Optika.id - Statement Presiden Joko Widodo yang melarang para menterinya bicara isu penundaan pemilu 2024. Direspons oleh Anggota DPR RI Komisi II Fraksi PKS Mardani Ali Sera. Dia menyebut statement Jokowi tersebut menggelitik.
Menurutnya yang ditunggu adalah statement Jokowi yang menegaskan bahwa pemilu tetap digelar tahun 2024. Ketua DPP PKS ini mengingatkan Jokowi agar tidak membuang energi terkait teguran keras ke para pembantunya tersebut.
Baca juga: Undat – Undat..
"Agak lucu Pak Jokowi meminta menterinya tidak bicara tentang penundaan. Yang ditunggu, pernyataan jelas Pak Jokowi bahwa pemilu dilaksanakan 14 April 2024. Ayo Pak Jokowi bicara segera, rakyat menunggu. Jangan buang-buang energi," kata Mardani seperti dikutip Optika.id dari akun Instagram pribadinya @MardaniAliSera, Kamis (7/4/2022).
Dampak Isu Jokowi 3 Periode
Sementara itu, ahli kebijakan publik Achmad Nur Hidayat, menyebut ada 3 dampak berbahaya. Bila isu perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo dan Jokowi 3 periode terus digulirkan.
"Bila propaganda 3 periode tersebut terus dilanjutkan maka akan berbahaya untuk ekonomi, sosial, politik Indonesia. Indonesia akan memasuki krisis baru yaitu krisis politik dan kepemimpinan," kata CEO Narasi Institute ini seperti dilansir Tempo, Rabu (6/4/2022).
Dia mengatakan, dampak pertama, pemerintah akan kehilangan fokus kerja mengatasi pemulihan ekonomi dan kesehatan akibat Covid-19. Ini akibat beberapa menteri atau elite di pemerintahan malah sibuk menciptakan propaganda perpanjangan masa jabatan Jokowi.
Menurutnya, ini tergambar dari acara Silaturahmi Nasional Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) yang digelar di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (29/3/2022). Saat itu, acara yang terus menyuarakan Jokowi 3 periode, malah dihadiri Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.
"Salah satu contoh bagaimana penyimpangan Kepala Pemerintahan dan menterinya mengubah tugas pemerintahan menjadi alat propoganda antikonstitusi meminta perpanjangan 3 periode," kata Hidayat.
Dampak hilangnya fokus pemulihan ekonomi dan penanganan Covid-19, sambungnya, terbukti telah menyebabkan naiknya harga-harga barang kebutuhan pokok, BBM yang langka dan naik, minyak goreng mahal, harga daging, hingga gula pasir juga naik.
"Semua itu merupakan tugas pokok pemerintahan yang kini dilalaikan oleh pemerintah. Kenaikan harga disikapi dengan tidak kompeten, pemerintah pun belum serius menciptakan pekerjaan kepada rakyatnya," tuturnya.
Dampak kedua, kata Hidayat, Pemerintah akan menciptakan sosial unrest terbaru dari kalangan sipil pro demokrasi yang menentang cita-cita otoritarian tersebut. Protes sosial mulai dari gerakan mahasiswa hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) menurutnya akan bermunculan di berbagai daerah melawan propaganda itu.
Dampak ketiga, menurutnya, Pemerintah hanya akan mengundang kontroversi politik di kalangan pimpinan partai politik koalisinya dan para menteri dari kalangan profesional dengan propaganda isu Jokowi 3 Periode. Ini dinilainya akan membuat pemerintahan koalisi tidak solid dan rawan pecah kongsi.
"Ketiganya berujung kepada instabilitas yang akan menyusahkan rakyat sendiri. Bila Presiden seorang negarawan harusnya presiden berhenti melakukan gerakan bawah tanah tiga periode dan fokus menuntaskan pemerintahan sampai 2024," tukas Hidayat.
Sementara, terkait ada pihak-pihak yang masih ingin mengegolkan isu perpanjangan masa jabatan presiden atau Jokowi 3 periode ini diamini oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Dia mengakui adanya pihak yang berupaya mengegolkan wacana tersebut.
"Bahwa masih ada yang mencoba, namanya juga mencoba. Tetapi kan kita tahu, untuk mengubah amandemen tidak akan mudah dan membuka kotak pandora kemana-mana. Saya yakin ini menjadi pelajaran, karena saya termasuk menjadi bagian di tahun 1999 ketika amandemen itu dilakukan," ujar Pramono saat rapat kerja dengan Komisi II DPR RI, Senin (4/4/2022).
