Optika.id - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memutuskan 1 Ramadhan atau hari pertama puasa Ramadhan 2024 jatuh pada Senin, 11 Maret 2024. Sementara itu, awal bulan Syawal atau Idul Fitri 2024 bertepatan pada Rabu, 10 April 2024.
Keputusan tersebut tertuang dalam surat penetapan Hasil Hisab Awal Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Zulhijah 1445 H yang ditandatangani Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Hamim Ilyas dan Sekretaris Atang Solihin.
Baca juga: 112 Tahun Muhammadiyah dan Harapan Masyarakat
"Di wilayah Indonesia tanggal 1 Ramadhan 1445 H jatuh pada hari Senin Pahing, 11 Maret 2024 M," demikian keterangannya, dikutip dari laman PWMU, Kamis (18/1/2024).
Berdasarkan surat tertanggal 29 Desember 2023 tersebut, hasil keputusan didasarkan dari hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Hasil menunjukkan, tinggi bulan pada saat matahari terbenam di Yogyakarta pada 10 Maret 2024 yakni (¢ = -07° 48 LS dan l= 110° 21 BT ) = +00° 56 28". Artinya, hilal sudah terlihat dan awal Ramadan sudah dimulai sejak terbenamnya matahari pada 10 Maret 2024.
Saat matahari terbenam pada 10 Maret 2024, bulan berada di atas ufuk (hilal sudah wujud) kecuali di wilayah Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Papua Barat Daya.
Baca juga: Khofifah: Muhammadiyah adalah Pilar Kemajuan Bangsa dan Kemanusiaan
Sementara itu, untuk penetapan Idul Fitri 2024, PP Muhammadiyah menyatakan, tinggi bulan saat matahari tenggelam pada 9 April 2024 di Yogyakarta (¢=-07° 48 LS dan l = 110° 21 BT ) = +06° 08 28 dan di wilayah Indonesia pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Hal ini menandai terlihatnya hilal yang menjadi rujukan 10 April 2024 sebagai awal bulan Syawal.
Hisab hakiki adalah metode hisab yang berpatokan pada gerak benda langit, khususnya matahari dan bulan sebenarnya. Gerak dan posisi bulan dalam metode ini dihitung untuk mendapatkan gerak dan posisi bulan yang sebenarnya dan setepat-tepatnya sebagaimana adanya.
Adapun wujudul hilal adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pada saat matahari terbenam dan bulan belum terbenam. Dengan kata lain, bulan terbenam terlambat dari terbenamnya matahari berapa pun selisih waktunya. Dengan istilah geometrik, pada saat matahari terbenam posisi bulan masih di atas ufuk berapa pun tingginya.
Baca juga: Paus Fransiskus Desak Penyelidikan Genosida Israel di Gaza, Ini Tanggapan Muhammadiyah
Kriteria penetapan awal bulan baru dengan prinsip hisab hakiki wujudul hilal ini didasarkan dari tiga kriteria yang harus dipenuhi, yaitu sudah terjadi ijtimak (konjungsi) antara bulan dan matahari, ijtimak terjadi sebelum terbenam matahari, dan ketika matahari terbenam bulan belum terbenam, atau bulan masih berada di atas ufuk.
Sebaliknya apabila salah satu saja dari tiga kriteria tersebut tidak terpenuhi, saat matahari terbenam sampai esok harinya belum masuk bulan baru kalender Hijriah. Bulan baru akan dimulai pada saat terbenam matahari berikutnya, setelah ketiga kriteria tersebut terpenuhi.
Editor : Pahlevi