Optika.id - Tidak hanya dari kalangan akademisi, rencana revisi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga mendapatkan penolakan dari buruh. Salah satunya, disuarakan oleh aktivis Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Unang Sunarno, dalam sebuah diskusi dengan tema "RUU TNI: Kajian Kritis dalam Konteks Gerakan Sosial Buruh dan Demokrasi" yang diadakan di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan, pada Jumat (21/7/2023).
Baca juga: PKS Tegaskan Tolak Wacana Dwi Fungsi TNI!
Unang menyatakan bahwa penolakan ini muncul setelah mempertimbangkan salah satu poin revisi UU TNI, yaitu keinginan untuk memperluas cakupan tugas tentara dari hanya menjadi alat pertahanan negara menjadi juga alat keamanan.
"Ini seolah-olah mengembalikan dwifungsi yang dihapuskan pada era Reformasi 1998," ujar Unang.
Menurut Unang, tanpa adanya revisi pun, sudah ada posisi prajurit TNI yang bersamaan dengan buruh. Khususnya, prajurit TNI sering bertugas mengamankan kawasan industri hingga mengawal setiap aksi demonstrasi.
Baca juga: Soal Revisi UU TNI, YLBHI Tolak Wacana Usulan Luhut Pandjaitan
"Rekan-rekan buruh, jika dijaga oleh kepolisian masih bisa bernegosiasi dan ada pendekatan persuasi, tetapi jika sudah ditempati oleh tentara, pendekatan persuasi sudah tidak berlaku," tambahnya.
Pengamat dari Lembaga Informasi Perburuhan, Syarif Arifin, juga menyatakan pandangan serupa. Menurutnya, buruh memiliki trauma tersendiri dengan kehadiran militer.
"Kelompok buruh merasa terganggu dengan kehadiran militer yang seringkali campur tangan dalam gerakan buruh. Saat buruh hendak melakukan protes atau aksi demonstrasi, seringkali mereka sudah dijaga oleh tentara," ungkapnya. Ia berharap bahwa revisi UU TNI bisa ditinjau ulang karena tanpa adanya aturan yang jelas, prajurit TNI selalu terlibat dalam pengamanan aksi buruh.
"Meskipun belum ada undang-undang yang mengatur hal tersebut, prajurit TNI selalu terlibat dalam mengamankan aksi demonstrasi buruh," tandasnya.
Editor : Pahlevi