Wacana Pilkada Balik ke DPRD, Surokim: Ibarat Cari Tikus Rumahnya yang Dibakar!

author Pahlevi

- Pewarta

Rabu, 18 Des 2024 18:29 WIB

Wacana Pilkada Balik ke DPRD, Surokim: Ibarat Cari Tikus Rumahnya yang Dibakar!

Optika.id - Wacana mengubah sistem penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, balik menjadi dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat. Hal tersebut diibaratkan oleh Pakar Komunikasi Politik Surokim Abdussalam seperti "Ibarat Mencari Tikus, Rumahnya yang Dibakar."

"Ide pilkada kembali ke DPRD itu ahistoris dan setback. Perbaikannya menurut saya ada di tata laksana dan efisiensi anggaran saja jangan sistemnya yang diubah, bisa jadi itu ibarat cari tikus, rumahnya yang dibakar," kata Wakil Rektor 3 Universitas Trunojoyo Madura ini pada Optika.id, Rabu (18/12/2024).

Baca Juga: Bojonegoro Darurat Demokrasi

Menurut Surokim, ide dan gagasan pilkada tidak langsung harus ditanggapi hati-hati, tidak boleh emosional, dan harus berdimensi masa lalu dan masa depan karena pilkada langsung itu salah satu amanah reformasi.

"Bahwa ada paradoks dan kelemahan menurut hemat saya ada pada malpengelolaan sehingga menjadi mudarat. Jika di situ sumber masalahnya maka menurut hemat saya tidak berarti rumahnya yang harus diganti, tetapi perbaikannya bagaimana agar tidak high cost dan memboroskan anggaran negara," kata Peneliti Senior Surabaya Survey Centre (SSC) ini.

"Saya tetap setuju pilkada kabupaten/kota diselenggarakan secara langsung, tetapi dengan pembiayaan yang hemat dan efisien. Saya pikir logika yang dikembangkan tidak boleh ekstrim banget bahwa akan maslahat kalau diarahkan untuk rakyat, karena kalau semua dilakukan secara transparan, partisipatif dan akuntabel justru akan membuat maslahat bagi rakyat dan demokrasi," tambah Surokim.

Sesungguhnya, kata Surokim, kalau kembali ke pemilihan kepala daerah melalui perwakilan DPRD itu artinya setback ke belakang. Dampaknya kompleks khususnya berkaitan dengan edukasi dan partisipasi publik dalam politik.

"Menurut saya akan lebih banyak madaratnya jika kembali ke parlemen. Kita semua tahu dan punya pengalaman panjang terkait pemilihan kepala daerah di DPRD yang banyak dark zone yang sulit diakses publik," tukas Surokim.

"Saya pikir perbaikan harus dilakukan di semua aspek pilkada langsung, agar tidak memboroskan uang negara. Ya ini menjadi tugas semua elemen agar ada perbaikan dlm penyelenggaraan pemilu khususnya terkait dengan efisiensi anggaran," tambahnya.

Surokim pun mewanti-wanti, Pemerintah untuk berhati-hati mewacanakan Pilkada tak langsung melalui DPRD. Menurutnya akan lebih afdal untuk fokus pada perbaikan tata laksana khususnya efisiensi anggaran pemilu. Serta tidak mengembangkan wacana Pilkada oleh DPRD karena akan punya dampak serius dan resistensi di kalangan masyarakat.

"Ya otomatis kalau pilkada tidak langsung partisipasi publik nggak akan tumbuh baik dan lebih banyak ditentukan elite. Rakyat akan lebih banyak menjadi obyek politik saja, apatis karena bukan menjadi subyek politik aktif," jelasnya.

Menurut Surokim, resiko kepala daerah dipilih DPRD akan cukup kompleks, pasti akan menguatkan oligarki dan "patgulipat akrobat" politik elite.

"Sulit rasanya untuk bisa transparan, partisipatif dan akuntabel. Bagi kalangan masyarakat luas biasanya akses berpartisipasi menjadi terbatas dan tidak bisa bottom up terkait kandidasi ikut pilkada," tandasnya.

Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

Sebelumnya, wacana pilkada tidak langsung berdesus setelah Presiden Prabowo Subianto menyinggung peluang perubahan sistem tersebut. Dia mengatakan, dengan sistem pemilihan langsung, pilkada menelan biaya mahal. Menurutnya sistem politik di Indonesia yang dinilai mahal dan tidak efisien bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itu milih gubernur, milih bupati. Efisien, enggak keluar duit, keluar duit, keluar duit, kayak kita," kata Presiden Prabowo saat memberikan sambutan dalam acara HUT Ke-60 Partai Golkar, di Sentul International Convention Center, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12/2024).

"Kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Betul? Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu, apalagi yang kalah," tambahnya.

Sejarah Pilkada Langsung

Berdasarkan catatan yang dihimpun Optika.id terkait sejarah perpolitikan Tanah Air, sejak Indonesia merdeka hingga era Orde Baru Pilkada selalu diwakilkan pada DPRD. Pilkada secara langsung baru terlaksana setelah Reformasi dan untuk kali pertama digelar pada Bulan Juni tahun 2005.

Disadur dari buku Mencari Bentuk Otonomi Daerah oleh J Kaloh, gagasan pilkada secara langsung lahir dari keinginan agar kepala daerah yang terpilih benar-benar representatif. Artinya kepala daerah terpilih atau dipilih bukan hasil rekayasa politik atau produk "kongkalikong" anggota DPR, yang pada akhirnya bukanlah hasil keinginan rakyat yang sebenarnya.

Baca Juga: Mahasiswa UI Gugat UU Pilkada ke MK, Minta Kampanye Kampus Tak Dilarang!

Di masa pemerintahan Orde Baru, pilkada selalu dilakukan melalui DPRD, di bawah aturan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Biasanya yang selalu menang adalah calon dari Partai Golkar. Hal ini lantaran seluruh DPRD di Indonesia anggotanya mayoritas berasal partai pimpinan Presiden ke-2 RI Soeharto itu.

Menurut J Kaloh, meskipun kepala daerah dipilih oleh DPRD tetapi calon-calon terpilih diajukan dulu ke pusat dan pusatlah yang menentukan siapa yang terpilih. Dengan mekanisme seperti ini, peneliti bidang pemerintahan ini berpendapat sebenarnya yang dianut oleh Indonesia di masa lampau adalah Desentralisasi yang sentralistis. Peranan pemerintahan pusatlah yang lebih menentukan keinginan daerah.

"Gerak penyelenggaraan pemerintahan daerah yang telah ditata secara seimbang antara kekuasaan pusat dan daerah pada awal pelaksanaannya berjalan dengan baik, namun lambat laun mengalami deviasi dan distorsi akibat paradigma dan cara pandang rezim Orde Baru yang menjadikan kebijakan otonomi daerah sebagai instrumen sentralisasi, eksploitasi dan penyeragaman bagi daerah yang sangat beragam," tulis J Kaloh dalam bukunya seperti dilansir Tempo.

Setelah Orde Baru runtuh seiring mundurnya Soeharto pada Mei 1998, pelaksanaan UU Nomor 5 Tahun 1974 kemudian diubah menjadi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan ini kemudian mengubah sistem pemerintahan yang sentralistis menjadi demokratis. Konsep otonomi daerah sangat mengemuka dengan beleid baru ini, yang memberi harapan kepada kemajuan daerah.

Setelah lahirnya konsep otonomi daerah, UU tersebut kemudian diubah menjadi lebih kompleks pada 2004 dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam beleid inilah diatur pilkada dilakukan dengan pemilihan langsung oleh rakyat. Artinya rakyatlah yang secara langsung memilih siapa kepala daerah mereka.

Setelah terbitnya aturan tersebut, untuk kali pertama dalam sejarah perpolitikan di Indonesia akhirnya pilkada digelar secara langsung. Pesta demokrasi di mana rakyat terlibat secara nyata ini di gelar serentak di 213 daerah. Rinciannya yaitu di 7 provinsi, 174 kabupaten, dan 32 kota. Pemungutan suara digelar mulai 1 Juni di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dan berakhir pada 21 Desember di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU