Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Optika.id - Kasus korupsi yang sedang melanda negeri kita ini memang di "unprecedented level" atau di level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jumlah uang negara (sejatinya uang rakyat) seperti nya mengikuti konsep matematika yaitu deret ukur suatu perkalian dengan bilangan tertentu, bukan deret hitung yaitu penambahan suatu bilangan. Jumlah korupsi yang dulu hanya 1-2 jutaan, kemudian naik menjadi ratusan juta Rupiah, lalu 1-2 milyaran, lalu puluhan milyar, lalu ratusan milyar, lalu 1-2 trilliun, puluhan trilliuan, ratusan trilliun dan yang terakhir ini mencapai hampir satu kuadriliun atau seribu trilliun. Satu kuadriliun itu jumlah 0 nya adalah 15; jadi Rp 1.000.000.000.0000.000. Saya bertaruh dengan bahasa Suroboyo "ketokan gulu, omah, montor ku peen, awakmua gak isu nyebut angka diatas 1.000 trilliun (= taruhan, potong leher saya, ambil rumah dan motor saya, kamu pasti tidak akan bisa menyebut angka diatas 1.000 trilliun)."
Tautan di sosial media yang lagi viral menyebutkan ada tingkatan jumlah korupsi di Indonesia dengan judul "Klasemen Terupdate, Liga Korupsi Indonesia", mulai dari Rp 7, 8, puluhan trilliun, ratusan trilliun dan yang terakhir (untuk sementara ini Rp 968,5 trilliun, hampir satu kuadriliun itu.
Baca juga: Kami Dihina Dan Kami Marah..
Dulu tahun 1970-an tepatnya pada tahun 1976 dimana ada kasus korupsi yang jumlah nya Rp 7-8 milyar sudah membuat geger seluruh Republik ini. Tentu tidak segeger jaman sekarang karena dulu tidak ada internet, tidak ada sosial media, tidak ada HP, dan media ditekan oleh pemerintah Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto.
Baca juga: Ya Suroboyo, NU Suroboyo, Saya Tahu..
Kejadian korupsi itu terjadi di Depot Logistik (Dolog) Kalimantan Timur yang sebelumnya mendapat pujian sebagai Dolog yang paling rapi dan tertib. Namun, gaya hidup boros Budiadji sebagai Kepala Dolog Kaltim waktu itu membuat curiga Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Brigadir Jenderal Bustanil Arifin.
Budiaji terkenal selalu membayar tiket pesawat dan pelayanan istimewa kepada para pejabat pemerintahan. Majalah Tempo tanggal 11 Desember 1976 sudah melaporkan gaya hidup hedonis pak Budiaji ini misalnya sering tinggal di Jakarta daripada tempat bekerjanya, mampu menerbangkan pesawat pergi dari Jakarta ke Balikpapan pada pukul tujuh pagi dan kembali sore pada hari yang sama.
Baca juga: AS Perang Dagang Melawan Sekutunya Sendiri
Kegemarannya ini pernah membuat jengkel Sekretaris Militer Presiden, Letnan Jenderal Tjokropanonolo. Suatu kali, ketika Tjokropanonolo menunggu PresidenSoeharto di Bandara Temindung, Samarinda, sebuah helikopter turun. Ketika siap-siap memberi hormat kepada presiden, yang muncul ternyata Budiadji.
Sang koruptor Budiadji ini memang punya rumah mewah di Jalan Hang Lekir, Kebayoran Lama, dan di Simprug, Kebayoran Baru. Rumah itu kemudian disita oleh Bank Duta Ekonomi karena ia terlilit banyak utang. Rumahnya yang lain pun disegel. Selain aset tak bergerak, ia juga memiliki saham di Hotel Lamin Indah, Samarinda; Salon Niniek di Kebayoran baru; dan di PT Oryza Sativa. Berkat pelayanannya kepada para pejabat, Budiadji menjadi salah satu orang kuat di Kalimantan Timur.
Hasil penyelidikan ternyata ditemukan manipulasi berupa tanda tangan palsu pejabat bank atas sejumlah kertas dokumen. Akhirnya diketahui bahwa Budiadji melatih bawahannya yang bernama Purwadi selaku akuntan Dolog Kaltim dalam membuat tanda tangan palsu tersebut. Drs. Makka Malik, Kepala Sub Dolog Samarinda, adalah staf Budiadji yang mula-mula berkeras enggan mengaku bersalah. Selain Makka Malik, Kepala Sub Dolog Tarakan, Tjik Nang, juga kena garuk.
Kasus korupsi ini membuat karier Budiadji hancur. Ia diseret ke Pengadilan Negeri Balikpapan karena dinilai merugikan negara sekitar Rp 7,6 milyar, angka yang fantastis di era 1970-an.
Ternyata praktek-praktek korupsi itu turun dari generasi ke generasi di negeri ini, termasuk gaya hidup yang hedonisme. Mereka sudah lupa ajaran suci agama, budaya nasional yang luhur dan hidup diatas penderitaan rakyat yang kena PHK, kena banjir dan sebagainya sambil tertawa,
Editor : Pahlevi