Menelisik Partai Politik di Tiongkok dan Indonesia

Reporter : optikaid
Menelisik Partai Politik di Tiongkok dan Indonesia

[caption id="attachment_11956" align="alignnone" width="171"] Oleh Nuke Faridha Wardhani (Dosen Fisip Unair, alumnus Zhejiang University)[/caption]

Kehadiran partai politik di hampir seluruh negara menjadi sebuah kebutuhan maupun jawaban atas perjalanan panjang dalam berdirinya suatu negara, baik dalam sistem pemerintahan yang demokrasi maupun komunis, seperti Tiongkok sekalipun. Eksistensi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) tidak dapat dilepaskan dari peran besar The Communist Party of China (CPC) atau Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang berhasil membawa negara tirai bambu tersebut menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia, dan mampu menjaga stabilitas internal politiknya. Namun, apakah di Tiongkok hanya terdapat satu partai saja? Selain Tiongkok, menarik pula melihat sistem dan sejarah kepartaian di Indonesia yang hingga hari ini menerapkan sistem multipartai.

Baca juga: Peta Politik Kekuatan Partai Pemilu di Surabaya

Sistem Kepartaian di Tiongkok

Melihat sistem kepartaian di Tiongkok, dapat ditarik dari sejarah berdirinya RRT yang bermula pada 1949, dimana setelah berakhir perang saudara antara Partai Komunis Tiongkok dengan Partai Nasionalis Kuomintang yang pada akhirnya melarikan diri ke Taiwan. PKT kemudian mengambil alih kekuasaan. Perlu diketahui selain Partai Komunis Tiongkok (PKT), terdapat delapan partai kecil lainnya yang juga diakui secara resmi dan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Delapan partai yang relatif kecil tersebut kala itu menyatakan dukungan terhadap visi PKT untuk membangun Tiongkok yang baru melalui penyusunan dokumen mengenai prinsip-prinsip Republik Rakyat Tiongkok (RRT), seperti rencana Tiongkok yang akan menjadi negara sosialis, serta dibuktikan melalui dukungan terhadap perlawanan Jepang selama Perang Dunia II. Namun, dinamika antara PKT dengan delapan partai kecil tersebut sangat berbeda pada saat ini. Bermula pada Revolusi Kebudayaan pada tahun 1966 yang digaungkan oleh Mao Zedong yang saat itu menjabat sebagai ketua PKT, menyatakan RRT tidak membutuhkan transisi menuju demokrasi. Mao Zedong memang berupaya mempercepat tujuan sebagai negara komunis yang mengakibatkan partai-partai kecil tersebut kehilangan pengaruhnya (Baptista, 2021).

PKT berdiri sejak tahun 1921, merupakan salah satu partai politik terbesar di dunia dengan memiliki sekitar 92 juta anggota yang mengikuti prinsip Marxisme-Leninisme. Kekuasaan PKT meluas dengan organisasi partai tingkat lokal yang menyebar dari desa, sekolah, hingga perusahaan swasta (Cai and Chen, 2021), dimana lebih dari 70% anggotanya adalah laki-laki dan data menurut Council on Foreign Relations (2019), lebih dari 42% anggota baru adalah perempuan. Basis kekuatan PKT saat ini bervariasi. Apabila dulunya didominasi oleh para pekerja, petani, pejabat pemerintah, saat ini komposisi massa PKT bergeser pada para intelektual, kelompok swasta, maupun seniman. Menurut Saiful Hakam (2018), PKT memiliki kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dimana situasi ini mirip dengan era Orde Baru yang lebih didominasi oleh Partai Golkar.

Delapan partai kecil tersebut antara lain, China Democratic League, China National Democratic Construction Association, Jiusan Society, Revolutionary Committee of the Chinese Kuomintang, China Peasants and Workers Democratic Party, China Association for Promoting Democracy, China Zhi Gong Party, Taiwan Democratic Self-Government League. PKT dan delapan partai kecil tersebut membentuk sebuah organisasi bernama United Front Work Department (UFWD) atau Front Persatuan yang bertujuan untuk mengelola hubungan PKT dengan partai politik di dalam dan di luar Tiongkok. Menurut Deng (2021), pemilihan ketua partai hingga anggota komite pusat tidak dipilih oleh partai sendiri, melainkan dipilih langsung oleh PKT. Delapan partai ini memiliki wakil dalam National People Congress (NPC) atau di Indonesia dikenal dengan sebutan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Berdasarkan data dari South China Morning Post (2021), dari delapan partai tersebut, China Democratic League memiliki anggota terbanyak, yaitu sebesar 330.600 anggota pada 2020. Komposisi anggota partai ini terdiri dari kaum intelektual, kelas menengah, hingga penduduk usia tua yang berfokus pada bidang kebudayaan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Sedangkan partai dengan jumlah anggota paling sedikit adalah Taiwan Democratic Self-Government League, yakni sebesar 3000 anggota pada 2017. Partai ini memang menargetkan warga Taiwan yang pro terhadap komunis.

Delapan partai kecil ini juga memiliki tugas, seperti para pejabat di partai tersebut yang membantu menyusun kebijakan nasional atau rencana lima tahun, melalui penelitian, pembuatan proposal, dan memberikan saran, terutama terhadap praktik kebijakan di wilayah lokal, yang keputusan akhir akan diserahkan pada PKT (Baptista, 2021). Sehingga, hak mereka sangat terbatas, baik dalam level nasional maupun pada tingkat daerah. Hal ini memang dibenarkan dalam konstitusi Tiongkok, bahwa sistem kepartaian lebih diakui sebagai sistem kerja sama dan sistem konsultasi multipartai yang berada dalam kewenangan PKT (Hakam, 2018). Di satu sisi, tidak ada pertentangan secara terbuka dari delapan partai kecil tersebut terhadap dominasi PKT. Implikasinya, basis massa yang dihimpun dari delapan partai kecil tidak sepenuhnya dapat mewakili sebagai perwakilan rakyat Tiongkok.

Baca juga: Perolehan Sementara Partai Politik Terkuat di Jatim Versi Real Count Pemilu

Sistem Kepartaian di Indonesia

Indonesia yang menganut sistem demokrasi, mengalami pasang surut sistem pemerintahan sejak sebelum kemerdekaan yang berpengaruh pada tidak menentunya jumlah komposisi partai politik yang berpartisipasi dalam Pemilu. Mengamati sistem kepartaian di Indonesia, dapat dimulai dari zaman penjajahan Belanda hingga pasca reformasi. Menurut Reinhart (2021), ketika masa penjajahan Belnada, sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, muncul banyak pergerakan, baik dari golongan pemuda, terpelajar, hingga golongan tua sebagai jalan mencapai kemerdekaan, yang kemudian muncul salah satu partai poltik awal di Hindia-Belanda, yakni Indische Partij (Partai Hindia) pada tahun 1912, dengan jumlah anggota yang mencapai sekitar 7 ribu massa. Tidak hanya partai politik, pada kala itu muncul organisasi kebangsaan lainnya, baik yang berfokus pada aspek sosial, ekonomi, dan keagamaan. Sehingga partai politik di Indonesia saat itu berfungsi sebagai alat mobilisasi massa untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Pada masa pendudukan Jepang, kehidupan partai politik mengalami stagnasi atau disebutnya zaman kemunduran partai politik, namun masih memberikan ruang pada organisasi keagamaan, seperti berdirinya Masyumi pada 1943 oleh Jepang untuk mewadahi kelompok muslim. Setelah masa kemerdekaan, muncul Maklumat 3 November 1945 oleh Moh. Hatta, dengan tujuan untuk mendorong berdirinya kembali partai politik, seperti kehadiran Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia, Partai Nasionalis Indonesia PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Murba, Partai Sosialis Indonesia (PSI), PSII, begitupun Masyumi (Reinhart, 2021). Kemudian, pada Pemilu pertama yang diselenggarakan pada tahun 1955, sekitar 50 partai politik berpartisipasi sebagai peserta Pemilu, namun pada akhirnya, hanya NU, PNI, dan PKI yang memiliki peran sentral terutama pada masa Demokrasi Terpimpin

Hingga masa Orde Baru, sistem kepartaian dirampingkan dengan kehadiran hanya tiga partai politik, yakni Golkar, PDI, dan PPP melalui fusi partai politik pada tahun 1973 dan tiga partai politik ini yang hanya diperbolehkan mengikuti Pemilu hingga tahun 1997. Menurut data Badan Pusat Statistik (2021), pasca reformasi, terutama pada tahun 1999, partai politik peserta Pemilu sebanyak 48, pada Pemilu 2004 terdapat sebanyak 24 parpol, Pemilu 2009 sebanyak 38 partai politik nasional dan 6 parpol lokal Aceh, Pemilu 2014 sebanyak 12 partai politk nasional dan 3 partai politik lokal Aceh, dan pada tahun 2019 sebesar 16 peserta partai politik dan 4 partai politik lokal Aceh, dengan perolehan suara terbanyak pada PDIP, Gerindra, dan Golkar.

