Optika.id - Harga minyak goreng terus mengalami kenaikan. Salah satu penyebabnya adalah harga komoditas yang juga naik di seluruh dunia. Menteri Perdagangan (Mendag) M Lutfi menyebutkan kenaikan harga mnyak goreng ini terjadi karena ulah Indonesia.
Dia menyebut, Indonesia sebagai produsen kelapa sawit besar meluncurkan B30 alias biodiesel yang merupakan salah satu jenis bahan bakar nabati untuk kendaraan. Lufti menyebut hal ini membuat harga kelapa sawit untuk bahan baku minyak goreng melompat liar di dunia.
Baca juga: 'Minyak Makan Merah' Bakal Diproduksi Januari 2023, Katanya Bakal Lebih Murah
Lufti menyebut harga minyak goreng sejak 2017 - 2020 itu flat cenderung tak ada pergerakan.
"Yang buat tinggi siapa? Yang membuat tinggi itu adalah Republik Indonesia dengan cara sebagai penghasil kelapa sawit terbesar dunia kita bikin namanya B30, harganya loncat," kata dia, pada raker dengan Komisi VI DPR, beberapa waktu yang lalu.
Namun begitu, kenaikan harga sawit ini menurutnya tetap menguntungkan Indonesia. Pasalnya produk kelapa sawit menjadi ekspor terbesar kedua bagi Indonesia setelah batu bara, karena harga naik maka petani sawit ikut mendapatkan keuntungan. Di sisi lain, dengan B30 Indonesia punya alternatif energi.
"Tapi ini tetap adalah policy yang untungkan orang Indonesia. Ekspor CPO kita 2021 itu US$ 32,83 miliar, secara agregat ekonomi bagus sekali," ungkap Lutfi.
Nah maka dari itu, menurut Lutfi intervensi pemerintah dalam rangka stabilisasi minyak goreng dilakukan secara perlahan-lahan. Tidak buru-buru. Hal itu dilakukan untuk menjaga harga pasar tidak rusak.
"Maka kalau mau tindakan kita itu pelan-pelan. Kami coba intervensi pasar sedemikian rupa supaya nggak kacaukan harga," ungkap Lutfi.
Pemerintah kemudian mencoba beberapa kebijakan untuk dilakukan, hal itu dilakukan sambil melihat komitmen pengusaha untuk membantu menurunkan harga. Yang pertama adalah penyediaan 11 juta liter minyak goreng seharga Rp 14.000 per liter untuk kemasan sederhana. Namun yang terjadi alokasinya cuma 5 juta liter saja.
Kemudian terakhir pemerintah melakukan subsidi harga minyak goreng dengan satu harga Rp 14.000 per liter untuk semua minyak goreng kemasan. Namun nyatanya kebijakan ini juga tak berjalan mulus. Yang tadinya bakal dilakukan 6 bulan kini hanya dua pekan saja.
Baca juga: Kejagung Segera Sidangkan Kasus Korupsi Ekspor CPO Minyak Goreng
Nah karena kedua kebijakan yang fokus di sisi hilir itu tak berhasil, kini Lutfi mengarahkan kebijakannya dari sisi hulu ke hilir. Salah satunya dengan kebijakan DMO dan DPO untuk produk olahan kelapa sawit.
"Memang kita bikin kalau nggak komit kita kerjakan. Terakhirnya ya sudah kalau begini kejadiannya, kita sekarang main dari hulu ke hilir," papar Lutfi.
Dua kebijakan itu untuk memastikan eksportir CPO telah menyuplai 20% DMO dari volume ekspornya untuk industri minyak goreng dalam negeri diikuti dengan penetapan harga yang lebih rendah dari harga pasar internasional.
Harga olahan kelapa sawit dari jumlah pemenuhan wajib dalam negeri atau DPO adalah sebesar Rp 9.300 per kg untuk CPO dan Rp 10.300 per kg untuk olahan olein. Sementara itu harga CPO di pasar internasional saja mencapai Rp 13.000-15.000 per kg.
"Jadi harga yang naik itu saya paksa turun kembali. Kebutuhan minyak goreng kita hanya 5,6 juta kilo liter, itu hanya 10ri produksi CPO kita. Jadi kecil sekali," katanya.
Baca juga: Kasus Minyak Goreng Langka, KPPU Tingkatkan Pemberkasan 27 Perusahaan Nakal
Lutfi menegaskan tidak akan ada ekspor bagi perusahaan yang belum memenuhinya DMO 20%. "Ini saya nggak kasih ekspor semua sampai obligasi dimestiknya nggak kejadian, kita kasih kesempatan industri untuk regulate sedemikian rupa," pungkasnya.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi