Logika Politik dan Realitas Baru.
"Inilah kita bicara pada relativitas, banjirnya informasi, mediatisasi politik. Seperti yang diketahui, bicara demokrasi harus mempunyai keberpihakan pada pihak rakyat. Demokrasi pada saat itu kemudian dibangun pada kondisi, yaitu pemerintahan oleh rakyat untuk rakyat dan diposisikan dari rakyat. Kemudian disitu, diharapkan ada pemilihan langsung, bicara pada kuantitas, siapa yang dipilih dan siapa yang memilih. Kondisi seperti ini sangat minim, apakah memungkinkan memperkenalkan secara lebih dekat," tuturnya.
Media massa harus mempunyai tujuan yang menarik untuk dipublikasikan, selain mengandung kebenaran secara faktual, media massa harus dikemas sebaik mungkin agar bisa menarik ketertarikan publik.
"Artinya, reporter mempunyai tingkat frekuensi produksi tentang Jokowi Ahok sangat tinggi, karena berita dimunculkan akan mempunyai veiwers yang tinggi pula. Itulah yang mendorong wartawan memproduksi keyword Jokowi Ahok dan Kota-kota. Hal inilah menyebabkan munculnya dampak politik, media massa dalam hal politik mampu menstabilkan pihak-pihak politik," jelasnya.
Media sebagai industri merupakan lembaga yang tidak lepas dari kepentingan ekonomi. Artinya, lembaga media membutuhkan supporting finansial sehingga bisa memenangkan pasar. Sumber yang paling besar adalah advertising, periklanan dan publisitas, kuncinya ada pada writing, viem engangement, reader dan lain sebagainya.
"Dalam dunia politik era demokrasi, yang menjadi masalah adalah satu orang satu suara, di dalam dunia politik menutup adanya popularitas dan elektabilitas. Itulah yang bisa diraih salah satunya, sangat membantu menghadirkan media massa kemudian menjadi be extension of human, menjadi perpanjangan dari kepentingan-kepentingan kelompok tertentu, perpanjangan lidah dan macam-macam. Politik membutuhkan media dalam rangka membantu elektabilitas dan popularitas, media berplatform digital akan dikombinasikan dari big data, politik kita sudah masuk pada logika media, semakin banyak khalayak kan muncul popularitas dan akan timbul elektabilitas," tuturnya,
"Sistem demokrasi kita saat ini, Pilpres identik dengan isu popularitas, popularitas dan elektabilitas di era komunikasi bermedia. Relasi Media dan Politik, untuk bisa bertahan atau bahkan menang persaingan maka harus merebut hati khalayak."
Dia menuturkan, politik yang mengarahkan untuk merebut hati khalayak, logika politik sudah menggunakan cara kerja logika media. Selanjutnya, ada sebuah isu bisa popular maka harus memenuhi hasrat khalayak, yang terjebak pada politik-politik gincu. Popularitas mengarah pada penggerahan massa untuk membangun kewajaran dan ketertarikan.
"Sesuai dengan Ideologi, bicara pada kerakyatan artinya representasi fungsi pers membela kebenaran atau kepentingan publik. Disampaikan oleh Prof Bagir Manan, harusnya menyampaikan sebuah pembelajaran politik yang menjadi standard kebenaran, berbagai ragam pemberitaannya cenderung memilih Jokowi. Saat itu, jawaban dari salah satu pentolan redaksi bahwa jokowi mempunyai pandangan baru, harapan baru, istilahnya Pro rakyat, diharapkan demokrasi bisa berjalan lebih baik, mengandung kebenaran dan tidak menyebarkan hoax," pungkas Dosen Fisip Universitas Brawijaya itu sembari menutup sesi Diskusi Akhir Pekan Jumat lalu.
Editor : Pahlevi