[caption id="attachment_36950" align="alignnone" width="223"] Oleh: Sri Sugeng Pujiatmiko (Mantan Komisioner Bawaslu Jatim)[/caption]
Optika.id - Ketentuan Pasal 174 ayat (3) UU 7/2017 mengamanatkan KPU untuk mengatur terkait dengan metode verifikasi, maka KPU melalui PKPU 4 Tahun 2022 telah memberlakukan metode Krejcie dan Morgan dalam melakukan verifikasi faktual (verfak) keanggotaan parpol. Penggunaan metode ini, tidak sama dengan metode verifikasi pada penyelenggaraan pemilu tahun 2019, padahal undang-undangnya sama, yaitu UU 7/2017. Metode yang digunakan dalam penyelenggaraan pemilu tahun 2019 menggunakan metode sampel acak sederhana dengan mengambil 10ri jumlah anggota yang diserahkan parpol di SIPOL.
Baca Juga: Potensi Sengketa Proses Pasca Verfak Keanggotaan Parpol Pemilu 2024
Metode krejcie dan morgan pada prinsipnya digunakan untuk menentukan berapa besar ukuran sampel yang sebaiknya harus diambil, agar sampel tersebut dapat mempresentasikan populasinya.
Pemberlakuan metode sampel acak sederhana pengambilan jumlah sampelnya akan sama, baik yang syarat minimal 1.000 anggota dengan syarat minimal 1/1.000 dari jumlah penduduk, yaitu 10ri jumlah keanggotaan yang diserahkan parpol melalui SIPOL KPU.
Sedangkan penggunaan metode krejcie dan morgan ini akan berdampak pada parpol baru dan parpol peserta pemilu tahun 2019 yang tidak memenuhi parliamentary threshold, karena pengambilan jumlah sampel yang akan dilakukan verfak memiliki jumlah sample yang berbeda antara syarat minimal 1/1.000 dari jumlah penduduk dengan syarat minimal 1.000 anggota.
Misalnya, jika menggunakan syarat minimal 1/1.000 dengan jumlah penduduknya 92.125 jiwa (misalnya), maka parpol menyerahkan data anggota minimal 92 anggota, dan jika parpol menyerahkan keanggotaan sebanyak 100 anggota, maka yang diambil sampelnya sejumlah 80 anggota (dengan menggunakan rumus metode krejcie dan morgan).
Sedangkan untuk syarat minimal 1000 anggota dengan jumlah penduduknya sebanyak 2.478.145 jiwa (misalnya), maka parpol menyerahkan syarat minimal keanggotaannya sebanyak 1.000 anggota, dan jika parpol menyerahkan anggota sebanyak 1.352 anggota (misalnya), maka yang diambil sampelnya sejumlah 299 anggota (dengan menggunakan rumus krejcie dan morgan).
Pengambilan sampel dengan syarat minimal 1/1000 dari jumlah penduduk dengan syarat minimal 1000 anggota menunjukan ketidakadilan, karena jumlah anggota parpol yang diserahkan 100 anggota (misalnya), maka yang diambil samplenya sebanyak 80 anggota, sedangkan anggota parpol diserahkan sebanyak 1.325 anggota (misalnya), maka yang diambil sampelnya hanya 299 anggota parpol.
Hal itu akan berbeda jika menggunakan sampel acak sederhana dengan pengambilan sampel 10ri jumlah anggota parpol yang diserahkan di SIPOL sebagaimana pemilu tahun 2019. Misalnya, parpol menyerahkan anggota parpol sebanyak 100 anggota, maka yang diambil sampelnya hanya 10 anggota, dan jika anggota parpol yang diserahkan sebanyak 1.325 anggota, maka yang diambil sampelnya sebanyak 132 anggota. Jadi, dengan menggunakan sampel acak sederhana, maka anggota parpol yang akan diambil sampelnya jumlahnya akan sama, yaitu 10ri jumlah anggota yang diserahkan parpol, baik terhadap syarat minimal 1000 anggota atau 1/1000 dari jumlah penduduk.
Pengambilan jumlah sampel anggota parpol akan menentukan dan mempengaruhi status parpol, apakah memenuhi syarat minimal keanggotaan atau tidak setelah dilakukan verifikasi faktual. Maka menurut hemat saya, penggunaan metode krejcie dan morgan ini memperlihatkan ketidakadilan KPU dalam melakukan verfikasi, dan sangat memberatkan bagi parpol yang verifikasinya di wilayah kab/kota yang memiliki penduduk kurang dari 1.000.000 jiwa dibanding wilayah yang jumlah penduduknya di atas 1.000.000 jiwa.
Berpijak pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang memberikan perlakuan istimewa bagi parpol yang telah memenuhi parliamentary thershold hasil pemilu tahun 2019, dengan hanya dilakukan verifikasi administrasi keanggotaan tanpa verifikasi faktual, maka semestinya KPU berpijak pada putusan Mahkamah Konstitusi itu sebagai acuan dalam menentukan dan penggunaan metode verifikasi.