Kesimpulan

Indonesia dan Tiongkok lahir dari perjalanan sejarah yang berbeda, tentu hal ini berpengaruh pada kondisi sosial dan politiknya. Namun, kedua negara tersebut menganut sistem multipartai, dimana kehidupan politik pada level pemerintahan di Tiongkok terlihat relatif stabil, seperti yang dikatakan Tang (2017), Pemerintah Tiongkok percaya bahwa kestabilan politik adalah prekondisi yang penting dalam mendorong modernisasi pembangunan ekonomi dan sosial. Ini berbeda dengan di Indonesia, para peserta partai politik bersaing ketat dalam mencapai dan mempertahankan kekuasaan saat Pemilu yang dipilih langsung oleh rakyat. Begitu pun peserta Pemilu yang terpilih, ketika melaksanakan jalannya pemerintahan, rakyat memiliki hak untuk memengaruhi proses kebijakan umum dan partai politik yang bukan bagian dari koalisi, memiliki kontrol terhadap pemerintah yang berkuasa. Ini menandakan sistem politik dan kepartaian di Indonesia yang begitu dinamis.

Baca juga: Migrant Care Temukan Penggelembungan Suara 190 Persen di Dapil Jakarta II

Sedangkan di Tiongkok, peran PKT sebagai kekuatan politik dan badan pembuat kebijakan yang utama. PKT mendominasi seluruh aspek kehidupan dan memobilisasi seluruh rakyat untuk patuh terhadap keputusan partai demi mencapai tujuan besar partai. Contohnya, Presiden Xi Jinping yang telah menetapkan rencana jangka panjang dalam seluruh aspek kehidupan hingga 2050. PKT melalui institusi yang berwenang, tidak segan melakukan tindakan represif terhadap massa yang melawan pemerintah. Di satu sisi, kedudukan delapan partai yang dijelaskan sebelumnya, terkesan sebagai partai boneka. Hal ini disebabkan beberapa anggota dari delapan partai tersebut juga menjadi anggota PKT dan pemimpin partai-partai kecil tersebut menjadi loyalis tehadap PKT. Seperti yang disampaikan Baptista (2021), sebenarnya terdapat larangan dari beberapa anggota dari partai kecil tersebut kepada anggota lainnya untuk bergabung dengan partai yang berkuasa. Dalam aspek lainnya, struktur organisasi politik di Tiongkok dikenal lebih hirarkis mulai tingkat pusat hingga desa. Begitu pula pada seleksi anggota dan jenjang karir dalam partai politik yang ketat dan harus dimulai dari level desa. Berbeda dengan di Indonesia yang relatif mudah menjadi pengurus dan anggota partai politik, baik di tingkat daerah maupun pusat, dengan memenuhi persyaratan pada setiap partai politik.

Referensi

  1. Albert, Eleanor, Lindsay Maizland, and Beina Xu. The Chinese Communist Party. Council on Foreign Relations, 23 Juni 2021, https:https://www.cfr.org/backgrounder/chinese-communist-party (diaksees 29 Desember 2021).
  2. Badan Pusat Statistik Indonesia, Hasil Penghitungan Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu Legislatif Tahun 1955-2019, https:https://www.bps.go.id/statictable/2009/03/04/1573/hasil-penghitungan-suara-sah-partai-politik-peserta-pemilu-legislatif-tahun-1955-2019.html (diakses 31 Desember 2021).
  3. Baptista, Eduardo. Communist Party is not Chinas only political party there are eight others. South China Morning Post, 11 Juni 2021, https:https://www.scmp.com/news/china/politics/article/3136835/communist-party-not-chinas-only-political-party-there-are-eight (diakses 28 Desember 2021).
  4. Cai, Jane and Qin Chen. Joining Chinas Communist Party: how and why so many people do it, secret members and expulsion. South China Morning Post, 20 Mei 2021, https:https://www.scmp.com/news/china/politics/article/3134071/why-do-so-many-people-join-communist-party-china (diakses 29 Desember 2021).
  5. Hakam, Saiful. Riwayat Ringkas Delapan Partai di Tiongkok. IPSK LIPI, 5 Desember 2018, https://ipsk.lipi.go.id/index.php/kolom-peneliti/kolom-sumber-daya-regional/656-riwayat-ringkas-delapan-partai-di-tiongkok (diakses 28 Desember 2021).
  6. Reinhart, Christopher. Hidup Mati Partai Politik & Titik Balik Sejarah Demokrasi Indonesia. Tirto.id, 3 November 2021, https://tirto.id/hidup-mati-partai-politik-titik-balik-sejarah-demokrasi-indonesia-gkWg (diakses 30 desember 2021).
  7. Tang, Liang. 2017. Chinas Authoritarian Path to Development. New York: Routledge.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru