Optika.id - Masyarakat di dunia digemparkan dengan munculnya konflik yang terjadi antara Rusia-Ukraina. Hal ini lantas membuat seisi dunia waspada terkait timbulnya potensi konflik yang akan meluas ke wilayah-wilayah yang ada di sekitarnya.
Khoirul Umam, Dosen Paramadina Graduate School of diplomacy, menuturkan dari segi anatomi konflik, terdapat tiga faktor penentu yang perlu diantisipasi. Pertama, yakni pentingnya mengelola fungsi diplomasi serta komunikasi politik, yang terdapat dalam konteks bilateral ataupun multilateral antar-negara, terutama dalam relasi yang telah mempunyai akar sejarah konflik yang kuat pada masa lalu.
Baca juga: KTT Ukraina Terus Mengupayakan Konsensus, Tapi...
"Kedua, Indonesia harus lebih berhati-hati agar tidak terjebak dalam bias kalkulasi kepentingan strategis,strategic miscalculation. Dalam konteks ini, kejernihan menimbang dan mengkalkulasikan strategi pencapaian kepentingan nasional sangat ditentukan oleh kompleksitas aktor yang terlibat," terang Khoirul Umam saat berada dalam diskusi Indef, "Dampak Ekonomi Perang Rusia-Ukraina", beberapa waktu yang lalu.
Menurut Umam, hal tersebut berarti terdapat adanya kepercayaan diri yang tinggi dari pihak Ukraina dalam menghadapi Rusia, hal ini juga tentu tidak terlepas dari adanya lingkungan kekuatan yang mengelilinginya. Khususnya dalam keterlibatan NATO berserta dengan Amerika Serikat sendiri yang telah menjanjikan aliansi dukungan yang kuat sebagai back up kekuatan dari Ukraina itu sendiri
Dan hal yang ketiga, ialah pentingnya mengelola ego kekuasaan yang dapat dimainkan oleh para elit politik, pemerintahan, hingga suatu negara.
Dalam permasalahan ini, konflik yang terjadi selanjutnya juga dapat tersulut menjadi suatu perang terbuka, yang kerap kali tidak lepas dari munculnya sosok dari karakter pimpinannya.
"Seperti yang karakter meledak-ledak, tidak mudah diterka, erratic leader, memiliki ego yang tinggi, serta kadang menikmati hadirnya atmosfer ketegangan hingga perang, warlike leader," lanjutnya.
Oleh sebab itu, dirinya menekankan Indonesia haruslah dapat mengantisipasi adanya perluasan konflik yang terjadi agar ancaman instabilitas ini tidak berpindah menuju kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut juga dapat berimbas apabila terdapat suatu kesalahan dalam kalkulasi politik yang diambil oleh Indonesia, hal ini nantinya akan membuat Indonesia terjebak dalam posisi yang tidak menguntungkan di bidang ekonomi dan juga politik internasional.
Di lain sisi, terdapat sejumlah kekuatan besar yang tengah berusaha mengkonsolidasikan kekuatan mereka di kawasan Indo-Pasifik. Hal ini juga dapat dilihat melalui adanya upaya konsolidasi kekuatan yang diantaranya ialah hadirnya deklarasi pakta pertahanan Australia, United Kingdom dan United States of America (AUKUS) pada September 2021 lalu.
AUKUS sendiri memiliki fungsi dalam membendung Tiongkok, yang dinilai semakin mengokohkan pengaruh dari kekuatan ekonomi-politik dan juga pertahanannya yang berada di kawasan Asia Tenggara berserta Pasifik secara general.
Baca juga: Rusia: Ukraina Kembali Serang dengan Drone dan Rudal
Oleh Karena itu, Umam mengungkapkan bahwa konflik Rusia dan Ukraina saat ini haruslah dapat menjadi wake-up call bagi Indonesia sendiri.
"Peringatan bagi kita semua, untuk benar-benar mampu menjalankan kerja diplomasi dan komunikasi politik publik di kawasan secara optimal. Jangan sampai Asia Tenggara, khususnya Indonesia, menjadi ajang medan pertempuran dan adu pelanduk di antara dua kekuatan besar di kawasan," ujarnya.
Oleh karena itu, semua negara yang berada di dalam kawasan haruslah tetap menegakkan adanya komitmen sebagai upaya menghadirkan rangkaian kerja diplomasi dan komunikasi politik yang jujur, transparan, dan akuntabel.
Dalam kesempatan tersebut, Umam juga menegaskan bahwa upaya penguatan terhadap sistem demokrasi yang telah menghadirkan model checking and balancing harus terus dijalankan secara serius dan juga simultan, agar output kepemimpinan politik pada nantinya tidak dapat dibelokkan oleh suatu ego kekuasaan.
Apabila terlaksana dengan baik, hal ini nantinya akan menjadi suatu teori perdamaian demokrasi yang berlaku. Teori yang meyakini bahwa perdamaian kawasan akan lebih mudah dicapai ketika masing-masing negara dapat menjalankan sistem demokrasi yang lebih sehat dan juga transparan.
Baca juga: Sekjen PBB Mengecam Serangan Rusia yang Menewaskan 40 Warga Ukraina
"Teori ini akan kembali menemukan justifikasi dan relevansinya dalam konteks teori maupun praktik hubungan internasional," tambahnya.
Reporter: Akbar Akeyla
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi