Optika.id - Dalam bagian demokrasi, pemilihan umum presiden (Pilpes) selalu diiringi dengan bakal calon presiden (Capres) beserta dengan relawan politiknya. Dalam Pilpres di Indonesia, hadirnya relawan politik ini bukanlah hal yang baru. Fenomena ini marak terjadi pasca Pilpres 2014.
Bak jamur yang muncul di musim hujan, relawan bakal capres ini akan muncul menjelang pemilu. Dalam kontestasi Pilpres 2014 tercatat ada 1.248 organisasi relawan baik atas inisiatif sendiri maupun pihak lain.
Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Melihat fenomena tersebut, Pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komaruddin menilai jika kehadiran relawan bakal capres merupakan bagian dari strategi perang psikologis para figur. Strategi ini memunculkan peran relaawn yang ditujukan untuk menciptkana popularitas semu salah satu figur.
"Munculnya (relawan) itu bagian dari strategi perang psikologis di antara para capres agar setiap capres seolah-olah mendapat banyak dukungan dari relawan, yang seolah-olah juga banyak massa dan pendukungnya," kata Ujang saat dihubungi Optika.id, Selasa (21/6/2022).
Oleh sebab itu, menurut Ujang, sebagian besar relawan bakal capres tidak murni atas inisiatif yang muncul dari masyarakat, melainkan digerakkan dan didesain guna meningkatkan popularitas figur yang dijagokan dalam pilpres.
"Relawan itu digunakan untuk sosialisasi dan kampanye untuk membangun pencitraan. (Fungsinya) Sedikit-banyak bisa mengerek elektabilitas. Misalkan relawan membagi-bagikan sembako, itu kan akan berdampak elektoral bagi capres yang didukungnya," papar Ujang.
Sementara itu, penilaian berbeda diungkapkan oleh Wasisto Raharjo Jati selaku peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Wasisto menyebut jika munculnya relawan tersebut merupakan bentuk dari resistensi terhadap pemilihan kandidat yang dilakukan secara elitis melalui parpol.
"Munculnya relawan ini adalah upaya untuk nominasi kandidat tidak selalu elitis, tetapi bisa juga dilakukan secara akar rumput. Mendukung figur yang dianggap potensial adalah upaya menghadirkan kandidat yang tak selalu datang dari parpol," kata Wasisto ketika dihubungi, Selasa (21/6/2022).
Menurut Wasisto, hadirnya relawan tersebut merupakan wujud dari usaha publik untuk bisa mengekspresikan aspirasi dari figur pemimpin. Fenomena relawan politik ini berpotensi dalam membuka terjadinya kontrak politik antara relawan dengan partai politik. Hal ini diwujudkan ketika partai-partai politik menyodorkan nama bakal capres yang diusung dan dijagokan oleh sekelompok relawan.
Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
"Nah dari situ kita bisa melihat jika ada semacam barter kepentingan. Relawan menyediakan suara bagi parpol dengan syarat parpol itu memberikan tiket pada calon yang relawan dukung. Elektabilitas parpol akan mengikuti popularitas dari calon yang didukung relawan," kata Wasisto.
Bagi Wasisto, adalah hal yang wajar jika kelompok relawan mulai bermunculan kendati Pilpres masih dua tahun lagi. Menurutnya, relawan bisa digunakan sebagai tim sukses yang memetakan dan memikat hati pemilih. Kehadiran relawan ini juga bagian dari segmentasi dan pemetaan pemilih.
Wasisto menjelaskan jika kerja relawan ini jauh lebih efektif daripada kader parpol dalam menjangkau massa.
Relawan bisa menembus massa akar rumput dengan mudah. Relawan lebih leluasa merebut hati pemilih dari pintu ke pintu. ujar Wasisto.
Baca juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
Kehadiran para relawan ini berhasil meningkatkan partisipasi warga serta melahirkan tradisi kesukarelawanan dalam politik. Tentunya, kerja relawan ini bisa mentransformasi nilai-nilai politis yang bernuansa patrimonial, oligarkis jadi voluntarisme dan partisipatoris .
"Ini yang menyebabkan relawan itu semakin dibutuhkan. Karena militansi mereka melebihi kader parpol dalam mendukung kandidat," kata Wasisto.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi