[caption id="attachment_9675" align="alignnone" width="150"] Oleh: Cak A. Cholis Hamzah[/caption]
Optika.id - Saya terkejut membaca berita yang dimuat berbagai media masa bahwa pihak APPI (Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia) merasa terkejut atas pengakuan Presiden Joko Widodo yang tidak mengetahui bahwa ada proses perubahan UU Sisdiknas. Keterkejutan itu disampaikan APPI setelah delegasi APPI bertemu presiden di Istana Merdeka Senin, 30 Mei 2022 untuk memberikan masukan dan usulan kepada pemerintah terhadap berbagai kebijakan pendidikan di Indonesia dan carut marutnya sistim penddikan di Indonesia. Sebelum ini saya juga terkejut membaca berita tentang pengakuan Menko Luhut Binsar Panjaitan yang terkejut baru mengetahui kalau ada perusahaan besar nasional kelapa sawit yang kantor pusat nya di Singapura.
Baca juga: Dagelan Kabinet Prabowo: Bau Jokowi dan Kaesang
Kita tidak hanya mempersoalkan pejabat tinggi negara yang tidak mengetahui apa yang dikerjakan kementrian atau segala sesuatu yang terjadi di negara, namun juga mempersoalkan kinerja Jokowi Administration atau pemerintahan presiden Jokowi tentang sistim pelaporan negara di pemerintahan. Kalau tidak salah ingat dulu presiden juga bahkan pernah mengakui tidak tahu dokumen apa yang beliau tanda tangani.
Kalau memakai contoh sistim pelaporan negara di pemerintahan Amerika Serikat; masing-masing kementrian atau lembaga negara melakukan monitoring tentang apapun (any issue) yang terjadi baik di tingkat negara bagian, nasional dan internasional on daily basis atau pelaporan yang dilakukan setiap hari. Hasil apa yang dimonitor itu dianalisa kemudian dilaporkan ke atasannya yang lebih tinggi dan laporan itu dikirim ke Washington dalam hitungan detik ke berbagai kementrian atau lembaga yang nantinya dipakai untuk meeting dengan presiden. Dengan cara ini presiden akan mengetahui apapun yang terjadi didalam maupun di luar negeri on daily basis.
Nampaknya cara seperti itu juga dilakukan negara-negara lain dan itu sudah merupakan SOP atau Standard Operating Procedure. Karena itu sebagai contoh ketika Menteri Dalam Negeri Singapura memberi penjelasan kenapa negeri Singapura tidak mau menerim Ustadz Abdul Somad masuk negaranya; sang menteri dengan rinci menjelaskan alasan-alasannya misalnya karena ustadz Somad dianggap ekstem karena pernah mengeluarkan pendapat yang ekstrem di suatu pengajian, di medos, kapan dsb. Kementrian Dalam Negeri Singapura itu tentu berdasarkan laporan pihak Kedubes mereka, laporan dan analisa komunitas intelijen dan dari sumber-sumber lainnya. Tentu kita tidak mempersoalkan valid tidaknya informasi tentang Ustadz Abdul Somad yang diterima pihak Singapura; namun SOP pelaporan kenegaraan itu dilaksanakan dengan baik.
Saya tidak yakin kalau pemerintah Indonesia tidak melakukan hal yang sama karena memiliki perangkat yang sempurna dan canggih misalkan ada lembaga intelijen BIN, ada Kementrian, Lembaga Negara, TNI dan Polri yang menurut keyakinan saya memberi laporan atau briefing kepada presiden tanpa menunggu ada rapat Kabinet. Dalam lawatannya ke Amerika Serikat baru-baru ini saya juga yakin presiden sudah di briefing bahwa yang menjemput beliau di bandara militer AS itu bukan pejabat tinggi seperti Wakil Presiden atau Menteri Luar Negeri namun pejabat Deplu dibidang protokoler.
Baca juga: Pertemuan Tertutup Jokowi dan Prabowo: Momen Penting di Solo
Namun sebaliknya apabila pelaporan seperti itu tidak dilakukan maka akan menimbulkan bahaya karena presiden akan salah dalam mengeluarkan kebijakan atau keputusan, dan hal ini membahayakan negara.
Nampaknya sistim pelaporan kepada kepala negara perlu dievaluasi; kalau tidak maka publik akan terkejut ketika mendengar pernyataan presiden Jangan tanya saya atau Saya tidak tahu soal itu atau Tanyakan pada Menteri dsb.
Naif kalau saya mengatakan bahwa sebenarnya presiden itu tahu tapi pura-pura tidak tahu..tapi di dunia politik semua kemungkinan bisa terjadi.
Baca juga: Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk
Wallahu alam
Editor : Pahlevi