Optika.id - Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Hak Air (KRuHA), M. Reza Sahib menilai jika masalah air di Indonesia kian memburuk. Dia menyebut jika dilihat dari aspek keadilan, permasalahan air dan distribusinya ini berada dalam situasi terancam lantaran pola kebijakan pembangunan yang justru memperburuk ekosistem air.
Baca juga: Pembangunan Saluran Air di Area Rawan Banjir Dikebut Pemkot Surabaya
Berdasarkan data yang dihimpun oleh pihaknya, Indonesia seharusnya tidak mengalami krisis air. Pasalnya, Indonesia termasuk ke dalam 4 besar negara dengan sumber daya air terbanyak di dunia. Ditambah curah hujan di wilayah Indonesia cukup tinggi.
Akan tetapi, dia menilai ada pola kebijakan dari pemerintah yang justru menjadi boomerang lantas menciptakan krisis air di beberapa wilayah. Yang timbul dari hal tersebut selanjutnya yakni komodifikasi hingga komersialisasi air yang seharusnya bisa diakses oleh siapa saja dengan percuma.
"Ini juga berdampak ke situasi lainnya seperti pangan, kesehatan publik dan lainnya," kata Reza, dalam keterangannya, Senin (22/5/2023).
Buruknya air dan sanitasi ini pun membuat 30lita di Indonesia terancam gagal tumbuh alias stunting dan mengalami gizi buruk. Buruknya layanan air dan sanitasi ini menurut Reza bukan disebabkan oleh faktor-faktor alamiah.
"Indonesia hari ini mengarah pada situasi di mana air itu hanya bisa didapat lewat membayar. Kuantitas dan kualitasnya akan mengalir ke kelompok-kelompok masyarakat, termasuk dalam hal ini bisnis yang memiliki akses finansial dan teknologi yang lebih tinggi dengan menyelenggarakan sistem air sendiri. Hal itu dilegalisasi dan difasilitasi oleh negara," ucap Reza.
Menurut catatan dari Asosiasi Produsen Air Minum Kemasan Nasional (Asparminas), ada sebanyak 1.200 pelaku industri air minum dalam kemasan dengan volume air minum sebanyak 35 miliar liter per tahunnya.
Dari jumlah tersebut, hadir di pasaran 2.100 merek AMDK dan 7.000 lebih izin edar. Oh iya, penguasa pasar AMDK denganmarket shareterbesar, nyatanya juga sahamnya mini mayoritas sudah dikuasai investor asing, jelas Reza.
Lebih lanjut, apabila dilihat dari laporan PBB soal akses, hak atas air, pemukiman yang layak, sanitasi, pangan dan lainnya, Indonesia masih melanggar indikator normative yang telah ditetapkan.
Misalnya, pihaknya melihat saat ini terjadi pembiaran penguasaan air oleh korporat dan perusahaan air lainnya. Sumber daya air dan layanan air pun justru dimonopoli oleh korporasi dari hulu ke hilir sampai akhirnya terjadi ketidakadilan terhadap distribusi air.
"Secara sederhana, ketidakadilan air makin meruncing. Itu dilihat dari pasar air yang semakin membesar sementara layanan air makin memburuk dan pemerintah memperlemah indikator-indikator atas hak air itu sendiri," ucap Reza.
Baca juga: Warga Surabaya Keluhkan Kualitas Air PDAM yang Menurun
Di sisi lain, Reza menyebut jika keterlibatan pihak swasta makin menjadi dalam permasalahan kapitalisasi air ini. Belum lagi pemerintah yang hanya memberikan kebijakan dari solusi-solusi ekonomi yang membuat apapun masalahnya, solusinya adalah investasi tanpa memperhatikan dampak lingkungan yang ditimbulkannya.
Padahal, imbuh Reza, ada tujuh prioritas konstitusional air dan disitu menyebut bahwa alokasi pertama air adalah untuk kebutuhan pokok, bukannya korporasi.
Reza menegaskan jika ada situasi yang cukup naif di negeri ini.
Menurutnya, masalah-masalah air, sumber dayanya, keadilan distribusinya hingga akuntabilitas air seolah-olah hanya diselesaikan melalui pendekatan ekonomi makro oleh pemerintah. Padahal problem air merupakan krisis kebijakan, bukannya krisis alamiah. Dan itulah yang mengakselerasi ketidakadilannya.
Lebih lanjut, perjuangan untuk akses air bersih bukannya tak pernah digaungkan. Reza menyebut sudah banyak pihak yang terlibat melakukannya. Akan tetapi, pemerintah seolah menutup mata dan memilih untuk seolah kehabisan solusi untuk mengatasi hal ini.
Baca juga: Normalisasi Saluran Air Kandangan Surabaya Dipastikan Selesai Tepat Waktu
Pada akhirnya, hal yang menjadi alat uji untuk menyeleksi masalah air ini adalah survival of the fittest. Masyarakat yang bisa mendapatkan air, maka dialah yang selamat. Sebaliknya, mereka yang lemah dan tidak berusaha dengan keras untuk mendapatkan air bersih, mau tak mau harus menjadi pesakitan yang tersisih dari arena kehidupan.
Pertanyaannya, di mana peran negara? Di masa pasal 33 ayat 3 yang menyebutkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat?Ironisnya, saat ini kita harus membayar ke orang asing untuk air minum yang airnya diambil dari bumi di negeri sendiri, tutur Reza.
Dia pun menyinggung pemerintah yang gemar pamer dan klaim sana sini tentang Indonesia yang sudah masuk kualifikasi negara dengan industri 5.0 dengan penerapan AI, IoT, serta teknologi robot humanoid apabila untuk urusan yang paling dasar saja, seperti air, negara justru merasa kerepotan, tidak solutif, dan lemah tak berdaya dihadapan kapitalisme.
Atau jangan-jangan, ungkapan sekarang, sumber air su dekat, tak lebih dari sekadar nyanyian satir, karena minimarket yang menjajakan air sudah makin dekat dengan rakyat, pungkas Reza.
Sebagai informasi, saat ini krisis air bersih menjadi sorotan dunia. Baru-baru ini, Malaysia mengumumkan bahwa sebagian wilayah mereka mengalami krisis air. Bahkan, masyarakat di sana melakukan panic buying air mineral lantaran khawatir kehabisan stok air yang merupakan unsur yang penting bagi tubuh manusia.
Editor : Pahlevi