Optika.id - Beberapa waktu belakangan, kekerasan terhadap perempuan atau femisida marak terjadi. Baik yang diangkat ke permukaan (viral) maupun yang belum terekspos oleh media. Misalnya, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang baru-baru ini dialami oleh seorang dokter bernama Qory sehingga korban melapor ke unit pemberdayaan perempuan terkait. Tak hanya KDRT, kekerasan dalam berpacaran pun sebenarnya marak yang dibuktikan dengan kasus revenge porn yang kerap dialami oleh para perempuan di luar sana.
Menanggapi hal demikian, Psikolog Klinis Forensik dari Universitas Indonesia (UI), A. Kasandra Putranto menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan dibanding dengan laki-laki. Salah satu penyebabnya adalah adanya asumsi atau konstruksi sosial masyarakat yang menganggap bahwa perempuan adalah pihak yang lemah.
Baca Juga: Akar Masalah Struktural Hingga Kultural Perundungan Anak di Sekolah
"Kedua, mungkin ada ketergantungan finansial, emosional, atau ketergantungan sosial di mana mungkin ada ekspresi-ekspresi yang menyatakan bahwa perempuan itu tidak berdaya," kata Kasandra dikutip dari keterangannya, Minggu (26/11/2023).
Dalam pranata sosial, jelas Kasandra, perempuan kerap kali ditempatkan sebagai strata terbawah dan tokoh yang harus mengalah. Dirinya juga menegaskan bahwa perempuan yang telah menjadi korban kekerasan rentan mengalami kekerasan sekunder.
Dengan kata lain, saat kekerasan tersebut terjadi, maka kerap diikuti dengan kekerasan lainnya misalnya banyak orang yang berpendapat bahwa penyebab kekerasan itu karena perempuan sendiri.
Baca Juga: Kasus Kekerasaan Seksual Tak Kunjung Henti Terjadi di Sekolah
Lebih lanjut, alasan mengapa perempuan rentan terhadap kekerasan adalah terhadap profil psikologis yang khas. Selain akibat ketergantungan emosional, finansial atau sosial, perempuan juga rentan menjadi korban kekerasan akibat pola asuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pola asuh keluarga yang salah, ucap Kasandra, bisa memicu bibit kekerasan pada anak di masa depan. Entah kelak dia akan menjadi korban yang menoleransi kekerasan, atau lebih buruknya, menjadi pelaku.
"Kekerasan terjadi ketika ada kesenjangan kuasa, yang satu lebih berkuasa daripada yang lain, lebih powerful sehingga melakukan kekerasan terhadap yang dianggap lemah karena ada kesenjangan relasi kuasa," ujar Kasandra.
Baca Juga: Benarkah KDRT Bisa Diwariskan?
Alhasil, korban yang mengalami kekerasan pun susah keluar dari lingkaran tersebut serta kesulitan untuk meninggalkan pelaku. Dia menganalogikan situasi korban layaknya sedang diikat berkali-kali oleh seutas tali.
"Kita bayangkan kalau seutas tali mengikat satu lingkaran saja tentu mudah memutusnya, tetapi kalau diikat berkali-kali sampai 10 atau bahkan 100 kali, gunting macam apa yang bisa menggunting tali tersebut. Walaupun seutas tetapi dijeratnya berkali-kali," ucap Kasandra.
Editor : Pahlevi