Jangan Sampai Amendemen Jadi Jalan Masuk 3 Periode
Selain itu, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie juga mengingatkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian terkait statement-nya tentang amendemen UUD 1945. Dia menegaskan jangan sampai amendemen Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan jalan masuk untuk merealisasikan wacana tiga periode Presiden Joko Widodo.
Menjadikan amendemen sebagai jalan masuk perpanjangan jabatan Presiden Jokowi disebut Jimly sebagai penyalahgunaan. Hal itu tak bisa dibenarkan, pasalnya Presiden Jokowi telah disumpah menjabat 2 periode berdasarkan UUD 1945 yang berlaku saat ini.
Baca juga: Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk
"Kita didik anak SD seluruhnya bahwa memang UUD tak tabu (direvisi). Itu statement (Tito) tak ada masalah kalau dikaitkan dengan diskusi ilmiah di kampus. Tapi tidak boleh (perpanjang masa Presiden) karena presiden sudah bersumpah menurut UUD 45 yang berlaku sekarang hanya 2 periode," kata Jimly dalam keterangannya, Rabu (6/4/2022).
Dia menjelaskan, pegangan utama Presiden Jokowi adalah UUD 1945 yang masih berlaku saat ini. Jika Jokowi melanggar, lanjutnya, sama saja melanggar sumpah jabatannya ketika dilantik sebagai Presiden.
Melanggar sumpah jabatan presiden disebut Jimly sebagai perbuatan tercela yang punya risiko politik serius.
Konsekuensinya Impeachment!
"Kalau orang melanggar sumpah jabatan itu konsekuensinya memenuhi syarat impeachment. Ini enggak boleh. UUD 45 sekarang dijadikan pegangan. Diatur di sini cuma 2 kali. Dan kalimatnya 'akan memegang teguh UUD 45'. Maka ini perbuatan sangat tercela bila ingin memperpanjang jabatan jadi 3 periode," tegasnya.
Tak hanya itu, Jimly juga menyinggung amanat Reformasi 1998 yang utamanya ingin membatasi masa jabatan presiden. Baginya, presiden sudah sepatutnya menjalankan amanat reformasi yang sudah diupayakan dengan darah dan keringat masyarakat Indonesia saat itu.
"Karena waktu itu 32 tahun kekuasaan enggak ada batas dan makanya dibatasi. Maka ini adalah amanat Reformasi. Kita tak boleh mengkhianati amanat Reformasi. Itu tak boleh," tandasnya.
Jimly pun mempertanyakan kapasitas Tito berbicara soal revisi UUD 1945. Padahal, ia menjabat sebagai Mendagri. Bukan level legislatif yang berwenang melakukan amendemen UUD 1945.
"Perubahan UUD bukan urusan Mendagri. Enggak ada kaitannya dengan Mendagri. Makanya ditanya ke dia konteksnya seperti apa. Dia kan menteri, institusi pendapat menteri pendapat institusi," tukasnya.
Dia juga meyakini perubahan UUD 1945 untuk memperpanjang masa jabatan presiden tak mungkin terjadi. Sebab, mayoritas partai politik yang berada di DPR saat ini sudah menyatakan menolak wacana tersebut.
Baca juga: Dosa-dosa Jokowi
Dia mengatakan, partai politik yang menggulirkan wacana perpanjangan masa jabatan presiden hanya parpol yang belum memiliki calon presiden untuk Pemilu 2024.
"Maka dua partai pemerintah paling besar pasti nggak mau. Partai oposisi Demokrat dan PKS juga pasti tak mau. Kalau digabung mereka berempat itu sudah 50:50. Ditambah bila Nasdem menolak sudah mayoritas. Jadi gak bisa mengubah UU di DPR ga bisa lagi," jelasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Tito menegaskan bahwa amendemen UUD 1945 bukan hal tabu atau menyalahi aturan. Hal yang tabu, menurut Tito adalah mengubah pembukaan UUD 1945 dan kitab suci.
"UUD kita pernah diamandemen enggak? Bukan yang tabu kan? Yang tabu (diamandemen) pembukaannya Itu tabu. Kitab suci tabu," ujar Tito pada wartawan di Komplek Parlemen Senayan, Selasa (5/4/2022).
Statement itu disampaikan Tito merespons wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi. Meski demikian, Tito juga menyatakan tetap memegang kesepakatan bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 diselenggarakan pada 14 Februari dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 digelar 27 November.
"Tapi kalau saya selama ini, masalah pemilu, ya patokannya kita yang rapat terakhir di sini, di Komisi II [DPR]. Di situ kan ditentukan DPR oleh Komisi II, pemerintah oleh Mendagri, kemudian KPU, Bawaslu, DKPP dan terakhir kita menentukan Pemilu 14 Februari 2024, Pilkada 27 November 2024," tutupnya.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi