Kebijakan Plin-Plan Ekspor Minyak Goreng, Rocky Gerung: Presiden Hanya Ingin Pamer Kuasa

author Seno

- Pewarta

Jumat, 29 Apr 2022 00:36 WIB

Kebijakan Plin-Plan Ekspor Minyak Goreng, Rocky Gerung: Presiden Hanya Ingin Pamer Kuasa

i

Rocky Gerung: Narasi PDIP Menolak Terkait Isu Jokowi 3 Periode Sebagai Upaya Saling Gertak!

Optika.id - Pemerintah kembali mengubah kebijakannya terkait larangan ekspor minyak goreng dan turunannya dengan tujuan untuk menstabilkan harga di dalam negeri dan memenuhi domestic market obligation (DMO). Kebijakan yang plin-plan ini disorot oleh pengamat politik Rocky Gerung.

Awalnya, Presiden Joko Widodo mengatakan, Pemerintah memutuskan melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng.

Baca Juga: Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk

Kemudian, kebijakan itu dikoreksi oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.

Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa, pemerintah hanya melarang ekspor Refined, Bleached, Deodorized Palm Olein (RBD Palm Olein).

Kebijakan itu kembali diralat oleh Airlangga Hartarto, pada Rabu (27/4/2022) malam. Dia menyampaikan, larangan ekspor minyak goreng berlaku untuk semua produk termasuk Crude Palm Oil (CPO).

"Keputusan kemarin (yang disampaikan Airlangga) menunjukkan presiden sekadar ingin pamer kuasa, bukan memamerkan jalan keluar, tapi pamer kuasa," kata Rocky Gerung seperti dikutip Optika.id dari channel YouTube-nya, Rocky Gerung Official, Kamis (28/4/2022).

Rocky pun menerangkan, presiden memamerkan kekuasaan yang agak palsu.

"Nah yang dia pamerkan kemarin adalah kekuasaan yang agak palsu karena hitung-hitungannya tidak masuk akal," tuturnya.

Menurutnya, jika pernyataan yang diberikan Jokowi merupakan ucapan politik yang dikemas untuk memperlihatkan nasionalisme orang nomor satu di Indonesia itu.

"Ya itu pernyataan politik seolah-olah nasionalisme yang mau diterangkan kalau Presiden mampu mengeluarkan instruksi untuk mengatur pasar, mendikte pasar," katanya.

Dinilai Rocky, usai keputusan yang diberikan Jokowi kemudian membangunkan reaksi pasar yang kemudian disorot internasional dan justru menyebabkan kerugian untuk Indonesia.

Nah pasarnya bereaksi, pasar itu yang dihitung oleh menteri-menteri teknis karena menteri teknis ini, bahkan dirjennya tahu apa akibatnya kalau dijalankan.

Rocky membandingkan keputusan yang diambil pada zaman Soeharto dan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dinilai jauh berbeda dengan saat ini.

"Zaman pak Harto diambil secara teknokratif, demikian juga zaman SBY ya enggak mungkin Presiden dipermalukan. Ini kan artinya pak Jokowi dipermalukan karena menterinya mbalelo, tidak mengikuti apa yang diucapkan pak Jokowi," jelasnya.

Menurutnya, kebijakan terbaru itu juga menunjukkan kegugupan presiden dan akan membuat masyarakat terus membicarakannya.

Rocky menambahkan, mungkin menurut masyarakat sipil, kebijakan presiden itu untuk sementara berhasil menekan oligarki, namun sebenarnya tidak demikian.

"Menekan oligarki, membebani produsen petani itu juga ngaco kan," katanya.

Menurut Rocky, presiden seolah-olah cerdas tetapi tidak cerdik karena dampak dari kebijakan tersebut akan panjang.

"Dampak terbesar dari kebijakan larangan ekspor telah menerpa para petani sawit yang notabene meminta presiden menjabat tiga periode. Petani yang justru meminta Presiden Jokowi tiga periode, tapi dicederai oleh Pak Jokowi," katanya.

Rocky mengatakan pendapatan petani menjadi drop karena kebijakan. Selain itu, presiden lebih memilih memenangkan opini publik kota.

"Dan dia (presiden) memilih untuk menyogok masyarakat sipil kota atau konsumen kelas menengah," ujarnya.

Tak hanya itu, ia juga menuturkan, terdapat rekonsolidasi kekuasaan di balik ekonomi politik CPO.

"Saya melihat di belakang ekonomi politik CPO ini ada upaya untuk rekonsolidasi kekuasaan, dan presiden pasti menginginkan itu," katanya.

Menurut Rocky, presiden mengetahui potensi untuk maju tiga periode dihalangi oleh PDIP. Lebih lanjut, dia menuturkan, Jokowi mengganggap PDIP bukan lagi partai yang mengasuh atau melindunginya sehingga dia membutuhkan partai lain.

Selain itu, kata Rocky, Presiden Jokowi juga menjadi bahan ejekan karena posisinya di hadapan dunia internasional.

Hal tersebut terkait dibatalkannya perintah Jokowi mengenai pelarangan crude palm oil (CPO) yang digantikan dengan RBD Palm Olein.

Baca Juga: Dosa-dosa Jokowi

Akibat keputusan yang berbeda tersebut, Jokowi dianggap blunder lagi karena sebelumnya pernah mengambil keputusan yang serupa mengenai larangan ekspor batu bara tetapi hanya bertahan selama 11 hari.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selain itu, keputusan Jokowi juga disorot oleh dunia internasional dengan beberapa negara terdampak atas kebijakan tersebut.

"Jelas Presiden itu tidak punya kapasitas untuk mengatakan pada dunia internasional bahwa beliau adalah pengambil keputusan, ya jadinya Presiden diolok-olok saja," katanya.

Ejekan tersebut disebutkan Rocky Gerung dengan tidak diikutinya perintah Jokowi selaku pemimpin negara oleh para anak buahnya.

"Presiden bilang sesuatu yang seharusnya diikuti oleh para menteri, tetapi menterinya justru mengikuti kepentingan bisnis internasional. Nah kacaunya Presiden Jokwi juga enggak mengerti bahwa tidak mungkin suatu mekanisme internasional itu diintervensi secara sepihak melalui perintah Presiden," ujar Rocky.

Dinilai Rocky Gerung, keputusan Jokowi tak ayal menimbulkan kegemparan bahkan bisa membuat Indonesia masuk ke peradilan perdagangan internasional.

"Indonesia bisa masuk minimal ke peradilan WTO (World Trade Organization). Jadi hal-hal seperti ini yang menunjukkan bahwa orkestrasi itu tidak dipimpin oleh seorang konduktor, bahwa Presiden Jokowi bukan lagi konduktor," tukasnya. Imbas dari kebijakan Jokowi tersebut, Rocky menyebut Jokowi blunder lagi.

Sejumlah pengamat dan ekonom menilai jika keputusan tersebut tidak akan bisa dilakukan karena pasar tidak bisa diatur oleh perintah Presiden.

"Karena pak Jokowi sebagai Presiden bereaksi terlalu cepat dan pasti tidak ada konsultasi dengan pejabat-pejabat teknis. Nah itu justru dimanfaatkan oleh para menteri dan dirjen untuk mengevaluasi pak Jokowi. Berarti pak Jokowi dari awal tidak tahu dong apa sebetulnya inti dari CPO ini dan itu terus menerus dipantau juga oleh investor asing bahwa bisnis Indonesia itu enggak jelas. Segala pernyataan yang diberikan Presiden eksekusinya akhirnya berbeda dan publik tahu bahwa ini bakal blunder lagi," jelasnya.

Soroti Pertemuan Luhut dan Elon Musk

Selain itu, Rocky juga menyoroti pertemuan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dengan pendiri Tesla, Elon Musk.

Diketahui, Luhut Binsar Pandjaitan bersama rombongan dari Indonesia bertandang langsung ke Amerika Serikat (AS) untuk bertemu Elon Musk di Giga Factory Tesla di Austin, Texas.

Di hadapan Elon Musk, Luhut Binsar Pandjaitan menyampikan potensi bahan baku baterai kendaraan listrik yang saat ini tengah dikembangkan pemerintah Indonesia.

Baca Juga: Kunjungi Jatim, Jokowi Resmikan Flyover Djuanda dan RS Kemenkes Surabaya

Namun selepas pertemuan itu, akun Twitter klub pemilik Tesla Silicon Valley @teslaownersSV menulis cuitan yang menyebut Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Perdana Menteri Indonesia.

Mendengar hal itu, Rocky Gerung justru merasa tidak terkejut. Dia menilai, Luhut Binsar Pandjaitan memang cocok disebut sebagai Perdana Menteri.

Publik menyimpulkan begitu (Luhut Binsar Pandjaitan jadi perdana Menteri), bahkan Elon Musk menganggap yang datang ini Perdana Menteri, katanya.

Rocky beranggapan posisi Presiden Jokowi seolah menjadi Direktur Jendera dari Luhut.

"Lalu Pak Jokowi? Mungkin dianggap sebagai dirjennya Pak Luhut, sambungnya.

Dia melihatnya mirip seperti sistem parlementer, kepala pemerintahan berada di tangan Perdana Menteri. Sementara Presiden hanya menjadi simbol negara dan seremonial.

(Presiden) simbol bahwa ada kepala negara, tapi kepala pemerintahan (Perdana Menteri) yang in charge tuh, dan memang faktanya Pak Luhut yang in charge sebagai Kepala Pemerintahan kan, tandasnya.

Rocky membeberkan fasilitas institusi yang kini ditangani Luhut.

Fasilitas institusi yang dia pegang kan berapa, 12 atau 20, eh 10. Dan bisa jadi aja hari ini bertambah menjadi 12 karena bisa jadi Menkonya digabung jadi Pak Luhut," pungkasnya.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU