Optika.id - Polemik terkait isu penundaan Pemilu 2024 mendatang diketahui sempat membuat seisi masyarakat Indonesia kebingungan. Adanya kabar angin tersebut juga sempat membuat sejumlah pejabat tinggi negara di Kabinet Indonesia Maju angkat suara.
Hal tersebut dilakukan agar dapat meluruskan tentang informasi yang sempat beredar terkait keterlibatan pemerintah dalam desain penundaan Pemilu 2024.
Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Polemik ini bermula saat Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum PKB dan juga Zulkifli Hasan selaku Ketua Umum dari PAN, berbicara tentang penundaan pemilu 2024 di hadapan publik.
Mereka diketahui sempat mengusulkan agar Pemilu yang awalnya akan dilaksanakan pada 2024, ditunda menjadi 1 hingga 2 tahun dikarenakan terdapatnya pemulihan ekonomi pascapandemi yang masih berjalan.
Mereka menganggap bahwa pemulihan ekonomi dikarenakan adanya pandemi ini akan terganggu apabila pemilu dilaksanakan pada 2024 mendatang. Airlangga Hartarto selaku Ketua Umum Golkar diketahui juga ikut memberikan suaranya terkait penundaan pemilu tersebut.
Mengutip dari media CNNIndonesia.com, pihak mereka diketahui sempat mendapatkan informasi yang berasal dari seorang sumber di kalangan partai politik. Sumber tersebut menjelaskan bahwa para ketua umum tersebut mengusulkan penundaan pemilu 2024 atas arahan dari Luhut Binsar Pandjaitan yang saat ini sedang menjabat sebagai Menko Marinves.
Para masyarakat Indonesia juga sempat meramaikan terkait polemik ini, dikarenakan, penundaan pemilu sendiri sama saja dengan melanggar konstitusi UUD 1945 yang telah ditetapkan.
Bahkan, Presiden RI Joko Widodo juga sudah memberikan suaranya terkait isu ini. Namun, dirinya tidak menolak usulan penundaan pemilu 2024 dengan alasan usul tersebut merupakan suatu bagian dari demokrasi.
"Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi," ungkap Presiden.
"Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan (masa jabatan presiden), menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas saja berpendapat," tambahnya.
Tak lama setelah Jokowi mengeluarkan pernyataannya yang tidak tegas menolak penundaan Pemilu 2024 tersebut, sejumlah partai politik diketahui sempat mengkritik terkait hal itu. Salah satunya ialah partai Demokrat.
Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
"Satu kalimat saja dari saya: kurang tegas pernyataan Presiden menolak perpanjangan atau penundaan pemilu ini. Beda dengan tiga periode kemarin yang sampai bawa-bawa 'menampar muka saya ini' dan lain-lain," terang Jansen Sitindaon selaku Wakil Sekjen dari Partai Demokrat.
Tak lama, Mahfud MD selaku Menko Polhukam juga ikut dalam memberikan penjelasan terkait sikap pemerintah terhadap isu penundaan pemilu 2024 tersebut. Namun, Mahfud tidak memberikan pernyataan tegas bahwa pemerintah menolak usulan tersebut.
Dirinya hanya menjelaskan bahwa pemerintah tidak pernah membahas penundaan Pemilu 2024 selama ini. Mahfud juga sempat mengatakan bahwa Presiden Jokowi telah setuju terhadap pemungutan suara yang digelar pada 14 Februari 2024 mendatang, seperti yang telah disetujui oleh DPR serta KPU.
"Sama sekali tidak pernah ada pembicaraan masalah penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan tersebut," terang Mahfud pada, Senin (7/3/2022) lalu.
Sementara itu, Bivitri Susanti selaku Pakar Hukum Tata Negara menekankan bahwa perubahan jadwal pemilu dalam UUD 1945 bukanlah perkara yang sulit. Hanya tinggal kesepakatan antara para partai politik untuk dapat menggelar Sidang Istimewa MPR, lalu mengamendemen pasal dalam UUD 1945.
Namun, pemilu dijadwalkan setiap lima tahun sekali seperti yang diatur dalam UUD 1945 memiliki tujuan untuk membatasi kekuasaan. Hal tersebut. merupakan landasan moral yang seharusnya telah dipahami oleh elite politik, sehingga tidak dapat dengan mudah mengubah-ubah UUD 1945.
Baca juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
"Konstitusi adalah gagasan tentang pembatasan kekuasaan. Sekali itu dilanggar, maka akan runtuh bangunan demokrasi kita," tuturnya.
"Ini adalah pengkhianatan konstitusi, pembangkangan konstitusi. Saya kira saya pake kata yang lebih keras, pengkhianatan sebenarnya," sambung Bivitri.
Reporter: Akbar Akeyla
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi