Pro Kontra Cari Rekam Jejak Pekerja di Media Sosial, Etis atau Tidak?

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Selasa, 21 Nov 2023 15:56 WIB

Pro Kontra Cari Rekam Jejak Pekerja di Media Sosial, Etis atau Tidak?

Optika.id - Beberapa waktu yang lalu, muncul perdebatan di media sosial X tentang perusahaan yang mencari rekam jejak masa lalu seseorang dari media sosial. Warganet terbagi menjadi dua kubu. Ada yang pro, dan ada yang kontra.

Menurut Wahyu (24), salah satu fresh graduate sekaligus pencari kerja ini menganggap bahwa hal tersebut tidak terlalu etis. Pasalnya, sosmed merupakan hal pribadi dan tidak bisa mencerminkan kepribadian dari orang tersebut.

Baca Juga: Bank BRI Membuka Lowongan Kerja, Ini Informasi Lengkap dan Proses Melamar

“Ya sosmed pribadi beda ya dengan sosmed khusus professional, khusus pencitraan. Seperti di LinkedIn. Itu kan udah cukup. Ngapain ke sosmed pribadi? Kan enggak terlalu penting, enggak terlalu etis. Apa pengaruh ke kinerja? Saya rasa sih enggak,” ucapnya kepada Optika.id, Senin (20/11/2023)

Lain halnya dengan Ayu (23) yang menganggap bahwa hal tersebut tidak terlalu masalah baginya. Pasalnya, itu berguna bagi perusahaan untuk menilai kandidatnya.

“Siapa tahu kan ada kandidat yang pernah menjadi pelaku kriminal atau pelecehan seksual. Itu berbahaya banget ya bagi tempat kerja baru dan teman-temannya nanti. orang juga bisa menilai dengan apa yang mereka tulis di sosial media, pemikirannya semua kan dari situ,” kata Ayu.

Menanggapi hal tersebut, Tadjuddin Nur Effendi selaku Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai wajar saja apabila perusahaan mencari rekam jejak masa lalu seseorang dari sosial medianya.

“Siapa tahu ada orang yang terlibat permasalahan, seperti mantan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) atau residivis. Saya pikir wajar-wajar saja, agar orang yang mereka terima itu benar-benar bersih dari permasalahan.” ujarnya saat dihubungi, Selasa (21/11/2023).

Melalui media sosial, sebutnya, perusahaan bisa mengetahui segala hal yang negatif. Sebagai contoh, apabila hal tersebut berkaitan dengan penyebaran atau pembuatan konten hoaks. Perusahaan juga bisa melihat berbagai komentar di unggahan orang lain dengan kata-kata yang tak baik.

“Itu harus di-screening. Mana mungkin sebuah perusahaan mau menerima orang yang menyebar ujaran kebencian,” tuturnya.

Dirinya pun tidak melihat adanya hal yang merugikan dari penyaringan calon karyawan di sosial media. Alasannya yakni para perekrut juga bakal berhati-hati untuk menerima orang yang akan bekerja di perusahaannya demi kepentingan perusahaan juga.

Baca Juga: LPPOM MUI Buka Lowongan Terbaru, Yuk cek Posisinya!

Lantaran media sosial bersifat terbuka dan siapapun berhak untuk melihat, maka dirinya pun tidak melihat adanya pelanggaran terkait hal tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Kalau Anda masih mau menggapai masa depan, jangan gunakan media sosial untuk hal-hal yang merugikan orang lain,” jelasnya

Lain halnya dengan Koordinator Divisi Advokasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), Bimo Ari Fundrika. Dirinya menegaskan bahwa proses perekrutan calon karyawan dari melihat media sosial kandidat sudah tidak relevan. Apalagi, digunakan untuk mengetahui identitas gender, keagamaan, atau kelompok tertentu sebagai bagian dari proses perekrutan. Hal ini termasuk ke dalam diskriminasi.

“Media sosial itu kan terkadang ranah privasi bagi seseorang. Maksudnya, banyak orang menggunakan media sosial yang tidak ada hubungannya dengan ranah pekerjaan,” kata Bimo, Selasa (21/11/2023).

Bimo menilai jika seseorang membuat sosial media dengan alasan yang beragam. Misalnya hanya untuk mengunggah hobi, sesuatu, atau sekadar iseng. Maka dari itu, ketika perusahaan melakukan penyaringan melalui sosial media, maka akan rentan dengan diskriminasi.

Baca Juga: Survei: 73 Persen Pekerja Alami Perlakuan Tak Menyenangkan dan Diskriminasi

“Apalagi kalau melakukan screening media sosial, tapi kita tidak meminta langsung (izin) kepada kandidatnya. Misal kita mencari sendiri dengan bermodalkan nama (kandidat). Itu kan belum tentu media sosial milik kandidat. Bisa saja ada orang lain yang memanfaatkan identitasnya.” ungkapnya.

Maka dari itu, ujar Bimo, dengan berbagai alasan tadi, maka proses penyaringan calon karyawan berdasarkan media sosialnya berpicu akan merugikan dan menjadi sebuah pelanggaran.

Maka dari itu, dia menyarankan agar perusahaan tidak melihat media sosial calon kandidat untuk disaring dalam merekrut calon karyawannya. Alih-alih demikian, lebih baik perusahaan melihat curriculum vitae (CV) dan portfolio sebagai latar belakang seseorang.

 “Karena memang tidak semua orang membuat media sosial untuk mencari kerja,” tutupnya.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU