Dinamika Pilpres 2024, Indonesia Demam Setiap 5 Tahun, Kejang Selama 10 Tahun

Reporter : Danny

Optika.id - CEO PolMark Research Center, Eep Saefulloh Fatah, membeberkan sejumlah faktor menarik yang harus menjadi perhatian dipilpres2024. Salah satunya yakni tak adanya bacapres petahana di pilpres mendatang.

Baca juga: Meski Pemilu 2024 Selesai, Perlawanan ke Jokowi Tak Boleh Berhenti

Menurut Eep, tidak adanya petahana akan membuat pemilih lebih sulit mengkaji mana bacapres yang layak memimpin Indonesia ke depan.

Eep juga memandang Pemilu 2024 masih akan diwarnai politik identitas. Ada pula ujian baru yakni pelemahan demokrasi dengan cara-cara birokrasi.

"Keunikan ketiga, Pemilu 2024 pasang ketiga politik identitas. Sejak Pilkada DKI politik identitas diproduksi jadi komunikasi politik. Kita lihat ujungnya ada dikotomi kebangsaan dan Islam. Akal saya tolak, ini penghadapan tidak masuk akal. Tapi obrolan ini masih menghiasi politik," ujarnya dalam sesi Diskusi Akhir Pekan bertajuk "Dinamika Pilpres 2024: Peta Saat Ini yang ditayangkan melalui akun YouTube Forum Insan Cita, Minggu (11/6/2023).

Baca juga: Eep Saefulloh Ungkap Jokowi Harus Segera Diturunkan

"Keempat dari pemilu sebelumnya, 2024 ujian serius untuk presistensi demokrasi. Bayangkan, proses sudah jauh sistem masih didiskusikan bahkan bisa diubah. Ini nggak bisa diterima akal sehat. Menurut saya, ini pemilu dengan kualitas demokrasi paling rendah. Sebelumnya juga [ada upaya] 3 periode dan [pemilu] tertunda. Alhamdulillah menurut survei ini nggak jadi serius, ini problem elite," tambahnya.

Eep mengajak pihak akademisi mengawal pemilu dengan menggencarkan edukasi politik kepada masyarakat. Ia mengingatkan, pemimpin tak boleh siapa saja yang ingin maju, melainkan yang betul-betul layak.

Baca juga: Eep Saefulloh: Pemilu 2024 Terburuk Sepanjang Masa

"Dengan ujian serius, politik identitas, ada kebutuhan presiden yang layak memimpin. Saya punya dugaan instrumen non elektoral bisa digunakan di 2024. Baik berupa aparatur, tata kerja, yang bukan domain penyelenggaraan pemilu. Seperti BIN dan polisi. Ketika KPK, Kejaksaan, digunakan untuk menghambat atau fasilitasi pemenangan pemilu seperti kandidat atau parpol, itu non elektoral. Nah non elektoral ini pasang naik," papar dia.

"Karena itu, upaya jadi pengawas itu kebutuhannya pasang naik juga. Harus disyukuri, pemilih tuh sebenernya dari 2015 ke sini ada kemandirian politik. Indonesia dirusak politik uang benar, tapi apa politik uang marak atau efektif? Umumnya pemilih kita ketika ditanya jika ada kandidat yang beri uang atau benda supaya milih apa sikapnya? Terbanyak ambil uangnya, tapi pilihan berbeda. Pemilih semakin cerdas, politisnya yang tidak mau berubah, tidak cerdas-cerdas," pungkasnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Sabtu, 14 Sep 2024 18:18 WIB
Jumat, 13 Sep 2024 08:24 WIB
Senin, 16 Sep 2024 11:12 WIB
Berita Terbaru