Mengintip Depo Sidotopo, Kuburan Kereta yang Sarat Nilai Historis di Surabaya

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Kamis, 29 Feb 2024 09:05 WIB

Mengintip Depo Sidotopo, Kuburan Kereta yang Sarat Nilai Historis di Surabaya

Surabaya (optika.id) - Bagi pencinta kereta atau para railfans, kuburan kereta menjadi salah satu tempat estetik yang mereka buru untuk diabadikan melalui lensa mereka. Pasalnya, kuburan kereta ini jauh dari kesan angker dan menyeramkan. Bahkan, keberadaannya justru menjadi spot foto estetik yang instagramable dan memanjakan mata. Lokasi kuburan kereta, memang mempunyai daya tariknya sendiri.

Ada beberapa lokasi kuburan kereta yang populer di Indonesia. baik di kalangan masyarakat umum, maupun railfans. Misalnya saja, kuburan kereta di Stasiun Cikaum Subang; Balai Yasa Yogyakarta; dan Stasiun Purwakarta.

Baca Juga: Lowongan Kerja PT Reska Multi Usaha (KAI Services)

Selain lokasi-lokasi di atas, masih ada kuburan kereta yang terbilang unik. Kuburan kereta ini tak hanya sekadar menyimpang bangkai gerbong kereta yang berusia tua saja, namun juga masih beroperasi sebagia bengkel kereta api. Tempat tersebut ada di Surabaya, tepatnya Depo Sidotopo.

Depo Kereta Modern Berusia 1 Abad

Pada dasarnya, depo sidotopo ini merupakan stasiun kereta api kelas besar tipe C yang terletak di Kelurahan Simokerto, Surabaya. Depo ini dikhususkan sebagai tempat perawatan dan penyimpanan kereta penumpang, gerbong, maupun lokomotif. Di depo ini, ada 17 jalur kereta api yang membuat tempat ini menjadi stasiun dengan jumlah jalur terbanyak di Indonesia.

Sidotopo, jika ditilik dari asal-usul pembangunannya sebenarnya cocok disebut depo daripada stasiun. Pasalnya, awal mula pembangunan kawasan ini memang dikhususnya sebagai tempat pemeliharaan dan rumah bagi kereta.

Staatsspoorwegen (SS) yang merupakan cikal bakal perusahaan KAI pada jaman Hindia Belanda tercatat pertama kali menyulap wilayah yang dulunya sawah, rawa-rawa dan kampung di Sidotopo ini menjadi kawasan depo dengan luas lebih dari 80 hektar.

Baca Juga: PT KAI Berikan Apresiasi untuk Pemkab Lamongan

SS mengklaim jika depo itu merupakan depo terbesar dan terluas yang pernah dimiliki bahkan terbesar de Asia. Hal itu dissebutkan pada surat kabar Deli Courant edisi 9 Mei 1921 yang menyebut bahwa depo itu mulai dipakai sejak 30 April dengan panjang 3 kilometer serta lebar 300 meter dan pembangunannya masih terus berlangsung.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Proyek depo ini digarap dalam waktu tiga tahun, disebutkan dalam buku perayaan ulang tahun Staatsspoorwegen ke-50 "Gedenkboek Staatspoor-en Tramwegen" yang ditulis oleh S. A. Reitsma, Depo Lokomotif Sidotopo telah aktif digunakan sejak tahun 1923.

Tak hanya itu, dalam bukunya yang berjudul Stoomtractie Op Java En Sumatra J.J.G. Oegema menulis jika saat itu, Depo Sidotopo merupakan depo induk yang paling modern. Tak tanggung-tanggung, dengan luasnya yang lebih dari 80 hektare, SS membangun kompleks lokomotif depo ini beserta remise dengan tujuan untuk perawatan dan perbaikan lokomotif termasuk juga kereta, dan gerbong.

Baca Juga: Yang Belum Usai dalam Penanganan Permukiman Pinggiran Rel Kereta

Depo Sidotopo pada era sekarang yang berada di wilayah Daop 8 Surabaya masih aktif difungsikan sebagai tempat perawatan maupun perbaikan lokomotif, kereta maupun gerbong. Di tempat ini pula, dilakukan perawatan berbagai rangkaian kereta api seperti KA Commuter Line Tumapel, Line Jenggala, Line Supas, Line Dhoho dan Penataran.

Selain kereta api, di lokasi yang sama juga ada stasiun, klinik kesehatan milik KAI (Mediska) dan Griya Karya Bima yang merupakan tempat beristirahat bagi para masinis yang lelah bekerja. Dengan kata lain, semua kawasan di Depo Sidotopo sekarang masih sangat autentik. Kendati ada beberapa renovasi, namun hal itu tidak mengubah bangunan asli sejak pertama kali selesai dibangun di tahun 1923.

Meskipun demikian, tidak sembarang orang bisa masuk ke tempat ini. Mereka yang ingin sekadar berfoto di kereta kuburan Sidotopo atau bahkan melihat jejak bangunan bersejarah perkeretaapian Indonesia sejak zaman Hindia Belanda perlu meminta izin kepada pihak pengelola terlebih dahulu.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU