Dampak Buruk KBGO dan Bagaimana Hukum Menyikapinya

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Penyebaran konten intim nonconsensual yang biasa kita lihat dalam media maupun media sosial merupakan problem yang berulang dan tergolong rawan. Salah satu faktor utama dari penyebaran konten intim ini tak jauh-jauh dari patriarki.

Baca juga: Tak Layak, Hasyim Asy'ari Sudah Selesai!

Staf Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Nenden Sekar Arum menjelaskan motif pelaku dalam menyebar konten tersebut. Menurutnya, penyebaran konten yang tergolong sebagai kekerasan berbasis gender online (KBGO) ini disebabkan oleh pelaku yang ingin membalas dendam sehingga membuat korban menjadi malu.

Ironisnya, penanganan kasus hukum acapkali berat sebelah dan lebih menitikberatkan perempuan sebagai pihak yang salah. Di sisi lain, penyebaran konten intim tanpa konsen ini pun memiliki dampak sosial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kerugian lebih besar kerap menimpa perempuan, apalagi ketika perempuan ingin speak-up di media sosial untuk menuntut keadilan, jerat UU ITE masih membayangi.

Berdasarkan data dari catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2018 2019, diketahui telah terjadi lonjakan kasus KBGO dari 65 menjadi 97 kasus. Kemudian pada tahun 2019, kasus naik menjadi 281 kasus. Selama tiga tahun, Komnas Perempuan menggaris bawahi bahwa kasus yang paling sering terjadi yakni tindak penyebaran konten intim nonconsensual.

Sedangkan pada tahun 2020, Komnas Perempuan mencatat ada sebanyak 659 kasus KBGO yang didominasi oleh tindak kekerasan seksual dan salah satunya berupa ancaman dan penyebaran konten intim.

Kemudian berdasarkan data dari SAFEnet, pada tahun 2020 penyebaran konten intim nonconsensual yang diadukan kepada mereka sebanyak 169. Hal ini meningkat 4 kali lipat dibanding tahun sebelumnya yang hanya 60 aduan KBGO saja.

Menurut Nenden, pandemi Covid-19 juga turut membuat kasus KBGO meningkat signifikan. Biang keladi dari meningkatnya jumlah KBGO ini tak lain adalah masyarakat yang sering mengakses internet di gawai masing-masing saat pandemi.

Karena tak ada kegiatan lain, akhirnya dalam keseharian mereka aktif menggunakan internet dan media sosial, kata Nenden, Senin (19/6/2023).

Frekuensi penggunaan internet yang melonjak drastis tersebut pada akhirnya meningkatkan juga risiko penyalahgunaan. Nenden menyebut, beberapa layanan dalam aplikasi komunikasi rentan dimanfaatkan orang untuk bertindak negatif.

Misalnya, orang berpeluang iseng untuk merekam percakapan tanpa izin ketika melakukan komunikasi melalui panggilan video. Hal ini juga sama dengan penggunaan berbagai aplikasi kencan daring. Menurutnya, hal tersebut amat sangat mudah disebarkan di media sosial tanpa persetujuan dari yang bersangkutan.

Pada akhirnya, korban yang tidak tahu jika hal itu sudah direkam oleh pelaku kemudian berpeluang dianggap ikut memproduksi video porno. Jika hal tersebut terjadi, nama baik korban akan tercoreng dan dia akan dibayangi hukuman.

Baca juga: Kasus Kekerasaan Seksual Tak Kunjung Henti Terjadi di Sekolah

Stigma atau stereotip negatif lantas dengan mudah melekat pada orang itu, kata dia.

Lebih lanjut, korban juga rentan menjadi sasaran victim blaming oleh publik. hal ini juga salah satu yang membuat kesan buruk pada korban berlangsung cukup lama.

Sayangnya, publik pun ikut menjadi kepo. Si perempuan yang berada dalam video itu lalu diulik dan dicap sebagai perempuan nakal atau stereotip lainnya. Hal-hal baik dari orang di dalam video itu jadi tidak diperhitungkan. tuturnya.

Tak hanya berdampak buruk pada korban, orang-orang terdekat atau keluarga korban sendiri pun berpotensi terkena getahnya. Alhasil, mereka mengalami trauma berkepanjangan karena merasa dilukai oleh pelaku. Pun, isu ini akan diawetkan oleh jejak digital seputar pemberitaan di internet.

Meskipun orang dalam video itu tidak terbukti sebagai tokoh artis, tapi namanya sudah disebut-sebut oleh media ditambah lagi jejak digital tak akan pernah bisa hilang dengan mudah, ucapnya.

Baca juga: Mengapa Kekerasan Rentan Menimpa Perempuan?

Selain mengalami trauma, korban yang terlihat dalam video porno juga rawan dikriminalisasi. Hal ini terjadi lantaran ada pasal karet dalam UU ITE yang sifatnya sumir serta dianggap tidak berpihak kepada korban.

Berdasarkan hal tersebut, Nenden mengaku bahwa pihaknya belum pernah mencatat satupun penanganan kasus hukum soal video intim nonconsensual yang bisa secara tegas menjerat pelakunya dengan hukuman pidana. Oleh sebab itu, dia memprediksi jika berbagai kasus video porno yang muncul dan diduga melibatkan artis-artis tanah air nantinya akan terus berulang sementara pelaku menghilang begitu saja.

Seperti yang kemarin sempat ramai, artis inisial RK yang jadi korban revenge porn dari mantannya. Malah dia yang meminta maaf dengan dalih selaku public figure sementara pelakunya anteng tersembunyi identitasnya. Masyarakat pun banyak yang mengkriminalisasi si artis dengan alasan ini itu. Ya Idealnya memang perlu ada payung hukum tersendiri yang fokus mengurus KBGO agar tegas dan benar-benar melindungi korban, jelasnya.

Dia menegaskan bahwa keadilan sangat dibutuhkan dalam penanganan KBGO ini. Bukan hanya hukuman kepada pelaku, melainkan pihak yang menjadi korban juga harus diperhatikan dalam pemenuhan hak atas pemulihan psikologisnya yang terguncang akibat ulah dari pelaku yang sangat merugikan tersebut.

KBGO itu dampaknya sangat berlipat-lipat pada korban, pungkasnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru