[caption id="attachment_14301" align="alignnone" width="157"] Ruby Kay[/caption]
Jokowi telah meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Keppres yang menetapkan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara cuma menyebut empat tokoh yang berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Empat tokoh itu adalah:
1. Sri Sultan Hamengkubuwono IX
2. Jenderal Sudirman
3. Ir. Soekarno
4. Drs. Mohamad Hatta
Baca juga: Pertemuan Tertutup Jokowi dan Prabowo: Momen Penting di Solo
Sedangkan nama Soeharto dicoret, padahal perannya tidak bisa dianggap remeh. Beliaulah yang menjadi komandan lapangan dalam memimpin serangan terhadap pos-pos militer Belanda di Jogjakarta pada tanggal 1 maret 1949.
Soeharto saat agresi militer Belanda II berpangkat Letkol, orang kepercayaan Jenderal Sudirman. Sedangkan Serangan Umum 1 maret 1949 sendiri digagas oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Sri Sultanlah yang mengontak Jenderal Sudirman, ia mengirim surat melalui kurir, mengajukan gagasan supaya TNI menyerang tentara Belanda. Hal ini untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI dan Republik Indonesia masih eksis.
Yup. Agresi militer Belanda ke-II memang bertujuan untuk menghapus jejak pemerintahan Republik Indonesia yang baru seumur jagung. Belanda melakukan klaim sepihak bahwa Hindia Belanda masih menjadi wilayah koloni mereka.
Soekarno dan Hatta saat itu sudah ditangkap oleh militer Belanda dan diasingkan kepulau Bangka. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap jasa keduanya, peran mereka dalam Serangan Umum 1 maret 1949 sejatinya nihil. Akses komunikasi mereka dengan dunia luar benar-benar dikunci mati oleh Belanda. Lalu kenapa nama mereka berdua malah dianggap berjasa dalam Serangan Umum itu? Kenapa Soeharto yang notabene menjadi komandan lapangan, ikut bertempur menyerang tentara Belanda dikota Jogjakarta malah tak diakui perannya oleh pemerintah RI saat ini?
Begitulah. Sejarah cenderung ditulis oleh para penguasa. Padahal metodologi penulisan sejarah itu diajarkan dikampus-kampus. Abaikan dulu rasa like and dislike ketika menulis ulang sejarah. Abaikan ideologi, agama, suku, etnis yang menjadi entitas seseorang. Kalau ia memang berjasa bagi berdirinya Republik ini, ya harus ditulis, diceritakan kepada generasi selanjutnya.
Mampukah kita objektif dalam menulis sejarah perjuangan bangsa? Gue rasa belum. Jokowi dengan sengaja mengaburkan peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 maret 1949. Namun harus pula diingat, bahwa saat Soeharto menjadi penguasa, ia juga menghilangkan nama-nama orang yang sejatinya punya andil besar dalam memerdekakan bangsa Indonesia.
Salah satu nama yang dikerdilkan perannya dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia adalah Sjafroedin Prawiranegara. Saat agresi militer Belanda II, beliau menjabat sebagai Presiden PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) mulai tanggal 22 desember 1948 hingga 13 juli 1949 yang berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Ya. Ketika Soekarno-Hatta ditangkap Belanda, Sjafroedin yang saat itu menjabat sebagai menteri Kemakmuran mendapat mandat untuk membentuk kabinet darurat. Republik tak boleh bubar hanya karena agresi militer Belanda. Awalnya, pusat pemerintahan dialihkan ke Jogjakarta. Namun Sri Sultan mengontak Sjafroedin, memberitahukan kalau Jogja sendiri situasinya tidak kondusif. Sjafroedin lalu mengambil inisiatif untuk memindahkan pusat pemerintahan kekota Bukit Tinggi.
Jika mau objektif menganalisa sejarah, sejatinya ada 3 nama yang berperan besar dalam menyusun Serangan Umum 1 maret 1949, yaitu:
1. Menteri Pertahanan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX
2. Panglima TNI, Jenderal Sudirman
3. Presiden PDRI, Sjafroedin Prawiranegara.
Baca juga: Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk
Tiga orang itulah yang intens melakukan komunikasi secara sembunyi-sembunyi menggagas serangan kepada militer Belanda. Hal itu untuk membuktikan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada.
Otak serangan umum 1 maret 1949 itu ya Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Disetujui dan diketahui oleh Sjafroedin Prawiranegara sebagai Presiden. Lalu dieksekusi oleh Jenderal Sudirman. Strategi penyerangan tentu menjadi tugas Panglima TNI yang saat itu sedang bergerilya. Jenderal Sudirman langsung memberi amanat kepada Letkol Soeharto untuk menjadi komandan lapangan.
Hasil komunikasi 3 orang elit itu membuahkan hasil nyata. Letkol Soeharto beserta anak buahnya sukses menguasai kota Jogjakarta dalam kurun waktu 6 jam. Itu sudah cukup sebagai shock therapy bahwa TNI masih ada dan Republik ini masih eksis berdiri.
Impact yang ditimbulkan dari SU 1 maret 1949 tak bisa dianggap sepele. Negara lain mengetahui peristiwa itu dan akhirnya mendesak PBB menggelar persidangan untuk mengakui eksistensi Indonesia. Belanda terpojok, propaganda mereka kalah dengan aksi nyata TNI yang berhasil menguasai Jogjakarta hanya dalam waktu 6 jam, tapi dampaknya bagi diplomasi RI sungguh luar biasa.
Berdasarkan fakta sejarah itu, apakah rezim Jokowi mengakui peran Soeharto? Tidak. Keppres nomor 2 tahun 2022 malah mencantumkan nama Soekarno-Hatta yang maaf-maaf saja, tidak ada peran sama sekali dalam serangan umum 1 maret 1949. Wong mereka berdua sedang diasingkan Belanda ke pulau Bangka. Segala akses komunikasi dengan dunia luar dikunci rapat. Logis saja, bagaimana mungkin mereka bisa ikut merencanakan serangan?
Apakah rezim Soeharto mengakui peran Sjafroedin Prawiranegara? Tidak. Rezim Orba hanya mengglorifikasi nama Soeharto, seakan-akan dia sendiri yang berjasa dalam Serangan Umum 1 maret 1949. Film Janur Kuning jadi alat propaganda Orde Baru untuk mengaburkan fakta sejarah. Logikanya, seorang Letkol tidak miliki policy untuk menyusun strategi. Soeharto hanya bertindak sebagai eksekutor setelah mendapat perintah dari Jenderal Sudirman.
Baca juga: Dosa-dosa Jokowi
Begitulah sejarah, sangat mudah diputarbalikkan oleh rezim yang sedang berkuasa. Sjafroedin Prawiranegara sendiri lahir dari keluarga muslim taat. Ayahnya merupakan keturunan Sultan Banten, sedangkan ibunya keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat. Sjafroedin tumbuh besar dengan memegang teguh prinsip dan ajaran Islam. Dari aspek edukasi juga terbilang mumpuni. Tahun 1939, Sjafroedin Prawiranegara menamatkan pendidikan di Rechtshoogeschool (sekolah tinggi hukum) yang menjadi cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sjafroedin jadi pucuk pimpinan partai Masyumi pada tahun 1960 dan anggota pengurus yayasan Al-Azhar pada tahun 1978.
Sjafroedin Prawiranegara wafat pada tanggal 15 februari 1989 dan dimakamkan di tanah kusir, Jakarta Selatan. See, ia bahkan tak mendapat kehormatan untuk dimakamkan di taman makam pahlawan Kalibata. Nama dan perannya boleh saja dikerdilkan oleh penguasa. Tapi hal itu tak membuat gue melupakan jasa beliau dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Jika rezim Jokowi memang punya niat menulis ulang sejarah perjuangan bangsa Indonesia dengan objektif, maka akui peran Letkol Soeharto dalam Serangan Umum 1 maret. Akui juga peran Sjafroedin Prawiranegara yang pernah menjadi Presiden disaat negeri ini sedang dalam situasi kepepet.
Ruby Kay
Editor : Pahlevi