Parpol hasil pemilu tahun 2019, baik yang memenuhi parliamentary threshold maupun yang tidak dalam pemilu tahun 2024 sama-sama mendaftar sebagai calon peserta pemilu, tetapi yang membedakan adalah jika parpol yang memenuhi parliamentary threshold tidak dilakukan verfak, tetapi hanya vermin saja.
Baca Juga: Menakar Pelaksanaan Verifikasi Faktual Keanggotaan Parpol Pemilu 2024
Tentu bagi parpol peserta pemilu tahun 2019 yang tidak memenuhi parliamentary threshold (non parlemen) akan semakin berat untuk mengikuti verfak dengan menggunakan metode krejcie dan morgan, sehingga menjadi tidak fair, karena jumlah sampel yang diambil akan semakin banyak dibanding dengan metode sampel acak sederhana diambil jumlah sample 10ri jumlah anggota parpol yang diserahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yang terkena dampak pelaksanaan verfifikasi metode krejcie dan morgan adalah bagi wilayah kab/kota di luar jawa atau di wilayah jawa yang penduduknya kurang dari 1.000.000 jiwa, karena akan memberatkan bagi parpol baru dan parpol peserta pemilu tahun 2019 tidak memenuhi parliamentary threshold yang akan dilakukan verifikasi faktual dengan menggunakan metode krejcie dan morgan.
Maka penggunaan metode krejcie dan morgan ini menjadi kajian kita bersama untuk memberikan perlakuan yang sama dan sejajar terhadap pelaksanaan verifikasi keanggotaan parpol pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, sehingga tidak terkesan KPU memberlakukan diskrimanatif terhadap parpol peserta pemilu 2019 yang tidak memenuhi parliamentary threshold.
Penerapan metode krejcie dan morgan ini, tentu tidak mudah bagi parpol baru maupun parpol yang tidak memenuhi parliamentary threshold (non parlemen) dalam pelaksanaan verifikasi faktual pemilu 2024.
Hak hukum bagi parpol dalam pelaksanaan verifikasi ini, dapat melakukan upaya hukum pengujian di Mahkamah Agung terkait dengan penggunaan metode krejcie dan morgan ini, karena penggunaan metode krejcie dan morgan tidak sejalan dengan asas-asas penyelenggaraan pemilu, dan UU 7/2017 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, sebab parpol hasil pemilu 2019, baik yang memenuhi parliamentary threshold maupun yang tidak, KPU tidak memberlakukan secara adil dan setara.
Ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU 7/2017 telah memberikan hak hukum bagi parpol untuk menguji Peraturan KPU diduga bertentangan dengan Undang-Undang ini (UU 7/2017), yang pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung, maka bisa saja Peraturan KPU 4/2022 dilakukan pengujian ke Mahkamah Agung, khususnya terkait dengan penggunaan metode krejcie dan morgan, dengan dalih bertentangan dengan asas adil dan proporsional.
Baca Juga: Pembatasan Usia Petugas Ad Hoc Untuk Mengurangi Resiko Meninggal Dunia
KPU dalam menyelenggarakan tahapan pemilu harus berpedoman pada ketentuan Pasal 3 huruf c dan huruf g UU 7/2017, yaitu asas penyelenggaraan pemilu yang adil dan proporsional, artinya KPU dalam mengambil kebijakan khususnya terkait dengan pilihan menggunakan metode krejcie dan morgan harus memberlakukan secara adil dan seimbang kepada parpol peserta pemilu tahun 2019 yang tidak memenuhi parliamentary threshold, mengingat parpol peserta pemilu tahun 2019 yang telah memenuhi parliamentary threshold tidak dilakukan verfak keanggotaan parpol sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020.
Sedangkan parpol peserta pemilu tahun 2019 non parlemen (tidak memenuhi parliamentary threshold) yang saat ini menjadi calon peserta pemilu tahun 2014 dilakukan verfikasi faktual keanggotaan parpol dengan menggunakan metode krejcie dan morgan.
Memang penggunaan verifikasi metode krejcie dan morgan ini lebih presisi dalam perspektif statistik, yang dalam satu sisi akan memperbaiki validitas keanggotaan parpol dalam rangka mempresentasikan atau menggambarkan populasi. Namun, semestinya KPU pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, tidak harus menggunakan metode krejcie dan morgan dalam pemilu tahun 2024.
Karena parpol hasil pemilu tahun 2019 yang tidak memenuhi parliementary threshold (non parlemen) telah dilakukan verifikasi dengan didasarkan pada UU 7/2017, sehingga menurut hemat saya pemberlakuan verifikasi metode krejcie dan morgan tidak harus dilakukan pada pemilu tahun 2024 agar dalam pelaksanaan verifikasi memiliki derajat keadilan dan keseimbangan yang sama bagi parpol peserta pemilu tahun 2019 yang tidak memenuhi parliamentary threshold (non parlemen).
Meskipun amanat UU 7/2017 pelaksanaan verifikasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan KPU, namun semestinya KPU dalam menentukan pilihan penggunaan metode verifikasi melihat secara komprehensif pengakuan hak-hak parpol peserta pemilu tahun 2019 non parlemen (tidak memenuhi parliamentary threshold) yang telah dilakukan verifikasi oleh KPU secara adil dan seimbang. Wassalam.
Editor : Pahlevi