AS Dorong PBB Dukung Gencatan Senjata Gaza

Reporter : Danny

Washington DC (optika.id) - Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengusulkan rancangan alternatif resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyerukan gencatan senjata sementara di Jalur Gaza dan menentang serangan darat besar-besaran oleh Israel terhadap Rafah.

Seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, Selasa (20/2/2024), Washington selama ini cenderung menghindari untuk menggunakan kata "gencatan senjata" dalam setiap tindakan PBB terkait perang antara Israel dan Hamas yang berkecamuk di Jalur Gaza.

Baca juga: Masuki Bulan Natal, Rusia: Tak Ada Gencatan Senjata di Ukraina

Namun, draf resolusi alternatif yang diusulkan AS kali ini menggunakan istilah "gencatan senjata" yang telah diucapkan oleh Presiden Joe Bidensejak pekan lalu, saat membahas soal percakapan teleponnya dengan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu.

Draf resolusi usulan AS, seperti dilihat Reuterspada Senin (19/2/2024) waktu setempat, "menetapkan bahwa di bawah kondisi terkini, serangan darat besar-besaran ke Rafah akan mengakibatkan bahaya lebih lanjut terhadap warga sipil dan pengungsian mereka lebih lanjut, termasuk kemungkinan ke negara-negara tetangga".

Israel telah mengungkapkan rencananya untuk menyerbu Rafah, yang menjadi tempat perlindungan bagi lebih dari satu juta warga Palestina yang menghindari gempuran militer Tel Aviv. Rencana itu menuai kekhawatiran internasional karena dianggap akan memperburuk krisis kemanusiaan di Jalur Gaza.

Menurut draf resolusi usulan AS, langkah Israel itu "akan memiliki implikasi serius bagi perdamaian dan keamanan regional, dan oleh karena itu, menggarisbawahi bahwa serangan darat besar-besaran seperti itu tidak boleh dilakukan dalam kondisi saat ini".

Tidak diketahui secara jelas kapan atau apakah draf resolusi usulan AS ini akan diajukan untuk divoting oleh 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB. Sebuah resolusi memerlukan sedikitnya sembilan suara dukungan dan tanpa adanya veto -- dari AS, Prancis, Inggris, Rusia atau China -- untuk bisa diadopsi.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru