Kisah cinta Muhammad dan Khadijah

Reporter : optikaid
Kisah cinta Muhammad dan Khadijah

[caption id="attachment_14301" align="alignnone" width="211"] Ruby Kay[/caption]

Khadijah sudah tertarik kepada Muhammad jauh sebelum mereka berjumpa. Kala itu penduduk Mekkah memang sudah sering membicarakan perangai seorang pemuda yang jujur dan amanah bila berurusan dengan jual beli. Bisik-bisik itu akhirnya didengar oleh Khadijah, janda kaya raya yang mewarisi bisnis dan kekayaan dari mendiang suaminya.

Baca juga: Muhammad Ibn Abdullah dan Kebangkitan Arab-Islam

Awalnya Muhammad remaja hanyalah pengembala hewan ternak milik orang lain. Dari kegiatan itu ia mendapat upah. Beranjak dewasa, sang paman Abu Thalib menyuruh Muhammad untuk bekerja pada beberapa saudagar di Mekkah untuk membantu menjualkan barang-barang milik mereka dengan sistem bagi hasil. Para konglomerat dikota Mekkah senang dengan perangai Muhammad, karena yang bersangkutan punya etos kerja tinggi. Barang-barang yang dijajakan Muhammad selalu ludes terjual. Pemuda yang ramah, murah senyum dan amanah itu menjalankan jual beli mengedepankan kejujuran. Hingga Muhammad dijuluki penduduk Mekkah dengan sebutan "Al Amin" yang artinya orang terpercaya.

Hingga pada suatu hari, rasa penasaran membuat Khadijah berniat mengadakan kerjasama bisnis dengan Muhammad. Khadijah menyuruh Maisarah yang adalah orang kepercayaannya untuk menemani Muhammad membawa barang dagangan ke negeri Syam yang kala itu berada dibawah otoritas kekaisaran Romawi.

Oh iya, Maisarah itu seorang laki-laki yang sudah lama menjadi orang kepercayaan Khadijah. Budak yang awalnya bekerja serabutan, lalu diangkat Khadijah menjadi asisten yang membantunya mengurusi perniagaan.

Dalam perjalanan ke negeri Syam, Maisarah memperhatikan semua prilaku dan perangai Muhammad. Sekembalinya ke Mekkah, Maisarah menceritakan semua yang ia lihat kepada Khadijah. Cara Muhammad berinteraksi dengan pembeli, kejujurannya dalam berniaga, ramah dengan pelanggan, hingga fenomena awan yang melindungi mereka dari panas terik matahari tatkala melakukan perjalanan dagang. Maisarah juga menceritakan pertemuannya dengan seorang pendeta nasrani yang melihat ciri-ciri kenabian pada diri Muhammad.
"Orang yang sedang beristirahat dibawah pohon itu kelak akan menjadi seorang Nabi", ujar sang pendeta di Basrah kepada Maisarah.

Semua cerita Maisarah itu membuat Khadijah terkesima, hatinya berdegup kencang. Sepeninggal suaminya, Khadijah pernah berkomitmen untuk tak mau menikah lagi. Tapi entah kenapa pria bernama Muhammad selalu membuat sukmanya bergetar. Fisik sempurna, tampan, etos kerja tinggi, sopan prilakunya, jujur dan amanah bila diberi tanggung jawab.

Tapi Khadijah bukan tipikal wanita yang menggebu-gebu. Ia pendam getaran asmara itu sambil mencari tahu tentang Muhammad kepada orang lain. Cerita Maisarah tentang pemuda soleh itu lalu ia sampaikan kepada pamannya, Waraqah bin Naufal, yang pada waktu itu konsisten menganut ajaran monotheis peninggalan Nabi Ibrahim. Waraqah yang telah berusia lanjut tapi tekun membaca Taurat dan Injil itu berkata pada Khadijah sang keponakan, "akan datang seorang Nabi penutup yang sudah dinubuatkan didalam Injil. Nabi itu memiliki ciri-ciri persis seperti yang engkau ceritakan wahai Khadijah"

Tak hanya sekali Khadijah berkonsultasi dengan pamannya itu. Dan Waraqah kembali memastikan bahwa Muhammad adalah calon Nabi akhir jaman yang sudah disebut dalam Taurat dan Injil. Hati Khadijah semakin galau tak menentu. Bayang-bayang Muhammad bergelayut dalam pikirannya. Akhirnya kegalauan itu ia ceritakan pada sahabatnya, Nafisah binti Munyah.

