Kecelakaan Kereta Dhoho Vs Bus di Perlintasan Sebidang, Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

Reporter : Jenik Mauliddina
Tangkapan layar kondisi lokomotif KA Dhoho (351) setelah ditabrak bus Harapan Jaya pada Minggu (27/2/2022) pukul 05.16 WIB.(Dok: PT KAI (Persero)

Optika.id - Lembaga non-profit Institute for Transportation Studies (INSTRAN), memberikan analisisnya terhadap kecelakaan Kereta Api Dhoho relasi Blitar-Surabaya dengan Bus Harapan Jaya di Tulungagung, Jawa Timur Minggu (27/2/2022).

Direktur Eksekutif INSTRAN, Deddy Herlambang, mengungkapkan siapa yang paling bertanggung jawab atas kecelakaan yang menewaskan 5 orang dan pendapatnya tentang kejadian tersebut. 

Baca juga: Mengintip Depo Sidotopo, Kuburan Kereta yang Sarat Nilai Historis di Surabaya

"Kecelakaan seperti itu kerap terjadi, terutama antara kereta api dan kendaraan bermotor baik roda 2 maupun roda 4.Mayoritas kecelakaan ini terjadi karena pengendara kendaraan bermotor tersebut lalai karena tidak mendahulukan kereta api melintas," papar dia, Jumat (4/3/2022).

Deddy menambahkan, terkadang pemerintah masih belum paham tentang siapa paling bertanggung jawab di JPL. Bahkan, bila terjadi kecelakaan di JPL antarlini sektoral ada kecenderungan saling menyalahkan.

"Terkadang PT KAI juga disalahkan, padahal KAI hanya penyelenggara sarana KA yang tidak punya lagi tanggung jawab di JPL," imbuh dia.

Menurut Deddy, semua lintas sektor bertanggung jawab atas JPL, namun harus ada yang 'paling' bertanggung jawab di JPL. Yakni Pemerintah/Pemerintah Daerah sesuai kepemilikan kelas jalan yang terdapat JPL.

"Bila akses jalan ke pemukiman atau industri mempunyai JPL tentunya pengembang (developer) tersebut yang bertanggung jawab," terangnya.

Dia menyarankan agar tiap JPL dipasang CCTV untuk tilang ETLE. Kemudian, pengemudi kendaraan wajib mendahulukan kereta api dan memberikan hak utama pada Kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.

"UU 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan UU 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdapat kesamaan beleid keselamatan, yakni kendaraan apapun harus mendahulukan kereta api yang akan melintas," papar dia.

Baca juga: PT KAI Berikan Apresiasi untuk Pemkab Lamongan

Menurut dia, jika merujuk kedua undang-undang tersebut, bila terjadi kecelakaan sangat jelas kelalaian pada kendaraannya. Karena tidak mendahulukan kereta api melintas. Sehingga sehingga lebih tepat dinamakan kecelakaan jalan.

Namun, ada juga yang menyalahkan pintu perlintasan tidak ditutup sehingga terjadi kecelakaan di JPL. Logikanya mengapa di lampu merah kendaraan tertib mau berhenti. Sedangkan di JPL harus ada palang pintunya supaya kendaraan mau berhenti.

"Jawabannya, dengan adanya alarm/sirene, bila akan ada kereta api melintas sudah cukup disiplin kendaraan berhenti seperti halnya di lampu merah di jalan raya," tutur dia.

Dia mengatakan, PT KAI tahun 2021 mencatat jumlah keseluruhan perlintasan sebidang adalah 4.422 dengan mayoritas 71 persen perlintasan tidak dijaga. Bila dibandingkan tahun 2019 sebanyak 4.642 maka Jalur Perlintasan Langsung (JPL) berkurang/ditutup sebanyak 220 titik.

Baca juga: PT Reska Multi Usaha Buka Rekruitmen Untuk Lulusan SMA/SMK Loh, Yuk Buruan Daftar!

"Artinya sudah baik karena terdapat penyusutan jumlah JPL, namun tetap saja kecelakaan antara kendaraan bermotor dan kereta api masih sering terjadi. Bila banyak tumbuh pemukiman baru, dapat disimpulkan perlintasan kereta api baru/liar juga bertambah karena masyarakat cenderung memilih melintas JPL liar terdekat daripada JPL resmi yang dianggap lebih jauh," kata Deddy.

Reporter: Jenik Mauliddina

Editor: Pahlevi

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru