Optika.id - Apa yang sebenarnya terjadi dengan alam semesta virtual 'Metaverse'?
Jika anda menanyakan apa yang dimaksud dengan Alam Semesta Virtual 'Metaverse', maka anda perlu untuk membuka tulisan sebelumnya di https://wp.optika.id/2021/11/25/8791/
Baca juga: Salah Hapus Pesan Whatsapp? Tidak Perlu Khawatir, Sekarang Ada Fitur “Accidental Delete”
Jean Baudrillard (1929-2007), seorang sosiolog politik Prancis memunculkan terminology Simulacra yaitu sebuah keadaan yang menggambarkan realitas semu. Jean Baudrilllard dalam bukunya Simulacra and Simulation (1981) membahas manusia modern ke depan akan hidup dalam dunia simulacra (simulasi dalam citra). Manusia saat itu hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi atau maya.
Perubahan nama Facebook menjadi Meta merupakan penekanan kuat Facebook terhadap metaverse yang dianggap sebagai masa depan internet. Meta bukanlah satu-satunya perusahaan teknologi yang memiliki gagasan tentang bagaimana metaverse diusahakan untuk terimplementasikan. Muncul banyak kekhawatiran tentang dunia baru terkait raksasa media sosial ini. Jika kita bicara Facebook tentu kita akan mulai terbayang kekhawatiran tentang banyaknya akses ke data pribadi yang akan berbahaya jika terjadi kebocoran informasi yang salah secara online. Mark Zuckerberg sangat ambisius dengan visinya terhadap metaverse ini. Proyek tersebut setidaknya telah menguras biaya yang sangat besar yaitu sebanyak US$ 10 miliar atau sekitar Rp 141,6 triliun. Sebuah biaya yang tentu tidak bisa dianggap sebagai kegiatan yang numpang lewat saja.
Perusahaan raksasa seperti Facebook dan Microsoft masuk ke dalam persiapan implementasi metaverse. Ini karena merasa ingin meneruskan kesuksesan perkembangan elektronika yang menjadikan televisi sebagai komunikasi satu arah. Dilanjutkan menjadi komunikasi dua arah dengan ditemukannya teknologi internet.
Selanjutnya dunia internet menjadi dinamika keseharian manusia. Dalam dunia internet perkembangannya dimulai dari web yang satu arah untuk sekedar informasi, menjadi web dua arah. Untuk mulai saling berinteraksi antara pemilik web dengan audiensnya, perkembangan berlanjut ke dunia game. Sebelumnya game hanya dilakukan setiap individu berinteraksi dengan komputernya masing-masing menjadi permainan game yang dilakukan bersama manusia lain di lokasi lain. Fase ini makin didorong ke depan, yaitu permainan game yang mulai akan teregulasi. Sebelumnya dunia game hanya sebagai dunia yang murni khayalan (setelah selesai main game semua kembali ke keadaan dunia nyata).
Saat ini regulasi sudah disertakan dalam permainan yang semacam game. Sekarang kehidupan nyata disatukan dengan dunia maya di metaverse.
Konsep ini memang masih di tahap awal pengembangan, tapi potensinya dinilai sangat-sangat besar. "Saya cukup yakin di titik ini bahwa metaverse akan menjadi ekonomi baru yang lebih besar dari ekonomi kita saat ini, kata Jensen Hang, CEO perusahaan pembuat chip grafis NVIDIA, yang juga merupakan salah satu perusahaan yang menanamkan investasinya di bidang metaverse.
Secara umum 'People Power' yang dimaksud dalam tulisan ini adalah komunitas yang bertumpu pada kekuatan masyarakat dunia dalam melawan kapitalisme global. Mereka berusaha melakukan perlawanan dalam bentuk protes. Yang dalam tulisan ini dikhususkan secara teknologi terhadap bentuk kezaliman dan kesewenangan perusahaan kapitalis penguasa data masyarakat dunia. Untuk kepentingan perusahaan mereka sendiri. 'People Power' adalah komunitas yang akan selalu menjadi kelompok yang melawan kapitalisasi globalis dunia.
Baca juga: Elon Musk Nilai Masa Depan Indonesia Cerah
Pada saat Microsoft mengeluarkan produk sistem operasi Microsoft windows, 'People Power menggeliat dan memunculkan sistem operasi Linux, kode sumbernya bisa dibaca dan dikembangkan oleh masyarakat. Meskipun ada perusahaan yang menggawangi pengembangan system operasi linux. Tetap saja kode sumbernya terbuka untuk masyarakat membaca dan mengembangkannya.
Untuk melawan kapitalisasi keuangan perbankan, komunitas 'People Power' mengkreasikan mata uang kripto atau cryptocurrency yaitu sebuah aset digital yang dipahami sebagai mata uang digital. Mata uang ini sangat berbeda dengan uang konvensional keseharian kita. Umumnya cryptocurrency digunakan untuk kebutuhan transaksi secara virtual melalui internet. Meskipun barang berjual beli dengan barang atau jasa fisik yang ada. Mata uang ini bersifat desentralisasi, yang berarti bahwa tidak ada satupun pihak yang menjadi perantara pada suatu transaksi. Jadi, pembayaran berlangsung secara peer to peer, yang berarti dilakukan antara pengirim dan penerima secara langsung. Serta, seluruh transaksi akan tercatat melalui sistem yang telah tersedia dengan keamanan yang sangat terjaga. Uang crypto menggunakan platform blockchain dalam melakukan transaksi. Ini adalah perlawanan 'People Power' terhadap kapitalisasi keuangan globalis. Data keuangan dan transaksi tidak ada satu negara atau organisasi keuangan manapun yang melegalkan mata uang dan transaksinya, legalitas berada di tangan masyarakat pemakai cypto tersebut.
Selanjutnya 'People Power' mengkreasikan non-fungible token atau NFT yang merupakan jenis aset digital. NFT sudah ada sejak 2014, NFT adalah sebuah aset digital yang mewakili objek pada dunia nyata. Seperti karya seni berupa lukisan, seni musik, item dalam game hingga video pendek. Aset tersebut bisa diperjual belikan secara online dengan cryptocurrency atau mata uang kripto. Pada umumnya saat aset itu diperjual belikan dapat dikodekan menggunakan software yang serupa dengan aset cryptocurrency. Dalam NFT masing-masing asset digital memiliki tanda tangan digital yang tidak memungkinkan untuk ditukar atau setara satu sama lain (karenanya, tidak dapat dipertukarkan). Pada dasarnya, NFT menciptakan kelangkaan digital, kata Arry Yu, ketua Dewan Asosiasi Industri Teknologi Washington Cascadia Blockchain dan direktur pelaksana Yellow Umbrella Ventures. NFT dapat dikatakan juga sebagai saudara cryptocurrency, yang disimpan di blockchain. Artinya data di tangan masyarakat di tangan 'People Power', bukan di tangan kapitalis.
Metaverse memanfaatkan uang crypto dalam transaksi dunia mayanya sebagai regulasinya serta menggunakan NFT untuk sertifikasi pembelian aset dalam dunia meta tersebut. Hal ini seakan menampar 'People Power' yang konsep dasarnya adalah melawan kapitalis dengan membuat konsep blockchain sehingga data dipegang masyarakat. Tidak ada satupun kekuatan perusahaan atau pemerintahan yang bisa mengendalikan. Seperti menutup aset seseorang. Metaverse memanfaatkan cryptocurrency dan NFC dalam dunia metaversanya dengan melakukan tracking semua data dinamika manusia (avatar) yang sedang bertransaksi di dunia meta tersebut. Hal ini sangat melawan sifat alamiah people power yang inginya provasi manusia dunia dihargai dan tidak ada monopoli oleh kapitalis atau institusi apapun kepada masyarakat dunia.
Akankah ada perlawanan sengit 'People Power' terhadap etaverse ?
Baca juga: META Bakal PHK Banyak Karyawan Pekan Ini
Oleh: Dr. Ir. Soegianto Soelistiono, M.Sc (dosen Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga)
Editor: Amrizal
Editor : Pahlevi