[caption id="attachment_9445" align="alignnone" width="150"] Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA[/caption]
Kerusakan lingkungan fisik, perang dan perebutan sumber-sumberdaya alam, kemiskinan dan kesenjangan sosial yang persisten, serta deformasi kehidupan bersama di keseluruhan planet ini adalah rangkaian bukti bukan sekedar _failed states_ tapi juga _failed global system_. Kita tidak hanya menghadapi ancaman keruntuhan ekosistem akibat _global warming_, kita kini juga menghadapi ancaman perang nuklir yang dipicu sebagian oleh intervensi militer Russia ke Ukraina.
Baca Juga: Asal Usul Membeli Baju Baru Jelang Lebaran, Begini Sejarahnya
Dalam skala nasional kita sedang menghadapi *krisis konstitusi*, setelah terjadi *kudeta konstitusi* melalui serangkaian amandemen atas UUD45, dan *maladministrasi publik* melalui pembuatan undang-undang dan interpretasinya untuk kepentingan elite penguasa, bukan untuk kepentingan publik.
Hampir seratus tahun kita mengadopsi sebuah *sistem global sekuler* setelah keruntuhan Khilafah Turki Usmani pada 1924. Segera kekhilafahan Islam itu digeser oleh Pax Britanica, lalu ke Pax Americana. Pada saat hegemoni AS berangsur surut oleh kebangkitan China, dunia tidak menjadi lebih baik dan damai, tapi peperangan justru makin menjadi dengan persenjataan yang makin mampu membunuh secara massal hingga dua dekade Abad 21 ini. Kemerdekaan abadi dan keadilan sosial yang dijanjikan oleh PBB dan semua perangkatnya itu gagal diwujudkan, bahkan disertai dengan kerusakan lingkungan yang makin parah.
Yang terakhir adalah pukulan pandemi covid-19 yang telah mengubah trajektori sejarah peradaban itu serta membuka peluang _resetting of the world order_. Dari perspektif Indonesia, berbeda dengan harapan awal operator perang biologis ini, pandemi ini perlu dilihat sebagai peristiwa yang telah membuka peluang baru bagi kebangkitan dari keterpurukan multi-dimensi ini. *
*Nekolimisasi* atas negeri ini sejak Proklamasi harus segera diakhiri*. Melalui momentum Iedul Fithri ini kita dengan berbekal taqwa kita mulai melakukan *reproklamasi kemerdekaan* kita. Indonesia Islam berpeluang besar untuk mengkonsolidasikan ASEAN sebagai kekuatan baru mengantisipasi prospek kebangkitan Pax Sinica.
Dalam rangka memitigasikan _learning loss_ yang berpotensi *mengubah bonus demografi menjadi bom demografi*, maka dari perspektif Shaum Ramadhan sebagai _syahru madrasah_ dalam rangka mendidik bangsa berkarakter Al Qur'an, maka reproklamasi itu harus dimulai dengan *rekonstruksi sistem pendidikan nasional* yang selama 70 tahun dirancang sebagai instrumen teknokratik untuk menyiapkan bangsa jongos untuk mengeksploitasi alam semesta ini.
Baca Juga: Mengenal Kue Lidah Kucing, Primadona Lebaran Warisan Kolonial
Tidak sekedar dengan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka, tapi Sisdiknas perlu dirancangulang sebagai *platform Belajar Merdeka* untuk menyediakan *prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka*.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Agar lebih _robust_ menghadapi berbagai _external shocks_, kita perlu bebaskan Sisdiknas dari dominasi persekolahan yang formalistik _supply-driven, outside-in_, menjadi sebuah _learning cybernetics_ yang informal, lentur, _demand-driven_, dan _inside-out_. Sistem Belajar Merdeka ini akan bertumpu pada keluarga, dan masyarakat, sementara persekolahan hanya bersifat melengkapi dan menambahi saja.
Sistem pendidikan nasional dirumuskan kembali sebagai sebuah strategi budaya untuk membangun bangsa berjiwa merdeka, bukan sekedar instrumen teknokratik untuk menyediakan buruh yang cukup trampil menjalankan pabrik2, sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi majikan asing. *Membangun* *adalah memperluas kemerdekaan**, bukan sekedar mengadakan sarana dan prasarana fisik melulu.
Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang, pertama, jujur, amanah, cerdas dan peduli sebagai jati diri atau fitrah bangsanya yang, kedua, kompeten mentransformasikan negeri yang dirahmati dan diberkati Allah swt melalui sikap _taqwa, syukr, rusyd_ (Al Baqarah 183-187) dan _shabr_ dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga, berbangsa dan bernegara serta dalam pergaulan global.
Baca Juga: Epidemiolog Ingatkan Masyarakat Tetap Waspada Covid-19 Saat Mudik Lebaran
Melalui kemampuan pengendalian syahwat perut dan kelamin dalam diklat Ramadhan sebagai *platform mlungsungi* itu, kita tinggalkan kerak2 dusta, khianat, kejahilan dan ketidakpedulian itu menjadi manusia2 fithry yang jujur, amanah, cerdas dan peduli untuk lahir kembali sebagai bangsa yang merdeka yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Pada saat kudeta konstitusi telah mengarah pada krisis konstitusi, bagi ummat Islam, Iedul Fithri dengan demikian bisa dimaknai sebagai sebuah *resolusi dan reproklamasi sebagai bangsa yang merdeka*.
Gunung Anyar, 2 Mei 2022
Editor : Pahlevi