Pemberian Beasiswa di Indonesia Masih Timpang Sebelah

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Ekonom sekaligus peneliti kemiskinan, Vivi Alatas mengungkapkan jika saat ini pemberian beasiswa tidak memperhatikan masa kritis siswa ketika mengalami fase putus sekolah. Kasus putus sekolah menurutnya malah terjadi di masa transisi sekolah yang mana siswa sudah mengenggam ijazah di tangannya.

Baca juga: PT Bank CIMB Niaga Tbk akan membuka pendaftaran program Beasiswa CIMB Niaga 2024

Godaan terbesar untuk putus sekolah menurut Vivi yakni ikut bekerja membantu orang tua untuk meringankan beban ekonomi, menikah, dan terjun ke jalanan. Apalagi, anak-anak tersebut terancam tidak bisa melanjutkan sekolah lantaran kondisi ekonomi dan keuangan keluarga tidak memungkinkan.

Meski ada program beasiswa,drop outtak terhindarkan karena penyaluran beasiswanya terlambat, butuh waktu lama atau baru didapatkan jika mereka diterima di sekolah lanjutan atau perguruan tinggi. Mereka sudah berguguran sebelum beasiswa sampai di tangan, kata Vivi dalam diskusi bertajuk Menyoal Aksesibilitas dan Efektivitas Beasiswa untuk Membantu Pendidikan Kelompok Miskin, Kamis (23/3/2023).

Maka dari itu, Vivi menyarankan adanya perbaikan terhadap dua hal dalam meningkatkan aksesibilitas beasiswa. Dua hal tersebut yakni pengumpulan data dan metode seleksinya. Kedua aspek ini harus memperhatikan anak-anak miskin harus diperhatikan untuk terdata kemudian dipilih dari kelompok kaya serta dipilih guna mendapatkan beasiswa yang menjadi hak anak-anak miskin yang tidak memperoleh akses beasiswa itu.

Dari berbagai studi menunjukkan bahwa komunitas perlu dilibatkan dalam proses pengumpulan data dan seleksi karena komunitas lebih tahu data keluarga yang miskin. Komunitas lebih cenderung berperan dalam mengatasiexclusion errordibandingkaninclusion error, ujarnya.

Baca juga: Program Beasiswa Bank Indonesia, Berikut Jadwal dan Persyaratannya

Maka dari itu, dirinya merekomendasikan agar pemberian beasiswa tidak semata-mata diarahkan hanya untuk mengatasi ketimpangan akses saja, melainkan juga meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh laporan dari OECD/The Organization for Economic Co-operation and Development yang dilakukan pada tahun 2018. Laporan tersebut menunjukkan bahwa upaya mengatasi ketimpangan kualitas pendidikan dampaknya sembilan kali lebih besar dibandingkan dengan memperbaiki akses.

Dalam kesempatan tersebut, GM Pendidikan Dompet Dhuafa, Rina Fatimah juga memaparkan beberapa tantangan yang dihadapi terkait masalah beasiswa dan pendidikan anak ini. Menurutnya salah satu penghambat efektivitas beasiswa untuk kelompok miskin yakni kapasitas ekonomi keluarga yang kerap mengalami kendala itu sendiri.

Berdasarkan pengalaman mengelola beberapa program Beasiswa Dompet Dhuafa, Rina kerap menjumpai beasiswa yang tidak bisa meng-cover biaya pendidikan bahkan biaya hidup itu sendiri. Oleh karena itu dirinya menekankan kepada pengelola beasiswa agar memastikan jumlah beasiswa yang diberikan tidak hanya cukup untuk biaya pendidikan saja, melainkan juga termasuk hidden cost atau biaya lain yang berkaitan dengan keberlangsungan pendidikan si penerimanya.

Baca juga: Pertamina Buka Beasiswa Sobat Bumi untuk Mahasiswa D3 - S1

Lebih lanjut, dia juga menyebut beasiswa serupa yang menanggung biaya pendidikan serta pembekalan baik softskill maupun hardskill bagi penerima, yakni Beasiswa Etos dari Dompet Dhuafa.

Beasiswa Etos yang dikelola Dompet Dhuafa. Misalnya, tidak hanya memberikan dukungan untuk UKT (Uang Kuliah Tunggal), tetapi juga dukungan pendanaan untuk pengembangan kapasitas, peningkatan keterampilan bahasa asing, pemetaan minat dan bakat, pengembangan social project, sampai persiapan karir pascakampus, tutur Rina.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru