Pemerintah Kini Semakin Cuek dan Loyo

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar menyebut jika pemerintah telah gagal dalam menyejahterakan rakyat lantaran banyaknya konflik yang terjadi antara penguasa dengan pengusaha. Pasalnya, mereka lebih sibuk mengedepankan profit atau pemburu rente daripada membangun ekonomi berdaya tahan industri.

Hal tersebut, ujarnya, bisa dilihat dari masifnya bisnis yang masuk ke pemerintahan kemudian mengubah penguasa itu menjadi pemburu rente.

Baca juga: Menteri Kabinet Merah Putih Prabowo Subianto, Siapa Saja?

Pemburu rente itu bisa dilihat, (tetapi) tidak bisa dibedakan antara pengusaha dan penguasa," katanya dalam keterangannya, dikutip Optika.id, Sabtu (18/11/2023).

Zainal mengungkapkan, apabula pengusaha sudah menjadi penguasa, maka kebijakan yang dibuat hanya demi keuntungan pribadi dan kelompoknya saja. Dan hal tersebut terjadi di setiap aspek. Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Terbitnya putusan tersebut membuat jalan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekaligus Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka melaju mulus sebagai kandidat cawapres pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 nanti. pasalnya, meskipun belum berusia 40 tahun, namun sesuai dengan putusan MK tersebut, Gibran bisa maju menjadi capres maupun cawapres lantaran pernah menjadi kepala daerah.

Lebih lanjut, keputusan tersebut juga mengakibatkan dicopotnya Anwar Usman, yang merupakan ipar Jokowi dan paman Gibran, sebagai Ketua MK. Alasan dicopotnya Anwar Usman yakni karena dirinya terbukti melanggar 5 dari 7 Sapta Karsa Hutama dalam memeriksa dan memutuskan Perkara Nomor 90: prinsip integritas, ketidakberpihakan, kecakapan dan kesetaraan, kepantasan dan kesopanan, serta independensi.

Zainal menegaskan bahwa pemerintah terlalu cuek dan loyo lantaran tidak menganggap kontroversi Putusan MK Nomor 90 itu sebagai kesalahan yang berbahaya.

Baca juga: Prabowo-Gibran akan Dilantik Hari Ini, Apa Isi Sumpahnya?

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menyebut jika MK adalah lembaga yudikatif nir-pengawasan. Dia menilai jika Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang menggelar sidang atas dugaan pelanggaran etik Anwar Usman dkk masih ad hoc alias sifatnya sementara.

Maka dari itu, dia menyarankan agar Ketua MK yang baru, Suhartoyo, menjadikan MKMK permanen. Apalagi, sudah dimandatkan dalam undang-undang.

"Yang kemarin itu (MKMK, red) hanya ad hoc untuk kasus yang kemarin saja. Jadi, itu Prof. Jimly dan kawan-kawan (hakim MKMK, red) bekerja 30 hari saja karena masih ad hoc," terangnya.

Baca juga: Jokowi Setelah Lengser Langsung ke Solo, Lalu Tidur, BEM SI: Enak Aja!

Senada, dalam keterangan yang sama Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid menjelaskan jika selepas pemilu, parpol akan berbondong-bondong memikirkan langkah untuk mencari untung. Menurutnya, parpol hari ini sudah mulai berjalan tanpa ideology bahkan tanpa mengusung semangat teknokratis yang ditopang iuran rakyat.

Dia menilai jika hal tersebut terjadi lantaran pendanaan negara kepada parpol mulai melemah. Sehingga, imbuhnya, hal tersebut memicu partai mencari sumber pendanaan dengan berbagai cara dan upaya sekalipun jalan yang ditempuh tidak benar.

"Partai politik banyak berkembang, dalam ilmu politik, dalam mahzab kartelisasi. Ada banyak yang bisa menjelaskan ini," ucapnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru