Dosen UNJ: Jokowi Salah, Ikut Cawe-Cawe Pilpres 2024!

Reporter : Danny

Optika.id - Pada mulanya publik mengira bahwa keberadaan pemimpin sipil yang dilahirkan dari rahim rakyat dapat mengeja dengan baik makna dan implementasi dari sebuah demokrasi.

Namun apa yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo telah mencederai proses Pemilu menjelang Pemilihan Presiden RI 2024 yang sedianya berazaskan Luber Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil).

Dalam kapasitasnya sebagai Presiden, Joko Widodo tampak jelas tidak taat azas dan tidak mengindahkan prinsip Luber Jurdil sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017.

Hal tersebut semakin dipertegas oleh bekas Wali Kota Solo itu terkait aksi cawe-cawe politiknya saat bertemu dengan sejumlah pemimpin redaksi yang terhimpun dalam Forum Pemred di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin sore, (29/5/2023).

Dengan berdalih demi bangsa dan negara, Jokowi lagi-lagi menjilat ludahnya sendiri ketika menganggap pertemuannya dengan enam ketua umum partai politik pada awal Mei lalu hanya sebagai ajang diskusi politik, bukan cawe-cawe.

Wartawanmeminta pandangan terkait hal di atas kepada Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dr. Ubedilah Badrun, S.Pd., M.Si. Ia menyebut ada tiga kesalahan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dalam konteks cawe-cawe politik.

Pertama, Jokowi salah memahami dirinya sebagai seorang Presiden bahwa Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam konteks Pemilu Presiden sesungguhnya sedang menjalankan dua fungsi itu sekaligus yaitu kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, terang pendiri Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) kepada Optika.id, Rabu, (31/5/2023).

Akademisi kelahiran Indramayu, 15 Maret 1972 itu lalu menambahkan, dengan alasan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam konteks Pemilu, maka Presiden hanya berfungsi untuk menjamin jalannya Pemilu sesuai agenda dan azas serta prinsip-prinsipnya.

Argumentasi yang dikemukakan oleh pengajar mata kuliah Sosiologi Politik pada jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) di Universitas Negeri Jakarta itu semakin telak saat membandingkan sikap dua presiden pendahulunya dalam menyelenggarakan Pemilu dan Pilpres.

Kedua, Jokowi salah memahami praktik politik kenegaraan saat ini. Padahal sudah dicontohkan Megawati dan SBY sebelumnya bahwa urusan capres-cawapres dalam konteks Pemilu itu adalah urusan partai politik, jadi cukup partai politik saja yang sibuk urusan capres-cawapres, bukan Presiden, jelasnya.

Jokowi, imbuhnya, sekadar Petugas Partai bukan Ketua Umum Partai Politik yang memiliki hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan capres dan cawapres sesuai dengan UUD 1945 pasal 6A. Apalagi, lanjutnya, ia sibuk membuat koalisi KIB dan sibuk urus Musra (Musyawarah Rakyat) untuk mencari calon Presiden.

Sosok pendidik di Labschool Jakarta periode 1997-2002 dan pernah menjadivice principaldiTokyo Indonesian School(SRIT) hingga akhir tahun 2006 itu kemudian menerangkan bahwa Jokowi tidak mengerti hukum tata negara, di mana Presiden dipilih langsung oleh rakyat, bukan diberi mandat oleh MPR seperti sebelum masa reformasi.

Ketiga, Jokowi salah karena masih menggunakan jalan pikiran pemerintahan orde Soeharto di mana Presiden dipilih oleh MPR dan dalam menjalankan pemerintahannya dipandu oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dibuat MPR, ungkapnya.

Ketua Umum HMI-MPO Cabang Jakarta tahun 1997-1998 dan Ketua Umum HMI MPO Badan Koordinasi (Badko) Jawa Barat tahun 1998-1999 itu menilai bahwa Jokowi gagal memahami perbedaan antara sistem pemerintahan sekarang dengan era Soeharto yang dipandu oleh GBHN dengan rencana pembangunan lima tahunan dan jangka panjang 25 tahunan. Sehingga keberlanjutan pembangunan adalah sebuah keniscayaan.

Diketahui, Calon Presiden Anies Baswedan yang diusung oleh Partai NasDem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera telah menawarkan gagasan perubahan. Hal inilah yang membuat Jokowi akhirnya mengurangi jam tidur untuk menata koalisi dan ikut menentukan capres sesuai kehendaknya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru