Optika.id - Female Genital Mutilation (FGM) atau mutilasi genital di belahan tempat seluruh dunia masih terjadi kepada perempuan. FGM yang singkatnya dikenal dengan nama sunat perempuan ini masih dilakukan karena adanya adat dan tradisi yang turun temurun dilakoni.
Baca juga: Muhammad Ibn Abdullah dan Kebangkitan Arab-Islam
Berdasarkan data dari The United Nations Population Fund (UNFPA), ada 15 juta perempuan yang klitorisnya disunat dan angka ini akan bertambah sampai tahun 2030. Di Indonesia, provinsi dengan angka sunat perempuan tertinggi yakni Provinsi Gorontalo sementara provinsi dengan angka sunat perempuan terendah yakni NTT.
Sementara itu, berdasarkan data dari UNICEF pada tahun 2016, Indonesia menjadi negara ketiga yang melakukan sunat perempuan terbanyak di belakang Gambia dan Mauritania dengan persentase hampir 49%.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2010 sempat mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1636 Tahun 2010 tentang sunat perempuan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. dalam Permenkes tersebut diatur perihal batasan boleh dan tidak boleh dilakukannya sunat perempuan, hingga prosedur yang wajib ditaati oleh tenaga kesehatan.
Pada tahun 2014 Permenkes tersebut akhirnya dicabut karena menuai banyak polemik. Di sisi lain, sunat perempuan tidak mempunyai satupun manfaat dari sisi medis. Kendati demikian, praktik sunat perempuan dengan dalih kesehatan hingga tradisi masih dilakoni.
Alasannya dari langgengnya praktik tersebut menurut video dari UNFPA yang dikutip Optika.id, Minggu (21/5/2023) yakni adanya permintaan dari orang tua itu sendiri. Para orang tua berpikiran demikian karena berlandaskan pada keyakinan agama, adat, dan tradisi leluhur mereka. Apalagi, para orang tua juga menjadi korban dari tindak mutilasi genital itu sendiri.
Pasalnya, para ibu yang diwawancari dalam video UNFPA tersebut menganggap bahwa sunat perempuan merupakan perintah agama, keyakinan adanya tubuh perempuan yang kotor dan tradisi yang harus dilestarikan. Bahkan, seorang ibu yang diwawancarai mengatakan kekhawatirannya mengenai anak perempuan yang tidak disunat akan menjadi genit dan libido berlebih ketika dewasa dan memasuki usia pubertas nanti.
Sunat perempuan berdasarkan temuan dari WHO (World Health Organization) sering diasosiasikan sebagai cara untuk mengontrol seksualitas perempuan. Hal ini ditandai dengan kepercayaan bahwa klitoris merupakan sumber nafsu dan dengan memotongnya maka akan mengurangi nafsu seksual yang dipandang tidak bermoral itu. Tak hanya itu,kemampuan perempuan untuk tetap perawan sampai menikah juga bisa dicapai lewat praktik ini.
Misalnya di Mesir dan Senegal, WHO menemukan kepercayaan di sana bahwa sunat perempuan bermanfaat bagi kesehatan. di kedua negara itu, sunat perempuan dipandang perlu karena mereka percaya bahwa klitoris bisa terinfeksi oleh cacing jika tidak dipotong dan hal tersebut bisa berdampak buruk pada anak gadis.
Aneka prasangka yang menyebutkan mutilasi itu halal karena perempuan mempunyai libido seksual tinggi, tubuh perempuan kotor, dan lain sebagainya menurut peneliti gender dan Islam, Lies Marcoes menilai karena hal tersebut merupakan kecurigaan pada tubuh perempuan dengan basis misoginis atau kebencian pada perempuan.
Lies Marcoes pun menyebut jika sunat perempuan bukanlah tradisi dari Islam. Alih-alih Islam, tradisi itu merupakan tradisi pra-Islam yang dilakukan jauh sebelum Islam turun. Tidak disebutkan dasar sunat perempuan dari hukum manapun baik Al-Quran, maupun hadis itu sendiri.
Babatunde Osotimehin selaku Kepala UNFPA periode 2011 2017 pun menegaskan bahwa praktik sunat perempuan merupakan bentuk kekerasan pada hak asasi manusia. Oleh karena itu harus segera dihentikan. Dia juga berpendapat bahwa praktik sunat perempuan merupakan kekerasan pada anak dan tidak mendapatkan konsensual dari sang anak karena dilakukan oleh orang tua itu sendiri
Sudah Ada Sejak Abad ke-13
Di Indonesia sendiri praktik sunat perempuan telah dipraktikkan cukup lama. Dalam penelitiannya yang berjudul "Female Circumcision in Indonesia: To Islamize in Ceremony or Secrecy", Andree Feillard dan Lies Marcoes melacak dan menemukan bahwa fenomena mutilasi genital ini sudah dilakukan sejak abad ke-17 di Indonesia. data tersebut disimpulkan pasca keduanya membaca buku dari Nicolas Gervaise berjudul "Description historique du Royaume de Macacar".
Orang-orang Makassar, berdasarkan catatan dari Gervaise, percaya akan keselamatan jiwa-jiwa perempuan dengan cara melakukan sunat. Berbeda dengan laki-laki yang mesti duduk di kepala banteng dengan aneka ritual yang mengiringi, sunat perempuan biasanya dilakukan secara rahasia dan tanpa kehadiran laki-laki.
Berbeda dengan yang Gervaise bayangkan, praktik sunat perempuan ini nyatanya sudah berkembang sejak lama yakni ketika ajaran Islam masuk dan menyebar ke Nusantara pada abad ke-13.
Hal tersebut juga ditandai dengan adanya berbagai laporan dari etnografer yang menulis adanya sunat perempuan ini, terutama pada paruh kedua abad ke-19. Winter, seorang peneliti Belanda dalam catatannya dia menulis pada tahun 1843 ada seorang anak perempuan di Surakarta berusia 6 7 tahun disunat. Potongan klitoris anak perempuan itu, dijelaskan oleh Winter, dibungkus kain bersama sedikit kunyit lantas ditanam di bawah pohon kelor yang dipercaya bisa menangkal hal-hal gaib yang sifatnya berbahaya.
Baca juga: Charles Martel, Membendung Ekspansi Islam ke Eropa Barat
Pekerja administrasi Belanda, Riedel, 30 setelahnya kemudian menemukan anak-anak perempuan di Gorontalo disunat saat usia mereka menginjak 9 15 tahun pada tahun 1870-an. Tak hanya itu, Etnografer asal Belanda, G.A. Wilken pada tahun 1885 menarik kesimpulan jika praktik mutilasi genital itu bukanlah praktik asli suku-suku Indonesia lantaran kebanyakan dilakukan oleh keluarga Muslim atau komunitas Muslim. Dia menyimpulkan sunat perempuan ini merupakan praktik yang dipinjam dari Arab.
Wilken menyimpulkan tersebut karena dirinya merujuk pada teori bahwa perempuan di Jazirah Arab dan Afrika melakukan sunat dengan berbagai alasan di abad ke-19. Salah satu alasan tersebut yakni menghilangkan ketidaknormalan di alat genitalnya. Biasanya kondisi abnormal yang dimaksud yakni klitorisnya terlalu besar sehingga bisa mengurangi kenikmatan saat senggama dan harus dipotong.
Kondisi dengan perbedaan anatomi tubuh tersebut tidak diketahui oleh masyarakat nusantara. Para perempuan di Nusantara menurut Wilken tidak mengalamai abnormalitas seperti yang terjadi pada perempuan di Arab maupun Afrika. Sehingga, praktik sunat di Indonesia bukan merupakan praktik operasi melainkan ritus keagamaan yang diyakini wajib dilakukan padahal sebenarnya tidak demikian.
Kendati demikian, menurut Feillard praktik sunat perempuan di Indonesia tidaklah seburuk dengan sunat di negara-negara benua Afrika, terutama Afrika Utara seperti Sudan, Mesir, Etiopia dan Somalia. Di negara tersebut, sunat perempuan bisa memotong seluruh vagina perempuan. Kontan hal tersebut berbahaya karena efek sampingnya yang negatif seperti pendarahan, cacat seumur hidup dan infeksi.
Selain itu, perempuan juga tidak akan pernah mencapai kenikmatan seksual karena hilangnya klitoris mereka yang telah dimutilasi secara brutal.
Sunat di Afrika dan Kritik Feminis
Di Mesir, praktik sunat perempuantelah dilarang dan telah diatur dalam hukum sehingga pelakunya dikenakan sanksi pidana jika ketahuan melakukan praktik tersebut. Meskipun sudah diatur dalam hukum, namun masyarakat Mesir masih banyak yang melakukannya dengan dalih agar perempuan suci lahir batin.
Hal ini terjadi di desa kecil Provinsi Assiut, Mesir. Masyarakat di sana masih banyak yang melakukan sunat karena percaya jka para calon suami lebih memilih perempuan yang telah disunat. Pun para lelaki di sana sering meminta kepada calon istrinya agar melakukan sunat dulu sebelum mereka menikah.
Baca juga: Tabuik, Tradisi Mengenang Wafatnya Imam Husain Di Bulan Muharram
Atas praktik tersebut yang secara terus menerus dilakukan, Nawal El-Saadawi, seorang penulis feminis asal Mesir dalam bukunya Women and Sex yang terbit pada tahun 1972 mengkritik habis-habisan sunat perempuan ini. Akibat aksinya tersebut, buku Nawal dibredel dan dia kehilangan jabatannya sebagai direktur jenderal kesehatan publik.
Tak hanya Nawal, penulis feminis lain asal Somalia, Aayan Hirsi Ali juga mengkritik sunat perempuan. Dalam bukunya Belalah Hak-Hakmu! Perempuan dalam Islam, dia menulis praktik mutilasi genital ini masih banyak dialami oleh perempuan Somalia yang masih belia.
Dia yang bekerja di Belanda sebagai penerjemah bagi pencari suaka di klinik menyebut jika perempuan dari negara asalnya sering datang dengan keadaan tersiksa. Ketika mereka mengalami operasi, para perempuan itu merasa khawatir jika bekas sunatnya hilang dan meminta disunat kembali,
Lebih lanjut, dia menegaskan bahwa praktik mutilasi genital pada perempuan ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan perempuan yang paling diremehkan di seluruh dunia. Padahal, komplikasi yang ditimbulkan lebih mengerikan daripada yang diperkirakan.
Komplikasi kesehatan yang diderita oleh para perempuan yang disunat ini mengejutkan, jahat, dan tersebar luas. Seperti contoh ada seorang perempuan dari Ghana yang kehilangan bayinya dan merasa putus asa. Sejak kecil dia disunat menggunakan sekeping pecahan kaca, tulis Aayan Hirsi Ali dalam bukunya yang dikutip Optika.id, Minggu (21/5/2023).
Mutilasi genital tersebut, sambung Aayan, bisa membahayakan bayi dalam lintasan mereka melewati saluran kelahiran. Banyak ibu yang disunat tidak bisa mengeluarkan bayinya secara normal, bahkan banyak bayi yang meninggal karenanya.
Pemerintah juga seolah abai dengan kesehatan hak perempuan ini. Hal ini ditunjukkan oleh program yang dirancang pemerintah yang tidak mudah, tidak efisien dan mahal. Pemerintah harusnya memudahkan akses para gadis ini untuk menerima bantuan, bukannya mempersulit, pungkas Hirsi Ali.
Editor : Pahlevi