"Wahai Nafisah, apa pendapatmu tentang Muhammad?" tanya Khadijah pelan sambil tersipu malu.

Awalnya Nafisah kaget, tapi ia sudah tahu kalau selama ini Khadijah menaruh rasa kepada Muhammad. Nafisah tersenyum, lalu berujar, "aku sudah menduga, engkau menaruh hati padanya"

"Tetapi Muhammad pemuda belia, dimuliakan di tengah kaumnya, bersih nasabnya. Sedangkan aku wanita berumur empat puluh, lima belas tahun lebih tua darinya, janda yang dua kali bersuami. Apakah mungkin ia mau menerimaku?"

Nafisah refleks menjawab, "Tidak wahai sahabatku. Meskipun umurmu sudah berkepala empat, engkau memiliki tempat terhomat. Nasabmu agung, masih tampak muda dan kuat, seperti wanita berusia tiga puluh atau bahkan dibawah itu. Dan jangan lupa, tidak sedikit saudagar dan pembesar kaum Quraisy yang sudah melamarmu, tetapi engkau tolak lamaran mereka" ucap Nafisah menasehati Khadijah.

Khadijah lega mendengar jawaban Nafisah yang menyejukkan dan menumbuhkan harapan bahwa mimpinya bisa menjadi kenyataan. Tetapi tiba-tiba Khadijah berkata, "apakah Muhammad menaruh rasa yang sama terhadap diriku wahai Nafisah?"

Nafisah tersenyum, jiwa "mak comblang" dalam dirinya muncul seketika. "Serahkan padaku wahai Khadijah" ujar Nafisah sambil tersenyum penuh arti.

Baca juga: Charles Martel, Membendung Ekspansi Islam ke Eropa Barat

Esok hari, sahabat Khadijah itu menemui Muhammad didekat Ka'bah. Setengah berbisik dan dengan sangat hati-hati, ia berkata, "Muhammad, aku Nafisah binti Munyah. Aku datang untuk memberitahumu bahwa ada seorang perempuan mulia lagi terhormat, berasal dari keluarga terpandang, baik akhlak, tutur kata dan perangainya. Ia diam-diam menaruh hati padamu"

Muhammad terdiam sesaat. Lalu bertanya, "siapa dia wahai Nafisah?"

Nafisah menjawab, "perempuan itu adalah sahabatku, Khadijah binti Khuwailid. Kau tentu sudah mengenalnya. Tak perlu dijawab sekarang, pikirkan dulu matang-matang. Lusa aku akan menemuimu lagi"

Ucapan Nafisah tentu saja mengagetkan Muhammad. Ia tak menyangka bahwa perempuan cerdas dan kaya raya itu menaruh hati padanya. Beberapa pertanyaan hadir menyapa, apakah berita yang disampaikan Nafisah itu benar atau ia hanya bersandiwara? Apakah Khadijah memang ingin menikah dengannya? Mungkinkah Khadijah menaruh hati pada pemuda yang hanya menjualkan barang dagangannya? Bukankah banyak saudagar dan pembesar kota Mekkah yang ingin melamar Khadijah, kenapa ia malah jatuh hati padaku?

Ya. Sebagaimana layaknya pria dewasa, Muhammad tentu saja mulai merasa getaran cinta. Khadijah yang selama ini ia anggap tak lebih sebagai partner bisnis, ternyata memendam rasa pada dirinya.

Kabar dari Nafisah itu lalu Muhammad sampaikan kepada Abu Thalib. Sang paman kemudian mengajak sanak keluarga yang lain untuk rembukan. Keponakannya ditaksir oleh seorang janda yang memiliki nasab terhormat lagi kaya raya. Hingga akhirnya seluruh keluarga besar Muhammad setuju untuk melamar Khadijah.

Gayung bersambut. Lamaran Muhammad diterima oleh Khadijah. Bersemu merah pipi perempuan mulia itu ketika Muhammad dan keluarga besarnya datang kerumahnya. Paman Khadijah, Waraqah bin Naufal bertindak sebagai wali. Para pembesar Quraisy menjadi saksi pernikahan Muhammad dan Khadijah yang diselenggarakan sesuai syariat Al Hanafiyyah, ajaran Nabi Ibrahim yang dianut oleh beberapa bangsa arab pada waktu itu.

Muhammad memberi mas kawin 500 dirham saat menikahi Khadijah. Bila dikonversi dengan emas saat ini, nilai itu setara dengan 200 gram emas 24 karat. Selain itu, 20 unta betina dipotong untuk menggelar pesta pernikahan. Jika 1 ekor unta betina seharga 55 juta rupiah, maka total biaya yang dikeluarkan untuk menggelar resepsi pernikahan itu adalah 1.1 milyar. Plus mas kawin 200 gram emas sebesar 200 juta rupiah (1 gram = 1 juta rupiah). Total keseluruhan mencapai 1.3 milyar rupiah.

Baca juga: Politik Stigma Belanda: Tarekat dan Stigma Gila

Darimana seorang pemuda berusia 25 tahun mendapat uang sebanyak itu? Muhammad bukan pemuda yang boros, tapi juga tak pelit. Sejak remaja ia rutin menyisihkan sebagian besar upah yang diperolehnya sebagai pengembala hewan ternak. Komisi yang diperoleh dari menjualkan barang milik saudagar ia tabung. Sehingga saat berusia 25 tahun, Muhammad sudah aman secara finansial.

Begitulah sekelumit romansa baginda Nabi Muhammad SAW dengan Khadijah RA. Pertautan dua hati yang diam-diam saling memiliki ketertarikan, dicomblangi oleh Nafisah binti Munyah, khitbah (lamaran) dan ta'arufan, lalu menggelar walimatul 'ursy.

Dua insan itu mengarungi bahtera rumah tangga dalam suka dan duka. Dari Khadijah RA, Nabi Muhammad SAW mendapat 6 orang anak, yaitu Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Namun Qasim dan Abdullah meninggal saat masih balita.

Hingga ajalnya tiba, Khadijah RA selalu setia menemani suami tercinta. Saat Nabi Muhammad SAW mendapat wahyu pertama di gua Hira, Khadijah RA adalah orang yang pertama kali menyatakan masuk Islam. Rasulullah sendiri tak pernah berpoligami saat menjadi suami Khadijah RA. Hingga perempuan mulia itu menghembuskan nafas terakhir diusia 65 tahun (619 M). Rasulullah sendiri yang memandikan, mengkafani dan memasukkan jenazah istrinya keliang kubur.

Banyak kisah cinta yang penuh dengan kekonyolan diluar sana. Romeo and Juliet jadi roman picisan yang begitu terkenal hingga berkali-kali difilmkan. Sang penulis, William Shakespeare, menganggap cinta harus abadi sehidup semati. Karena tak direstui oleh kedua orang tua, Romeo dan Juliet nekat menenggak racun agar roh mereka bisa tetap bersama. Sungguh sebuah kebodohan yang tak perlu ditiru oleh ummat muslim. Karena Islam sudah punya love story yang bisa dijadikan teladan, yaitu kisah cinta Nabi Muhammad SAW dengan Khadijah RA.

Ruby Kay

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Sabtu, 14 Sep 2024 18:18 WIB
Jumat, 13 Sep 2024 08:24 WIB
Senin, 16 Sep 2024 11:12 WIB
Berita Terbaru