Konflik Agraria di Indonesia Selalu Diselesaikan dengan Represif

Reporter : Seno
images - 2022-02-14T083558.792

Optika.id - Kasus tewasnya mahasiswa dari Desa Tada, Kecamatan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong  bernama Erfaldi alias Aldi (21) yang diduga ditembak aparat kepolisian saat demonstrasi menolak perusahaan tambang emas. Hal ini menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) membuktikan penyelesaian konflik agraria di Indonesia selalu dilakukan dengan pendekatan keamanan yang represif.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengatakan kejadian di Parigi Moutong bukan tak mungkin terjadi di daerah lain yang memiliki konflik serupa.

Baca juga: Meninjau Glorifikasi Hilirisasi yang Digembar-gemborkan Gibran

"Jadi ini bom waktu sebetulnya karena pemerintah sudah banyak mengeluarkan perizinan, gejolak sudah terjadi di mana-mana," kata Kepala Kampanye Nasional JATAM Melky Nahar dalam keterangannya, Selasa (15/2/2022).

Dia mengatakan seluruh proses pengambilan kebijakan terkait penerbitan IUP tidak pernah melibatkan warga, seperti yang terjadi juga di Wadas, pulau Wawoni, Halmahera, dan Morowali.

Menurutnya semuanya berlangsung di ruang tertutup antara pemerintah dan perusahaan yang mengajukan izin.

"Sehingga ketika perusahaan masuk ke suatu daerah untuk memulai operasi yang mereka lakukan hanya sosialisasi, tidak dalam konteks apa warga setuju kalau tambang masuk. Makanya muncul resistensi. Di mana pun tambang hadir pasti akan muncul resistensi dari warga setempat karena tiba-tiba kampungnya masuk konsesi tambang, seperti yang di Parigi Moutong, sawah warga juga masuk, dan seluruh prosesnya sama sekali tidak diketahui oleh warga," katanya.

Ketika sudah terjadi penolakan di kalangan warga, Melky mengatakan pemerintah selalu mengatasinya dengan pendekatan keamanan.

Melky menyebut konflik di Wadas dan Parigi Moutong hanya dua dari kasus yang sudah dan yang akan muncul di tengah rezim yang terus mendorong investasi.

Konflik-konflik seperti ini diperkirakan akan terus terjadi, apalagi ada perubahan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 yang bisa dan sudah digunakan untuk menjerat warga yang menghalangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP.

"Trennya selama ini, pasal-pasal itu selalu digunakan oleh pihak perusahaan atau orang-orang yang ditugaskan perusahaan untuk menjerat warga yang melakukan penolakan terhadap tambang," katanya.

Pemerintah Selesaikan Konflik Seperti Pemadam Kebakaran

Hal senada dikatakan Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika.

"Cara-cara pemerintah dalam menangani konflik agraria itu tidak berubah dari waktu ke waktu, justru yang makin didorong adalah penanganan yang bersifat represif," katanya, Selasa (15/2/2022). Dewi bahkan menyebut masyarakat yang protes selalu diberi label anti pembangunan.

"Padahal tidak sesederhana itu, karena memang ada wilayah hidup, ada tempat masyarakat, ada wilayah adat, ada pekampungan, ada pertanian produktif yang akan terancam, termasuk kelestarian lingkungannya yang akan terancam kalau model pembangunan itu bersifat eksploitatif dan merusak. Apalagi kalau untuk aktivitas tambang, perkebunan, itu skalanya besar," tandasnya.

Dia juga menilai, upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik agraria selama ini seperti 'pemadam kebakaran'.

"Ketika sudah terjadi keributan, jatuh korban, bahkan korban nyawa, baru pemerintah akan bereaksi, tapi setelah itu tidak ada penyelesaian yang komprehensif. Padahal, pengaduan masyarakat yang paling banyak di lembaga negara selalu ditempati oleh konflik agraria atau konflik pertanahan," tukasnya.

Dewi mengatakan akar permasalahan dari konflik agraria di Indonesia disebabkan sistem ekonomi politik agraria yang semakin hari semakin 'liberal dan kapitalistik', artinya semakin memprioritaskan pengadaan dan pengalokasian tanah kepada badan-badan usaha skala besar.

Hal itu, kata Dewi, sebenarnya sudah 'melanggar konstitusi, pasal 33 ayat 3 dan melanggar undang-undang pokok agraria', di mana tanah dipandang sebagai komoditas, tidak lagi dipandang fungsi sosialnya.

Akibatnya, yang akan lebih mudah mengakses dan menguasai tanah dan mendapatkan hak atas tanah lainnya adalah pemilik modal.

"Sebenarnya, monopoli atas tanah oleh swasta itu tidak diperkenankan, tapi yang terjadi sekarang kebalikannya. 1 persen, segelintir kelompok, meguasai aset kekayaan nasional berupa tanah, dan itu sudah sangat timpang," ujar Dewi.

KPA menilai, sebenarnya reforma agraria yang digadang-gadang pemerintahan Jokowi bisa mengurangi konflik agraria jika tidak hanya bagi-bagi sertifikat tanah.

Seharusnya, reforma agraria dilakukan dengan menyasar wilayah konflik agraria, wilayah dengan ketimpangan penguasaan tanah, dan wilayah kemiskinan struktural yang dialami masyarakat di pedesaan, yang diikuti oleh proses redistribusi tanah, penataan ulang struktur agraria dan penyelesaian konflik agraria.

"Jadi kalau pemerintah itu betul-betul menyasar wilayah-wilayah konflik agraria yang bahkan sudah diadukan oleh masyarakat dalam tujuh tahun terakhir ini, seharusnya itu bisa berkontribusi pada pengurangan konflik agraria. Masalahnya adalah itu tidak disentuh. Yang dilakukan pemerintah justru wilayah non-konflik yang enggak perlu ada proses reforma agraria," ujar Dewi.

WALHI Kutuk Penembakan!

Baca juga: Aroma Anyir Dana Kampanye dari Duit Tambang Ilegal

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mengutuk penembakan yang terjadi pada massa demonstrasi penolakan tambang PT Trio Kencana yang mengakibatkan seorang demonstran meninggal.

"Tindakan kekerasan dan penangkapan tanpa prosedur oleh aparat menambah daftar panjang catatan hitam kekerasan terhadap warga yang memperjuangkan ruang hidupnya, ujar Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Eksekutif Nasional Walhi, Fanny Tri Jambore dalam keterangannya, Senin (14/2/2022).

Walhi mencatat, sepanjang tahun 2021 hingga saat ini, setidaknya terdapat 182 warga mengalami kekerasan oleh aparat kepolisian. Dengan catatan ini, kata Fanny, Walhi mendesak Kapolri untuk melakukan evaluasi secara serius ditingkat jajaran Polri.

"Kejadian berulang ini harus dihentikan. Kapolri harus memberi perhatian serius berkaitan dengan konflik-konflik agraria dan lingkungan, kata Fanny.

Terkait kasus di Sulawesi Tengah ini, Walhi berharap adanya proses yang transparan untuk mengusut tuntas peristiwa yang menewaskan satu orang warga di sana. Selain itu, Fanny meminta pemerintah untuk melakukan evaluasi yang serius terhadap pemberian izin-izin tambang.

Khususnya yang telah menimbulkan sejumlah konflik karena mengancam keselamatan wilayah kelola rakyat dan ruang hidupnya. Harus ada evaluasi yang serius kali ini, tuturnya.

Konflik Agraria Naik 167 persen

Pada 2021 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat konflik agraria akibat pertambangan mengalami kenaikan siginifikan sebesar 167 persen dibanding tahun sebelumnya.

Kepolisian mengakui ada anggotanya yang melakukan pelanggaran dan akan menindak tegas aparat yang bersalah, tapi masalah ini cukup sering terjadi.

Dari sisi korban yang terdampak, jumlahnya juga naik drastis. Konflik agraria di sektor pertambangan berdampak 161.136 kepala keluarga, 81 persen dari keseluruhan konflik agraria pada 2021 yang berdampak pada 198.859 kepala keluarga.

Salah satu warga Kecamatan Tinombo Selatan Parigi Moutong, yang tak mau disebutkan namanya, mengatakan penolakan terhadap PT Trio Kencana, yang mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) sejak 2010, sudah dilakukansejak 2011, 2012, dan 2019 lalu.

Penolakan dilakukan karena mereka khawatir sumber air bersih mereka yang masuk ke wilayah konsesi tambang akan hilang.

Baca juga: Petani Dalam Negeri Belum Sejahtera, Pakar Titipkan ini ke Cak Imin

Pada 2020, warga kembali berdemo karena mereka mendapatkan kabar IUP PT Trio Kencana akan diperpanjang.

Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), izin PT Trio Kencana sudah diperpanjang sampai 27 Agustus 2040.

Dalam rentang periode itu, mengatakan masyarakat tidak pernah dimintai pendapatnya tentang kehadiran perusahaan penambang emas tersebut.

"Saya dari tahun 2008 di sini, selama ini kami tidak pernah diundang bahwa akan ada perusahaan masuk, tidak pernah ada. Ini kan tiba-tiba langsung terbit IUP-nya. Eh, kapan mereka sosialisasi? Tiba-tiba keluar IUP-nya, amdal langsung ada," katanya kepada wartawan.

Peristiwa itu berawal dari unjuk rasa yang melibatkan warga tiga kecamatan yaitu Kecamatan Toribulu, Kasimbar, dan Kecamatan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong. Awalnya, sebagian warga ini berunjuk rasa pada 7 Februari 2022 menuntut Gubernur Rusdy Mastura mencabut izin tambang PT Trio Kencana.

Lalu, Rusdy melalui Tenaga Ahli Gubernur Bidang Kemasyarakatan Antar Lembaga dan HAM, Ridha Saleh, berjanji untuk menemui massa aksi. Sehingga, massa kembali menggelar aksi pada 12 Februari 2022, sejak pagi hingga malam hari, tapi Rusdy tak kunjung datang.

Kemudian, massa memblokir jalan di Desa Siney, Kecamatan Tinombo Selatan. Aparat kemudian membubarkan paksa pengunjuk rasa yang berujung pada penembakan dengan 1 korban meninggal.

"Memang nanti kita ada usulan rakyat, saya paling menyurat ke departemen, minta penciutan. Rakyat yang tidak setuju dikeluarkan karena IUP sudah ada. Saya tidak punya hak mencabut, yang punya hak departemen, semua sudah dicabut pusat," kata Rusdy kepada wartawan pada Minggu (13/2/2022).

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru