Optika.id - Isu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan diwakilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD kembali mencuat dan viral setelah disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto. Isu tersebut memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Banyak netizen yang menyebut isu tersebut akan menjadi sebuah kemunduran demokrasi di Indonesia jika terbukti akan direalisasikan.
Usulan itu berdesus setelah Presiden Prabowo menyinggung peluang perubahan sistem tersebut. Dia mengatakan, dengan sistem pemilihan langsung, pilkada menelan biaya mahal. Menurutnya sistem politik di Indonesia yang dinilai mahal dan tidak efisien bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
"Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itu milih gubernur, milih bupati. Efisien, enggak keluar duit, keluar duit, keluar duit, kayak kita," kata Presiden Prabowo saat memberikan sambutan dalam acara HUT Ke-60 Partai Golkar, di Sentul International Convention Center, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12/2024).
Kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Betul? Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu, apalagi yang kalah, tambahnya.
Mendagri Setuju
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pun setuju dengan wacana mengubah sistem penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung menjadi dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Alasannya, pilkada langsung mengeluarkan biaya besar.
"Saya sependapat tentunya, kita melihat sendiri bagaimana besarnya biaya untuk pilkada," kata mantan Kapolri ini di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat pada Senin, (16/12/2024).
Pilkada langsung, kata Tito, juga menyebabkan kekerasan di sejumlah daerah. Melihat sejumlah dampak itu, Tito sebetulnya sudah lama mengajukan pilkada asimetris. Salah satu opsi pilkada asimetris itu, yakni kepala daerah dipilih DPRD.
Pilkada asimetris adalah sistem yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pilkada antar daerah. Perbedaan tersebut bisa muncul dikarenakan suatu daerah memiliki karakteristik tertentu, seperti kekhususan dalam aspek administrasi, budaya ataupun aspek strategis lainnya.
Tito menilai, pilkada melalui DPRD juga bisa diterjemahkan sebagai demokrasi perwakilan. Namun, Tito mengatakan, ide itu harus dikaji oleh parpol, DPR, hingga akademisi. "Tapi ya kita lihat bagaimana teman-teman di DPR nanti, parpol, akademisi, Kemendagri melakukan kajian," kata dia.
Menurut Tito, ide ini akan dibahas secara serius di bawah kementeriannya. Sebab, aturan mengenai pemilu kepala daerah ini sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
"Kan salah satunya sudah ada di prolegnas. Di prolegnas kalau saya tidak salah, termasuk UU Pemilu dan UU Pilkada. Nanti gongnya akan dicari tapi sebelum itu kita akan adakan rapat," kata Tito.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menambahkan bahwa tidak akan terburu-buru dalam menentukan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada). Walaupun demikian, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengatakan bahwa semakin cepat menentukan sistem Pilkada, maka semakin baik karena akan berdampak terhadap waktu persiapannya.
Tentu tidak terburu-buru juga," kata Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto usai berkunjung ke SMAN 34 Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Oleh sebab itu, dia mengatakan bahwa Kemendagri saat ini membutuhkan masukan dari publik dalam penentuan sistem pilkada. "Perlu masukan dari teman-teman kampus, peneliti, LSM (lembaga swadaya masyarakat), NGO (organisasi non-pemerintah), dan semuanya, dan terutama teman-teman partai politik dan DPR," jelasnya.
Sementara itu, dia juga menanggapi soal kekhawatiran masyarakat bahwa akan terjadi kemunduran bila kepala daerah dipilih oleh DPRD.
"Semua opsi itu ada plus minus. Ya kembali ke DPRD ada plus minusnya, langsung ada plus minusnya, ya semuanya pasti ada catatannya. Kami bahas semuanya di atas meja bersama-sama," ujarnya.
Baleg DPR Tunggu Pengajuan Pemerintah
Sementara itu, Badan Legislasi DPR RI Bob Hasan mengatakan pihaknya menunggu pengajuan dari pemerintah perihal usul Presiden Prabowo Subianto yang ingin pemilihan kepala daerah dilakukan oleh anggota DPRD.
Dia mengatakan sejauh ini belum ada rencana pembahasan Rancangan Undang-Undang atau RUU Pilkada pada 2025. Sebab, kata dia, pembahasan suatu RUU akan mempertimbangkan Prolegnas Prioritas 2025.
Intinya, itu masuk ke prioritas apa tidak, itu saja dulu. Kalau kita di Baleg menunggu pembahasan dulu, kata Bob Hasan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (16/12/2024).
Meski demikian, dia mengatakan pembahasan mengenai usul Prabowo tersebut bisa diajukan secara inisiatif oleh DPR. Namun, menurut dia, Baleg DPR secara resmi belum menerima gambaran atau arahan soal RUU Pilkada yang mengubah sistem politik itu. Inisiatif itu bisa datang dari mana saja, dari DPR, dari pemerintah, ucapnya.
Baca juga: Mahasiswa UI Gugat UU Pilkada ke MK, Minta Kampanye Kampus Tak Dilarang!
Dia memastikan Baleg DPR juga akan mendengar masukan dari publik mengenai usul pilkada oleh DPRD, yang banyak disorot karena dinilai akan mengurangi kedaulatan rakyat. Dia pun menilai, jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka belum tentu sepenuhnya menutup partisipasi publik, karena sebelumnya sistem politik seperti itu pernah diterapkan.
Kalau ada pembahasan terhadap RUU politik tersebut diperlukan pembahasan partisipasi publik, kita juga akan mendengar forum diskusi atau keterangan dari publik," ujarnya.
Kritikan Pedas
Wacana ini mendapat kritikan pedas dari Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan. Ia menilai meski bisa lebih efisien dalam anggaran, pilkada melalui DPRD sebagai sebuah kemunduran demokrasi. Sebab, kata dia, menghilangkan hak partisipasi politik masyarakat.
Bagi saya, Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan ke DPRD merupakan kemunduran demokrasi. Nilai demokrasi tertinggi itu adalah ketika rakyat dengan bebas menyalurkan pilihannya langsung untuk menentukan pemimpinnya, ujar Iwan dalam keterangannya, seperti dikutip Optika.id dari Tempo, Rabu (18/12/2024).
Sejumlah kalangan tidak sepakat dengan gagasan Prabowo itu. Mereka mengatakan pilkada oleh DPRD merupakan kemunduran politik, dan biaya pilkada langsung yang mahal bukan karena kesalahan sistem.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal, mengatakan usulan perubahan sistem pilkada dari pemilu langsung ke pemilihan oleh DPRD tidak cocok diterapkan pada sistem pemerintahan Indonesia. Sebab, Indonesia menganut asas otonomi daerah. Menurut dia, menghilangkan pilkada langsung sama saja dengan menghilangkan legitimasi pemerintah daerah.
Kalau dipilih DPRD, legitimasi dan representasi kepala daerah akan menurun, katanya.
Haykal mengatakan sistem presidensial juga tidak mengenal lembaga legislatif memilih lembaga eksekutif. Belum lagi, wacana itu akan menghilangkan sistem checks and balances yang dibangun antara DPRD dan pemerintah daerah.
Menurut dia, mengevaluasi pilkada tidak harus mengubah sistem. Evaluasi harus ditujukan untuk melakukan pembenahan penataan sistem, penegakan hukum, dan perbaikan rekrutmen partai politik dalam menentukan calon kepala daerah.
Momentumnya evaluasi bukan menggantikan sistemnya, karena masyarakat ingin pilkada langsung, kata Haykal.
Baca juga: Tanggapi Putusan MK, KPU: Pilkada Tetap Digelar Serentak
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan. Dia mengatakan ide Prabowo agar pilkada dilakukan oleh DPRD merupakan kemunduran secara politik. Ide yang buruk bagi demokratisasi dengan tata kelola politik desentralisasi, kata Halili.
Dia menuturkan, jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, maka akan mengembalikan lagi resentralisasi politik. Akibatnya, pemerintah pusat bisa secara langsung atau tidak langsung mengandalkan DPRD untuk memilih pemimpin di daerah.
Pilkada oleh DPRD juga mempersempit uang politik rakyat untuk mengekspresikan kedaulatannya secara langsung, katanya.
Halili menyebutkan selama ini pilkada langsung menjadi sangat mahal karena regulasi, kelembagaan, dan penyelenggaraan pilkada; kondisi partai politik; dan penegakan hukum pilkada yang buruk. Menurut dia, pilkada langsung memakan biaya mahal karena kandidat selama ini harus membayar biaya perahu atau mahar politik untuk mendapat rekomendasi dari partai untuk pencalonannya.
Biaya terbesar pilkada juga politik uang, dengan bentuk beragam dari aneka bantuan hingga serangan fajar, ucapnya.
Adapun Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengkritik wacana perubahan sistem pilkada dari pemilu langsung ke pemilihan oleh DPRD. Dia mengatakan alasan tingginya biaya pilkada adalah dalih klasik yang terus diulang dan tanpa data yang jelas.
Lagu pilu diputar lagi. Pilkada DPRD. Alasan biayanya terlalu mahal terkesan klasik diulang-ulang, katanya.
Ray menuturkan tidak ada data valid yang menunjukkan berapa besaran biaya pilkada, ke mana pengalokasiannya, atau bagaimana mendapatkannya. Sejauh ini, kata dia, biaya yang bisa dipastikan adalah dana kampanye yang mereka laporkan ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
Jika menilik laporan dana kampanye itu, hampir tidak ditemukan sinyal kuat bahwa ada biaya paslon yang sangat besar atau mahal, kata salah seorang pendiri Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) itu.
Namun jika kenyataan di lapangan ditemukan banyak dana yang dikeluarkan, Ray menyebutkan hal itu jelas tidak dibenarkan. Dengan kata lain, ada dana kampanye yang tidak dilaporkan dan hal tersebut merupakan pelanggaran.
Ray menekankan biaya pilkada langsung jadi mahal karena perilaku tidak jujur, bukan karena kesalahan pada sistem. Dia menyebutkan praktik-praktik seperti pembelian suara, pembayaran kendaraan politik, hingga suap kepada penyelenggara sebagai akar masalah.
Editor : Pahlevi