Optika.id - Memiliki anak dan menjadi seorang ibu adalah dambaan bagi sebagian perempuan. Tak jarang, momen kehamilan, kelahiran, dan mengasuh anak menjadi momen yang tak terlupakan bagi mereka. Perhatian pada buah hati tiap ibu tentu saja berbeda-beda. Ada yang mengasuh anaknya dengan cara A, sementara ibu lain mengasuh dengan cara B, dan seterusnya. Pun, perkembangan tiap anak juga berbeda-beda sesuai dengan usia anak tersebut.
Baca Juga: Konsumsi Asam Folat Secara Berlebihan Ternyata Tidak Baik Untuk Ibu Hamil!
Dalam mengasuh anak, tak jarang ibu yang satu membandingkan pola pengasuhan ibu yang lain. Atau saling membandingkan perkembangan anak dengan anak yang lain. Tahukah kalian tindakan tersebut tergolong Mommy Shaming?
Mommy shaming mengacu pada praktik mengkritik, menghakimi, atau membandingkan cara seorang ibu dalam merawat, mengasuh, dan mendidik anaknya. Biasanya mommy shaming terjadi di media sosial, kelompok diskusi atau dalam interaksi sehari-hari antara ibu-ibu.
Contoh dari tindakan mommy shaming ini adalah tentang pola pengasuhan sang ibu, cara menyusui, penggunaan botol susu, memilih untuk menggunakan sufor (susu fomula) daripada ASI, metode tidur bayi, keputusan pekerjaan ibu, penggunaan popok, pilihan pendidikan anak, tahap perkembangan anak, dan masih banyak lagi. Mommy shaming pun tergolong jenis tekanan sosial yang bisa menyebabkan stress hingga perasaan bersalah pada ibu yang menjadi sasaran mereka.
Hal ini terjadi pada Ike Sudarmi (24), ibu muda ini kerap menjadi korban mommy shaming dari tetangganya yang notabene seorang ibu juga.
Aku berulang kali disindir oleh tetangga, yang merupakan ibu-ibu juga. Kan anakku mengalami speech delay, dan dia juga takut sama orang asing. Itu udah disindir katanya aku ini ibu yang enggak becus untuk mengurus anakku, kok bisa anakku belum bisa ngomong padahal usianya sudah mau 2 tahun. Padahal aku juga pusing ngurus anak dan juga sedih karena anakku dikata-katain enggak bisa ngomong dan bodoh, ungkap Ike kepada Optika.id, Rabu (5/7/2023).
Ike mengaku jika saat ini dirinya tidak ambil pusing dengan cibiran ibu-ibu tetangganya. Dia fokus dalam mengurus anaknya dan pergi ke terapis agar speech delay yang dialami oleh anaknya bisa ditangani oleh tenaga ahli.
Kebiasaan mengkritik ibu ini tentunya bisa merugikan lantaran setiap orang tua memiliki cara idealnya sendiri yang berbeda dalam merawat anak-anaknya. Pun, setiap keluarga memiliki kondisi dan kebutuhannya masing-masing sehingga sulit untuk menentukan satu standar pasti yang benar.
Sejatinya, pengasuhan orang tua tentu sudah dipikirkan secara matang-matang dan baik untuk anaknya.
Baca Juga: Kenali Post Partum Blues, Depresi Pasca Melahirkan yang Bisa Menyerang Ibu
Terdapat dua kategori pelaku dalam kasus mommy shaming yang bisa dibedakan berdasarkan tujuan dan niat mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kategori pertama adalah individu yang dengan sengaja serta secara agresif melakukan mommy shaming dengan tujuan merendahkan, menghakimi, bahkan mengejek ibu yang menjadi sasaran mereka.
Motivasi mereka melakukan mommy shaming dalam kategori ini adalah keinginan untuk merasa lebih baik. mereka kerap memiliki pendapat yang sempit dalam merawat anak. Alhasil, mereka berupaya untuk memaksakan pandangan mereka kepada orang lain. Pelakumommy shamingyang sengaja ini menganggap diri mereka superior dalam peran orang tua.
Kemudian kategori yang kedua adalah mommy shaming dengan niat baik namun tanpa disadari bisa melukai perasaan ibu lainnya. Individu tersebut kemungkinan bermaksud memberikan masukan kepada ibu lainnya, namun akhirnya justru melukai perasaan ibu tersebut.
Bagi mommy shaming pada kategori ini, si pelaku tidak menyadari perbuatannya dan berpikir bahwa bisa membantu dengan memberikan saran, dan sejenisnya namun tidak menyadari bahwa kata-kata mereka bisa mengejek hingga merendahkan. Apalagi, pada ibu baru.
Baca Juga: Kemenkes Jelaskan Pentingnya KB Pasca Persalinan
Menjadi Ibu Bijak Agar Tidak Melukai Perasaan Orang Lain
Dikutip dari laman Motherly, Rabu (5/7/2023), hindari mengkritik atau menghakimi cara mereka merawat anak ketika berinteraksi dengan orang tua lain. Lebih baik alihkan perhatian pada dukungan serta pilihlah kata-kata secara hati-hati agar tidak menyinggung dan pastikan bahwa komunikasi yang dilakukan sifatnya positif.
Sadari bahwa tiap keluarga memiliki pola pengasuhan dan pendekatan masing-masing dalam merawat anak. Maka dari itu, hindari membandingkan anak-anak, perkembangannya, pola asuhnya, atau situasi keluarga karena tiap tumbuh kembang anak berbeda-beda serta tiap keluarga mempunyai tantangan tersendiri dalam mengasuh anak.
Terakhir, yang paling penting adalah segera sadar apabila tidak sengaja terjebak dalam mommy shaming. Apabila anda memiliki niat yang baik dalam memberikan saran, masukan, dan apapun itu, sampaikan dengan rasa empati yang tinggi, mengerti posisi sang ibu, serta menghormati keputusan orang tua sang anak itu sendiri.
Editor : Pahlevi