Trend Formula 1 dan Formula E

Reporter : optikaid
Formula E

[caption id="attachment_14301" align="alignnone" width="150"] Ruby Kay[/caption]

Optik.id - Sengaja judul tidak menggunakan kata 'versus', karena kedua balapan mobil ini sebenarnya tidak dapat dibandingkan. Spesifikasi mesinnya berbeda, teknis balapannya berbeda, regulasinya juga tak sama. Formula 1 masih menggunakan bahan bakar fosil sedangkan mobil balap Formula E digerakkan oleh listrik.

Baca juga: KPK Terus Selidiki Bukti Dugaan Korupsi Formula E

Rata-rata orang sudah familiar ketika mendengar nama Formula 1. Wajar, karena balapan ini sudah dimulai sejak tahun 1950. Kita hafal dengan nama-nama pembalap legendaris F1, antara lain Michael Schumacher, Fernando Alonso, Kimi Raikkonen, Lewis Hamilton, Niki Lauda, James Hunt. Last but not least, tentu saja Ayrton Senna yang menemui ajal ketika melakukan balapan F1 di sirkuit Imola, Italia, tahun 1994.

Bagaimana dengan Formula E? Publik belum terlalu mengenal nama-nama pembalapnya. Nama tim yang ikut serta juga hanya terdengar samar-samar. Bagaimana dengan Formula 1? Gue sendiri bisa dengan mudah melafalkan nama tim yang ikut serta. Ditahun 2000-an ada Scuderia Ferrari, Red Bull Racing, Mc Laren F1 Team, Honda Racing F1 Team, Williams Racing dan lain-lain. Musim tahun 2002, Toyota sempat mengikuti balapan F1. Namun karena biayanya sangat besar, ditahun 2009 mereka resmi mengundurkan diri.

See, pabrikan mobil sekelas Toyota pun mesti mempertimbangkan budget untuk berpartisipasi dalam ajang balap sekelas Formula 1. Ini pertanda kalau F1 memang olahraga otomotif yang very expensive.

Dan semua kejayaan ada masanya. Sejak Michael Schumacher pensiun, perlahan F1 mulai kehilangan greget. Bernie Ecclestone sebagai pemilik balapan F1 mesti menelan kerugian trilyunan rupiah dikarenakan jumlah penonton F1 tiap tahunnya semakin merosot. Otomatis hal itu berimbas pada menurunnya harga jual hak siaran televisi.

Beberapa Negara yang rutin menggelar balapan juga menyatakan mundur. Salah satunya sirkuit Sepang, Malaysia. Menteri olahraga Malaysia secara blak-blakan mengungkap alasan kenapa negeri jiran tak lagi menggelar F1. Apalagi kalau bukan masalah pendanaan. Sekali mengadakan balapan F1, pemerintah Malaysia mesti mengucurkan commitment fee RM 300 juta. Namun setelah dihitung, jangankan untung, balik modal pun gak bisa. Balapan F1 di Sepang dianggap tak terlalu menambah jumlah wisatawan. Tingkat okupansi hotel saat digelar balapan F1 juga biasa-biasa saja.

Singapura yang menggelar balapan jalanan di Marina Bay juga mesti berpikir ulang karena pemasukan dari penjualan tiket tiap tahunnya mengalami penurunan. Saat pertama kali digelar pada tahun 2008, penonton yang menyaksikan secara langsung mencapai 100 ribu orang. Ditahun 2016, tinggal 73 ribu. Lagi-lagi mereka membuat kesimpulan sama seperti Malaysia, F1 tak signifikan mendongkrak arus wisatawan.

Negara seperti Jerman, Kanada dan Brazil yang biasanya rutin menggelar balapan F1 juga diberitakan masih meninjau ulang kontrak dengan Bernie Ecclestone.

Hingga saat ini, Formula 1 masih menempati peringkat pertama sebagai olahraga otomotif yang paling banyak ditonton oleh warga dunia. Musim 2020, 17 seri F1 disaksikan 1,5 miliar penonton dari televisi. Tahun 2019 malah lebih banyak lagi, yaitu 1,9 miliar penonton. Berarti bisa disimpulkan kalau penonton F1 mengalami penurunan yang cukup signifikan.

[caption id="attachment_27862" align="alignnone" width="800"] Kecenderungan Penonton Formula E[/caption]

Baca juga: BUMN Tak Sponsori Formula E, Mufti Anam Kritisi Erick Thohir

Bagaimana dengan Formula E? Sejak pertama kali diadakan pada tahun 2014, jumlah penonton E-Prix terus mengalami kenaikan. Awalnya hanya disaksikan 70 juta penonton dari layar televisi. Di tahun 2019, melonjak menjadi 400 juta penonton. Ini menjadi bukti bahwa balapan mobil listrik semakin diminati penduduk dunia.

Pergeseran jumlah penonton Formula 1 dan Formula E ini gue analogikan dengan perubahan operating system smartphone. Nokia dulu begitu percaya diri dengan Symbian. Saat Android mulai muncul, Nokia ogah-ogahan untuk bermigrasi. Dan pada akhirnya mereka terlambat melakukan perubahan, tenggelam dengan egonya sendiri.

Balapan Formula 1 yang berbahan bakar fosil bisa jadi dalam beberapa tahun kedepan akan mengalami nasib yang sama dengan Nokia. Trend dunia otomotif mulai bergeser ke mobil listrik. Berbagai perusahaan mobil baik Tesla, Honda, Toyota, Hyundai, BMW hingga Wuling berlomba-lomba menciptakan mobil listrik.

Di Jakarta sendiri trend mobil listrik ini sudah mulai terasa. Kaum borjuis ibukota kini tak lagi sibuk mengkoleksi mobil mewah seperti Ferrari atau Lamborghini. Tesla mulai menjadi primadona dikalangan atas. Memiliki mobil listrik menjadi lambang kemewahan dan gaya hidup yang ramah lingkungan.

Mungkin 20 tahun kedepan, kita tak lagi menggunakan kendaraan yang digerakkan dengan bahan bakar fosil. Kampanye global yang mengajak setiap Negara untuk mengembangkan mesin yang ramah lingkungan dengan sendirinya akan mengubah kebiasaan masyarakat dunia.

Baca juga: Anies: Kemeriahan Formula E Menyatukan Berbagai Pihak, Bukan yang Menjauhkan

Mobil listrik adalah masa depan. Mobil dengan bahan bakar fosil akan menjadi masa lalu peradaban manusia. Cadangan minyak diberbagai Negara suatu saat nanti akan habis. Dan manusia mesti mencari metode baru untuk berpindah dari satu titik ke titik lainnya.

Yang tak paham akan pergeseran trend global ini bisa jadi mentertawakan ajang Formula E. Mobilnya jeleklah, pembalapnya tak terkenal, gak seru, balapannya membosankan. Ditambah lagi dengan sentimen politik terhadap gubernur DKI, maka kebencian itu makin menjadi-jadi.

Tak mengapa. Dimata gue mereka hanya makhluk berpikiran kerdil yang malas membaca, gak aware dengan trend yang sedang terjadi didunia. Yang diketahui hanya sebatas radikal-radikul, intoleransi. Dan Al Qur'an tegas menyebut mereka sebagai golongan yang merugi.

Ruby Kay

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru