Optika.id - Para politikus yang bertarung pada Pemilu 2024 nanti masih memanfaatkan media sosial untuk kampanye. Hal ini dilihat dari catatan We Are pada tahun 2023 yang menyebut bahwa pengguna media sosial di Indonesia mencapai 167 juta jiwa yang didominasi oleh anak muda sebagai pemilih pemula.
Baca juga: Tiktoker Ini Ungkap Jika PDIP Usung Anies, Seluruh Daerah Terkena Dampak Positif!
Kondisi tersebut seolah menjadi sinyal bahwa media sosial akan berpengaruh banyak pada pemilu 2024 sama seperti pemilu tahun 2019 silam.
Media sosial mengambil peran yang cukup penting dan harus dimanfaatkan apabila para politikus ingin menang dan mengantongi suara kawula muda. Pasalnya, berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemilih muda mengambil bagian dominan dengan persentase lebih dari 50%. Rinciannya, pemilih dari generasi milenial yang lahir antara tahun 1981 1996 sebanyak 68,82 juta jiwa atau sekitar 33,6% pemilih nasional. Sementara Gen Z yang lahir antara tahun 1997 2012 ada sekitar 46,8 juta jiwa atau sekitar 22,85%.
Menurut Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Hurriyah, para politikus justru masih belum memanfaatkan media sosial dengan baik. pasalnya, media sosial hanya diisi oleh info agenda serta propaganda kampanye semata. Politikus tidak bisa membangun kedekatan dengan para pengikutnya di media sosial.
Misalnya beberapa politisi ada yang membangun media sosial mereka secara pribadi untuk berkomunikasi langsung dengan konstituen. Itu kan ada sentuhan pribadi secara personal, daripada media sosial sekadar pencitraan saja. Isinya hanya sekadar info kegiatan politisi, kampanye, dan enggak ada engagement dengan konstituen," kata Hurriyah, Senin (25/9/2023).
Di sisi lain, dirinya juga mengingatkan bahwa media sosial ini lantas bisa menjadi boomerang bagi masyarakat serta politikus itu sendiri. pasalnya, ada berbagai ancaman dan potensi penyebaran berita maupun informasi palsu atau hoaks yang dapat terjadi hanya dengan gerakan jari dan klik saja.
Baca juga: Pelajar Surabaya Ini Kampanye Anti Kekerasan Seksual di Dunia Digital
Sementara itu bagi para politikus sendiri, citra yang dibangun secara tidak halus di media sosial juga akan berdampak negatif pasalnya mereka mulai aktif menggunakan media sosial hanya saat menjelang pemilu saja. Seakan-akan mereka sok akrab dengan masyarakat padahal tidak pernah ada kedekatan yang dibangun sebelumnya oleh mereka ke publik.
Dia menilai bahwa perilaku aktor elektoral saat ini telah gagal menjalankan atau menawarkan kampanye programatik. Apabila kampanye programatik tidak dijalankan secara baik dan hanya dilakukan ketika momen pemilu saja, maka itu bisa disebut sebagai cara yang paling instan dalam menjangkau pemilih.
Apalagi dengan cara memainkan emosi mereka. Itu salah satu cara dari politikus yang saya amati," tuturnya.
Baca juga: Pantauan Media Sosial: Putusan MK Memicu Kekhawatiran Soal Gibran
Senada dengan Hurriyah, Philips J. Vermonte selaku Senior Fellow Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebut bahwa penggunaan media sosial sebagai alat kampanye politik ini mempunyai beberapa mudharat yang harus diwaspadai. Hal ini dikarenakan tingkat edukasi pemilih Indonesia yang masih tergolong cukup rendah.
Ini program voters education kita hampir nggak ada, dibandingkan pemilu sebelumnya yang cukup masih dilakukan. Oleh karenanya, karena minim voters education juga menjadi tugas media, NGO, LSM terkait dengan masalah misnformasi. Partai politik harus ada sadar diri dan meminimalisir informasi yang bisa misleading dan menimbulkan konflik," ungkapnya.
Editor : Pahlevi