Oleh: Daniel Mohammad Rosyid @Rosyid College of Arts
Optika.id - Menjelang suksesi kepemimpinan nasional pada 20 Oktober 2024 mendatang, penting dicatat pernyataan presiden terpilih Prabowo Subiyanto bahwa pilpres ala UUD2002 ini tidak saja mahal dan melelahkan, tapi juga brutal.
Baca juga: Parpol Adalah Organisasi yang Paling Berbahaya
Namun Pilpres langsung ini diakui oleh kaum pecinta demokrasi liberal sebagai pencapaian puncak kemenangan civil society atas otoriterianisme Orde Baru yg didukung tentara. Mereka ini menolak keras pilpres melalui MPR sebagaimana amanah UUD1945 sebelum diamandemen. Ini mereka sebut sebagai kemunduran demokrasi, dan bakal mengundang kembali otoriterianisme Orde Baru.
Kini jelas UUD 2002 menghasilkan pemerintahan yang bisa jauh lebih otoriter daripada Soeharto. Jokowisme adalah produk paling ikonik dari UUD2002 ini. Para die hard Jokower yang dulu memuja Jokowi kini ramai-ramai berbalik menjadi penentang Jokowi yang paling keras.
Dari Gunawan Muhammad, Frans Magnis Suseno, Ikrar Nusabakti, Shobary, hingga Islah Bahrawi. Juga para profesor yg terlambat menyadarinya. Mereka ini tidak melihatnya sebagai cacat sistemik pada UUD2002, namun menyalahkan Jokowi seorang diri. Parpol yg oleh UUD2002 diberi hak untuk memonopoli politik sama sekali tidak dipersoalkan. Ini sikap yang tidak saja gegabah tapi juga menyesatkan.
Apalagi jika saat jagoan pilpresnya kalah, mereka menuduh telah terjadi kecurangan TSM dan berusaha membatalkan hasil Pilpres ataupun pelantikan presiden terpilih.
Untuk memperbaiki deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah terlanjur terjadi ini, kembali ke UUD45 saja jelas tidak cukup. Tapi kembali ke UUD1945 adalah syarat perlu.
Baca juga: UUD 1945 adalah Bendera Perang Melawan Penjajah
Demokrasi mbelgedhes inilah yang menjelaskan mengapa kita harus menuntut agar pemilihan presiden dilakukan kembali melalui musyawarah bil hikmah oleh anggota MPR terpilih, bukan melalui asal coblos massal kertas suara pilpres oleh 160 juta pemilih yang rationally ignorant.
Pemilihan langsung 2000 tahun silam oleh warga kota Roma yg jumlahnya hanya beberapa ribu tidak akan terkena the law of large number yang justru berlaku pada pilsung fardlu 'ain oleh 160 juta pemilih yang tersebar dalam 800 ribu TPS di sebuah bentang alam kepulauan seluas Eropa ini.
Dalam kasus Roma, maka tidak terjadi asal coblos massal, sedang pada kasus Indonesia di Abad 21, asal coblos massal ini sudah berkali-kali terjadi tetutama jika paslon nya berjumlah lebih dari 2 pasang. Memilih presiden dari 2 capres saja tidak mudah secara rasional, apalagi memilih pasangan capres dan cawapres lebih dari 2. Jika jumlah paslonnya 3, seperti yang terjadi dalam Pilpres 2024 dan 2009, maka pemenangnya adalah paslon nomor urut 2 yang gambarnya terletak di tengah kartu suara pilpres. Ini boleh disebut efek Olson.
Pilpres fardlu kifayah oleh MPR yg diamanahkan UUD1945 jelas jauh lebih murah, lebih bermutu dan lebih akuntabel. Wakil-wakil rakyat di MPR, anggota Utusan Daerah dan Utusan Golongan tidak saja lebih mudah ditagih pertanggung jawabannya, namun mereka ini adalah representative and knowledgable sample of voters.
Baca juga: Peran Ulama-Santri dalam Perjuangan Melawan Penjajah
Perlu dicermati bahwa hasil Pilpres bisa diramalkan dengan cepat dan akurat melalui sample-based quick count. Pilpres itu juga akan melibatkan musyawarah yang elaboratif, dan lebih mendalam untuk memilih figur presiden mandataris yang kompeten dan amanah, bukan asal coblos presiden petugas partai oleh rationally ignorant and unaccountable publik pemilih.
Pilpres oleh MPR juga lebih aman dari ancaman perpecahan di akar rumput. Tidak perlu ada lagi 3 spesies baru hasil Pilpres langsung yaitu cebong, kampret dan kadrun.
KA Mutiara Timur Menuju Surabaya. (15/9/2024)
Editor : Pahlevi