UU TNI Digugat di MK, Setelah Gagal Dihadang di DPR RI

author Pahlevi

- Pewarta

Minggu, 23 Mar 2025 14:21 WIB

UU TNI Digugat di MK, Setelah Gagal Dihadang di DPR RI

Optika.id - Elemen masyarakat sipil langsung menggugat Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah mereka gagal menghadang Rancangan Undang Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) untuk ditetapkan sebagai UUD TNI oleh DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) maka perlawanan akan diarahkan ke MK.

Gugatan diajukan oleh 7 orang yaitu Muhammad Alif Ramadhan (Pemohon I), Namoradiarta Siaahan (Pemohon II), Kelvin Oktariano (Pemohon III), M. Nurrobby Fatih (Pemohon IV), Nicholas Indra Cyrill Kataren (Pemohon V), Mohammad Syaddad Sumartadinata (Pemohon VI), dan R.Yuniar A. Alpandi (Pemohon VII).

Gugatan 7 orang itu sudah masuk ke MK dan tertera dalam situs Mahkamah Konstitusi (MK), Sabtu (22/3/2025). Permohonan itu terdaftar dengan nomor 48/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025.

"Permohonan Pengujian Formil Undang-Undang Nomor ... Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia," bunyi pokok perkara gugatan tersebut.

UU TNI Mulus Ditetapkan oleh DPR RI

Baca Juga: Aksi Tolak Revisi UU TNI di Surabaya: Puluhan Massa Ditahan, Akses Bantuan Hukum Dihambat

Sebelumnya, DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI menjadi undang-undang. Keputusan ini diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sejumlah menteri.

UU TNI diputuskan DPR RI tanpa perdebatan, tanpa oposisi, dan dengan mulus disahkan dan disetujui oleh semua Fraksi di DPR RI. Rapat terselenggara di ruang Paripurna gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (20/3). Rapat dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani yang didampingi Wakil Ketua DPR yang lain, seperti Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.

Isu yang beredar, draf RUU TNI mengalami sedikit perubahan sebelum dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI. Adapun Pasal yang berubah dalam Undang-Undang ini adalah Pasal 7 ayat 2. Di mana isinya adalah tentang tugas pokok TNI yang kini memiliki dua yaitu operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang.

Untuk operasi militer selain perang, tugas TNI dirinci sebanyak 14 poin sebagaimana tertera dalam huruf b ayat (2) pasal 7. Dua di antaranya tugas tambahan TNI membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber dan membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.

Kemudian pasal 47 UU Nomor 34 Tahun 2004. Pasal ini mengatur tentang kementerian atau lembaga yang dapat diisi TNI.

Baca Juga: Mahasiswa dan Koalisi Masyarakat Sipil Tetap Demo Tolak UU TNI

Lalu, mengenai batas usia pensiun TNI. Sebelum direvisi, anggota TNI bertugas paling lama hingga usia 58 tahun untuk tingkat perwira. Sementara itu, untuk pangkat bintara dan tamtama, hingga usia maksimal 53 tahun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Usai diubah, batas usia pensiun prajurit menjadi:

- Bintara dan tamtama maksimal 55 tahun
- Perwira sampai pangkat kolonel maksimal 58 tahun
- Perwira tinggi bintang 1 maksimal 60 tahun
- Perwira tinggi bintang 2 maksimal 61 tahun
- Perwira tinggi bintang 3 maksimal 62 tahun
- Perwira tinggi bintang 4 maksimal 63 tahun (dapat diperpanjang maksimal 2 kali dua tahun sesuai kebutuhan yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden).

Baca Juga: Pembahasan RUU TNI Khianati Janji Pemerintah di Forum HAM Internasional

Lima Tuntutan Koalisi Masyarakat Sipil

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik beberapa pasal dalam revisi UU TNI yang dianggap berpotensi menghidupkan kembali fungsi politik tentara seperti di era Orde Baru, Tempo.co, 19 Maret 2025 | 10.01 WIB. Beberapa tuntutan utama yang mereka ajukan meliputi:

1. Penolakan Terhadap Dwifungsi Militer
Koalisi menilai revisi UU TNI justru mengembalikan praktik dwifungsi militer yang menjadi ciri represif Orde Baru. Hal ini bertentangan dengan semangat reformasi 1998.

2. Kekhawatiran Terhadap Pelanggaran HAM
Poin dalam revisi UU TNI dianggap bertentangan dengan berbagai rekomendasi internasional, termasuk Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT). Pasal 65 UU TNI yang mempertahankan yurisdiksi pengadilan militer untuk kasus HAM dianggap sebagai bentuk perlindungan terhadap pelaku pelanggaran HAM berat.

3. Menolak Penempatan Perwira Aktif di Jabatan Sipil
Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menyoroti bahwa revisi ini berpotensi menambah jumlah perwira non-job serta memperkuat penempatan perwira aktif dalam jabatan sipil. Hal ini mengancam independensi sipil dan berisiko memperkuat impunitas dalam militer.

"Draft revisi Pasal 71, usia pensiunnya diperpanjang menjadi paling lama 62 tahun. Revisi ini, jika disahkan justru akan menambah persoalan yang tidak pernah diselesaikan," kata Isnur dalam keterangan resminya, Ahad, 16 Maret 2025.

4. Transparansi dan Partisipasi Publik
Koalisi menilai pembahasan revisi UU TNI dilakukan secara tertutup, termasuk dengan menggelar rapat di hotel bintang lima, yang dinilai bertentangan dengan prinsip efisiensi anggaran negara.

Sebagaimana kita ketahui Komisi I DPR dianggap mengebut pembahasan revisi UU TNI bersama pemerintah. Mereka menggelar rapat secara tertutup selama dua hari di Hotel Fairmont Jakarta untuk membahas ihwal daftar inventarisasi masalah atau DIM RUU TNI.

5. Ancaman Sanksi Internasional
Koalisi memperingatkan bahwa Indonesia bisa menghadapi konsekuensi serius di berbagai forum HAM PBB jika revisi UU TNI tetap dipaksakan. Potensi sanksi diplomatik juga menjadi ancaman nyata akibat pelanggaran terhadap komitmen HAM internasional.

"Jika draf ini dipaksakan, Indonesia akan menghadapi konsekuensi serius di berbagai forum HAM PBB, termasuk sanksi diplomatik," kata Koalisi Masyarakat Sipil.

Tulisan: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU