Surabaya (optika.id) - Peneliti Utama BRIN, Firman Noor menyebut masyarakat boleh optimis soal demokrasi negara Indonesia, namun harus memperhatikan beberapa hal. Berdasarkan musyawarah yang mengutamakan demokrasi, sejarah dunia akan selalu bergolak ketika kebebasan masih belum berjalan dengan baik dunia itu akan selalu mencari bentuk jalan terbaiknya.
"Indonesia sedang mencari pergolakan yang suatu saat nanti akan hadir demokrasi Indonesia secara bebas, datang dari elite. Itu diulangi lagi demi kemakmuran, demi pertumbuhan ekonomi dan menghantam demokrasi. Kali ini ada tiga dekade, rakyat mulai keluar dari sarang dan berebut kekuasaan. Rakyatlah bersama mahasiswa yang merebut untuk mengembalikan demokrasi sebagai esensi Indonesia," terangnya dalam diskusi "Forum Insan Cita", Minggu, (10/3/2024).
Baca juga: Diskusi Akhir Pekan Forum Insan Cita, Dinasti Politik Hasilkan Demokrasi Bajakan!
Namun, beberapa indikator demokrasi justru meredup, pada catatan Demokrasi Indonesia masih kalah dengan Malaysia dan Filipina dengan skor 6,5. Masih sangat jauh untuk menjadi negara yang demokratis. Setelah satu dekade menjadi negara demokrasi, 10 tahun belakangan terjadi gelombang balik, ada pasang surut.
"Kita mengalami pasang surut sudah ditengarai di tahun 2015 bahwa hati-hati pemerintahan selanjutnya bisa terjebak kongkalikong dengan oligarki, setelah Jokowi menang 2014, hati-hati Indonesia dengan oligarki. Sistem politik kita menjadi demikian elitis, saat ini negara yang elite bisa disentu diajak bercanda ngobrol, ketika membuat kebijakan tetap maunya elite. Belum murni otoritarien, sudah tidak lagi murni demokrasi," jelas dia.
Inilah, kata dia, yang menjadi demokrasi substansial mengapa demokrasi lemah. Penguasa itu sendiri pertama, elite menjadi elemen paling mengganggu dalam kehidupan demokrasi. Sejarah adalah sesuatu yang terulang. Ada tentara, polisi yang masuk dalam jaringan kekuasaan, aras paling krusial dalam demokrasi kita, terutama era kedua pemerintahan Jokowi. Ketika ingin perpanjangan kekuasaan, ditempuhlah jalan merebut MK dengan pencalonan Gibran.
Baca juga: Dinasti Politik Menghambat Demokrasi, Firman Noor: Justru Pelaku Anti Demokrasi!
"Menggunakan segenap kekuasaannya, bansos tidak semestinya, ancaman Kepala Desa anda akan diberikan carrot kalau melayani kepuasaan tapi akan dilibas ketika berani melawan kekuasaan. Pemilu sebagai cerminan demokrasi atau kepada partai, Weber mengatakan sebagai anak kandung demokrasi. Lengkap persiapan memang itu adalah upaya sistematis untuk menciptakan atau mengkondisikan kehidupan politik sesuai dengan selera penguasa, aras penguasa tidak sendirian, tapi bebarengan dengan masyarakat," tegasnya.
Semakin pragmatis, semakin tidak peduli dengan demokrasi. Itu sudah diprediksi dan itu betul menjadi landasan strategi politik 02 yang ternyata lemah komitmen. Meski tidak semua, memang ada kalangan kritis tapi hanya ada di WhatsApp Group diantara mereka. Fenomena bubble trap, saling masuk sendiri, kerumunan, bukan barisan.
"Adanya di kalangan kritis, kampus, universitas, mahasiswa tapi tidak pernah menyentuh demokrasi, yang terjadi adalah ketimpangan ekonomi akut, ketidak mandirian ekonomi. Karena edukasi lemah, itu merupakan sasaran empuk bagi co-partner penguasa dan oligarki adalah sistem hal yang memang sadar politik dan berjejer mulai nasional sampai lokal, oligarki lokal luar biasa tidak terlindungi untuk semakin kaya dan semakin berkuasa pada akhirnya," terang Firman Noor menjelaskan.
Dengan membeli suara, masyarakat yang sangat lemah akan mudah dihancurkan demokrasi. Lima puluh ribu di perkotaan is nothing, lima puluh ribu di pedesaan sangat everything. Bisa terbayangkan, aras masyarakat demikian ringkih. Belum juga civil society yang dihancurkan melalui cara apapun. Bukan tidak ada kemajuan, kalangan aktivis sudah kritis. Namun, masih terbatas, 58 persen pasti ada kecurangan, jumlahnya tidak sebesar itu ketika tidak dibantu oleh lemahnya demokrasi.
"Bicara partai politik, pada rata-rata telah kehilangan idealisme selain ingin berkuasa, meskipun berarti harus melawan konstitusi, harus menumbuhkan dinasti politik. Nepotisme, jadi partai sekedar menjadi political mesin untuk berkuasa dan ini pereduksian, kalau dibandingkan tahun 50-an lebih sekedar berkuasa tapi memberikan contoh bagaimana menjadi negarawan. Karena yang terjadi saat ini adalah terbelinya partai oleh oligarki dan dinasti politik dan menyebabkan munculnya pragmatisme. Seandainya, partai memiliki idealisme kuat terhadap konstitusi, tidak akan terjadi, tapi ini semua bisa terjadi karena dukungan penuh yang disadari oleh kepentingan ingin berkuasa dari partai yang ada," pungkasnya.
Editor : Pahlevi