Dibalik Obsesi Terhadap Chindo

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Dunia sosial lagi-lagi mendapatkan tren baru. di TikTok, muncul sebuah akun yang mengglorifikasi Chindo, China Indo, atau Peranakan Tionghoa, dengan berlebihan. Tindakan ini memunculkan suatu obsesi terhadap perempuan keturunan Tionghoa-Indonesia alias Chindo.

Pencarian kata kunci Chindo di media sosial pun akan memunculkan hasil obsesi berlebih para pengguna yang menginginkan cewek Chindo atau validasi Chindo itu sendiri.

Melihat hal tersebut, Fanny (23) mengatakan bahwa kemungkinan preferensi atas Tionghoa didasarkan pada warna kulit yang dia biasa sebut bening.

Perempuan yang berasal dari keluarga keturunan Tionghoa ini mengamini pendapat bahwa banyak yang merasa terobsesi dengan cewek-cewek Chindo. Kendati demikian, dia mengaku risih.

Ya mungkin karena bosen ngeliat kulitnya yang eksotis-eksotis. Terus melihat yang chinese-chinese kulitnya pada bening-bening, ujarnya kepadaOptika.id, Senin (22/5/2023).

Meskipun dia melihat fenomena tersebut sebagai preferensi, namun dia juga mempertanyakan alasan mengapa mereka bisa begitu terobsesi dengan hal tersebut.

Kalau ditanya pernah dilecehkan sih enggak, Puji Tuhan ya. Tapi aku heran kenapa banyak yang begitu terobsesi entah menjadi atau mencari. Padahal, kan kita sama-sama ya. Sama-sama manusia dan sama-sama masyarakat Indonesia, imbuhnya.

Fenomena Chindo yang ada di media sosial saat ini sebenarnya merupakan konsep kecantikan perempuan yang berubah dari waktu ke waktu menurut preferensi dan jaman yang berubah. Sejak era kolonial, konsep kecantikan perempuan Indonesia berkiblat ke Barat dan Eropa. Apalagi, istilah Chindo saat ini dibuat peyoratif sehingga menyudutkan ras atau etnis tertentu.

Ayu Saraswati penulis buku Putih: Warna Kulit, Ras dan Kecantikan di Indonesia menjelaskan bahwa konsep kecantikan selalu berubah seiring perkembangan jaman dan budaya populer. Misalnya, standar kulit putih saat itu menandai superioritas kelas yang menunjukkan bahwa orang kulit putih lebih tinggi derajatnya dibanding mereka yang berkulit gelap.

Hanya selama era kolonial Belanda-ia bahwa putih, sebagai warna kulit, mulai merujuk pada kaum kulit putih, yaitu ras Kaukasiamakna kulit putih karena itu dicampuradukkan dengan makna ras putih. Seperti terlihat pada iklan yang beredar pada waktu itu, produk-produk dengan model Kaukasia, dari mulai beda bedak obat seperti bedak perawan dan ninon, hinga krim sesejuk salju, yang biasanya diklaim dapat membuat kulit tampak putih (yang secara literal berarti berkulit putih, tidak selalu kaum ras putih), tulis Ayu Saraswati dalam buku Putih, dikutip Optika.id, Senin (22/05/2023).

Selain Ayu, penelitian dari Diana Puspitasari yang berjudul Discourse on the shifting of local beauty: Concepts in an Easternization Era yang diterbitkan oleh Universitas Jenderal Soedirman (2020). Dalam penelitiannya, Diana menjelaskan adanya pergeseran konsep kecantikan perempuan Indonesia. pergeseran ini terlihat dari tahun 1990 2000-an tatkala iklan kosmetik sudah merambah ke media massa, khususnya Televisi.

Perbedaannya, pada tahun 90-an, iklan kosmetik lebih menampilkan citra perempuan dengan kulit coklat sawo matang yang bernuansa Jawa. Sedangkan pada tahun 2000-an sudah mulai bergeser tren kecantikannya bersamaan dengan masuknya budaya populer Korea dan Jepang.

Decade 2000-an inilah yang membuat pergeseran tren kecantikan dari era kulit sawo matang khas Jawa menjadi era kulit putih khas Korea dan Jepang. Transisi ini ditandai dengan hadirnya iklan merk kosmetik yang menonjolkan perempuan berkulit putih, cerah dan embel-embel seputih kulit korea, seputih kulit wanita Jepang, mengadung mutiara Korea, cantik alami khas Sakura.

Menurut professor Emeritus Monash University, Ariel Heryanto, tren Chindo ini bisa bersanding dengan tren ala Barat. Hal ini terlihat dalam budaya pop dan budaya hiburan yang berkembang dan dikonsumsi oleh masyarakat.

Benar Chindo dapat dibandingkan dengan sosok barat, khususnya keturunan Indo seperti tercermin dari dominasi tampilan tampang Indo di dunia hiburan dan budaya pop: film, iklan, televisi, dan mode, tutur Ariel, Senin (22/5/2023).

Namun menurut Ariel fenomena obsesi Chindo kini bukan hanya tentang preferensi semata, namun sudah mengarah ke tindak seksualisasi dan pelecehan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Proses seksualisasi ini, bagi siapa saja, berjalan dalam fantasi sensual tentang perempuan dan tubuhnya yang ditonjolkan secara berlebihan sebagai sebuah hiperalitas.

Untuk diketahui, seksualiasi perempuan yakni pemindahan ruang nyata pada ruang fantasi sebagai akibat dari hiperealitas. Seksualiasi ini biasanya menyasar tubuh, wajah, bibir, dada, kaki, paha dan bagian lain yang diberi penekanan lalu dipertontonkan untuk menarik hasrat, minat dan keinginan para penontonnya.

Bukan omong kosong, berdasarkan laporan dari Coconuts Jakarta bertajuk Wanita Tionghoa-Indonesia Menjadi Target Pelecehan Seksual Keji di Dunia Maya yang dikeluarkan pada 25 April 2022 silam menunjukkan banyak seksualiasi terhadap para Chindo.

Dalam laporan tersebut dijelaskan para gerombolan pria cabul menjadikan perempuan Tionghoa Indonesia sebagai objek fetish sensual mereka. Dari penelusuran terhadap 115 akun yang membuat konten cabul terhadap mereka, salah satu diantaranya menulis cuitan di akun Twitternya dengan merendahkan perempuan seperti Pelacur Cina harus selalu patuh terhadap penis Indonesia.

Di sisi lain, Ariel menjelaskan bahwa adanya obsesi Chindo ini merupakan gabungan antara sentiment kelas sosial, seksualitas, dan berbalut sejarah. Seperti yang dikatakan oleh Fanny, dirinya berpendapat bahwa adanya obsesi dan seksualisasi terhadap Chindo ini menunjukkan bahwa warga keturunan Tionghoa masih menjadi korban diskriminasi. Dirinya merasa sedih karena dia yakin warga Tionghoa Indonesia masih belum pulih dari trauma pasca kejadian di era Orde Baru.

Adanya seksualitas dan obsesi ini pada akhirnya hanya memupuk memori dan trauma kolektif yang turun temurun atau diwariskan dari generasi etnis Tionghoa Indonesia ke generasi selanjutnya.

Kalau gitu kita orang Chinese di Indonesia cuma selfie doang terus captionnya kayak melecehkan gitu ya berarti udah keliatan minoritas (yang didiskriminasi) banget dong. Kalian ngelecehin suku lain (atau) etnis lain. Berarti itu terulang kembali (trauma historis). Parah sebenarnya padahal jelas tidak ada perbedaan yang berarti karena meskipun kami keturunan, tapi kewarganegaraan kami Indonesia, jelas Fanny.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru