[caption id="attachment_17616" align="alignnone" width="150"] Adam A. Bahar[/caption]
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat istimewa bagi umat islam di seluruh dunia. Istimewa bukan saja karena bulan Ramadhan dikenal sebagai bulan penghapus/pengampunan dosa dan pahala ibadah yang dilakukan dalam bulan Ramadhan menjadi berkali-kali lipat dari bulan-bulan lain, tetapi juga Ramadhan menjadi momen penting bagi umat islam di seluruh dunia untuk mendekatkan diri dengan sang pencipta. Mereka yang pada bulan-bulan sebelumnya jarang beribadah seperti shalat di masjid, bersedekah, atau sekedar ibadah kecil lainnya, di bulan Ramadhan mereka berbondong-bondong meningkatkan ibadahnya. Masjid-masjid di seluruh penjuru dunia penuh dengan orang-orang yang mau beribadah. Bagi mereka yang berhasil mendapatkan kenyamanan beribadah pada bulan Ramadhan maka besar kemungkinan ibadah mereka pasca bulan ramadhan akan jauh lebih baik dan meningkat dari bulan-bulan sebelumnya.
Baca juga: Ramadhan Jatuh pada 23 Maret 2023, Begini Tata Cara Salat Tarawih!
Di Indonesia, fenomena peningkatan keimananan di bulan Ramadhan menjadi pamandangan biasa setiap tahun, tidak saja di desa-desa tetapi di pusat-pusat kota di hampir seluruh wilayah Indonesia. Di awal Ramadhan masjid-masjid yang pada bulan-bulan sebelumnya hanya diisi oleh segelintir orang, terutama imam, muazim dan beberapa makmum tetap, di awal Ramadhan menjadi sangat penuh, bahkan tidak sedikit yang harus shalat di teras masjid. Mengapa fenomena ini terjadi? Mengapa di bulan Ramadhan umat islam dunia seakan berubah menjadi sangat taat pada agamanya?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu mempunyai sedikit pemahaman tentang agama itu sendiri. Di sini kita akan meminjam pemikiran Freud, seorang dokter yang dikenal luas sebagai seorang pemikir psikologi terkemuka. Meskipun saya yakin tidak semua dari kita sepakat akan pemikiran dan pandanganya. Menurut Freud, agama itu sendiri jauh dari fenomena supranatural yang mencerminkan penciptaan dunia oleh makhluk ilahi. Sebaliknya, agama dikatakannya berakar dari tindakan dan ketakutan manusia. Takut dalam arti bahwa manusia selalu dibayang-bayangi oleh berbagai ketidakpastian yang terdapat di dunia yang tidak dapat dijelaskan oleh manusia, seperti ketidakpastian akan kematian dan bencana alam. Menurutnya, hal ini tidak lain karena manusia adalah makhluk lemah dan tak berdaya yang dapat dengan mudah dihancurkan oleh kekuatan alam.
Untuk mengatasi ketakukan dan ketidakpastian itu, umat manusia mencari sandaran kekuatan pelindung dari alam (nature) itu sendiri. Umat manusia kemudian memberikan alam (nature) suatu wajah yang menyerupai gambaran/eksistensi makhluk. Dalam transformasi ini, alam berhenti menjadi sesuatu yuang dingin dan tidak berperasaan dan menjadi sesuatu yang dengannya manusia dapat berkomunikasi. Dalam perkembangannya, transformasi dari pemikiran ini yang menurut Freud melahirkan agama-agama di dunia. Agama dengan demikian berisi berbagai dogma yang mampu mengatasi ketakutan manusia akan ketidakpastian alam dan takdir (fate). Salah satunya misalnya keyakinan bahwa dunia ini bukan satu-satunya dunia yang dihidupi manusia. Dunia ini hanya tempat persinggahan. Ada dunia spiritual di luar dunia ini. Dengan demikian, kematian bukanlah akhir dari kehidupan tetapi pintu gerbang menuju kehidupan yang lebih baik.
Dengan cara ini, agama memungkinkan manusia secara psikologis melindungi diri mereka dari bahaya ketidakpastian alam dan takdir (fate). Agama muncul dari kebutuhan psikologis akan rasa aman. Agama dengan demikian merupakan suatu bentuk pemenuhan keinginan itu. Dengan kata lain, agama merupakan perlengkapan psikologis tempat manusia menggantungkan harapan, kebajikan dan cita-cita kepada suatu kekuatan supranatural yang disebut Tuhan. Dengan begitu, menurutnya bahwa agama mempunyai fungsi yang sangat sentral dalam keberlangsungan kehidupan umat manusia.
Namun, dalam era kemajuan ilmu pengetahuan, Freud berpendapat bahwa agama adalah suatu bentuk ilusi yang buruk. Ilusi adalah sesuatu yang mencerminkan keinginan manusia. Ilusi tidak didorong oleh bukti tetapi oleh keinginan. Perhatikan bahwa ilusi tidak sama dengan delusi. Ilusi adalah kepercayaan yang salah. Sementara delusi selalu salah, ilusi bisa menjadi benar. Agama dapat sekedar menjadi ketertekanan psikologis, menjadi sekumpulan ide dan keyakinan-keyakinan yang bila telah diresapi penampilan luarnya akan bisa memenuhi ilusi-ilusi yang dilahirkan oleh alam bawah sadar. Terlepas dari kritikannya tersebut, aspek psikologis dari agama menjadi sumbangan penting pemikiran Freud tentang pahaman kita atas agama. Agama muncul dari kebutuhan psikologis manusia akan rasa aman. Agama merupakan perlengkapan psikologis itu sendiri.
Baca juga: Sambut Ramadan, Ini Tips Meningkatkan Jualan Online Untung Cuan
Didasarkan pada pemikiran Freud tersebut, kita akan dengan mudah menjawab mengapa di bulan Ramadhan orang berlomba-lomba beribadah. Hampir seluruh umat islam mengetahui bahwa ibadah di bulan Ramadhan menjanjikan pahala yang jauh lebih besar dari bulan-bulan lain. Bukan saja itu, di bulan Ramadhan juga dijanjikan penghapusan/pengampunan dosa. Dengan janji pahala yang luar biasa besar itu, umat islam di seluruh penjuru dunia berlomba-lomba mengejar pahala yang dijanjikan itu. Sepanjang hari, jika mungkin, akan dihabiskan untuk beribadah. Bagi Freud apa yang sedang mereka kejar tidak lain ialah kebutuhan psikologis akan rasa aman, aman dari ketidakpastian alam dan takdir (fate).
Dalam masyarakat urban, dorongan psikologis ini bisa menjadi sangat kuat. Sepanjang tahun, kebanyakan dari mereka menghabiskan waktu yang mereka miliki untuk mengumpulkan dan menikmati materi duniawi. Dalam perjalanan itu, terdapat pengalaman-pengalaman spritual yang selalu menghantui pikiran mereka.
Pengalaman spritual terutama berupa rasa takut akan takdir dan ketidakpastian alam. Ramadhan merupakan kesempatan bagi mereka memenuhi dorongan psikologis itu. Hal ini dimungkinkan karena secara sosiologis bulan ramadhan membuka kemungkinan untuk manusia menjalankan ibadah. Tidak saja karena ibadah dalam bulan ramadhan telah menjadi tradisi umat islam di seluruh penjuru dunia tetapi karena adanya kontrol sosial yang terdapat dalam lingkungan umat islam itu sendiri. Kontrol sosial dapat berupa sanksi, pengasingan, dan rasa tidak nyaman ketika melihat banyak orang lain beribadah sementara mereka tidak melakukannya.
Baca juga: Serba Serbi Menyambut Bulan Ramadhan, Yuk Dipersiapkan
Meskipun kontrol sosial dalam masyarakat perkotaan cenderung semakin melemah karena nilai individualisme semakin kuat, namun gabungan kontrol sosial yang lemah itu dan dorongan untuk memenuhi kebutuhan psikologis masyarakat urban mampu melahirkan suatu fenomena keimananan di bulan Ramadhan.Penulis :
Adam A. Bahar
Editor : Pahlevi