Optika.id - Menjelang Pemilu 2024, beberapa sosok mulai muncul dalam bingkai kaca yang digadang-gadang menjadi calon presiden atau calon wakil presiden mendatang. Tak terkecuali Anies Baswedan. Gubernur DKI Jakarta tersebut tak luput dalam upaya pembingkaian (framing) politik identitas di Pemilu 2024 nanti.
Hal tersebut bisa dilihat dari peristiwa baru-baru ini yakni sekelompok orang mengatasnamakan Majelis Sang Presiden dan mengklaim terdiri dari eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia, (HTI), Front Pembela Islam (FPI), hingga mantan napi terorisme yang mendeklarasikan Anies sebagai Capres 2024.
Baca juga: Intip Hangatnya Pertemuan Anies, Pramono, dan Rano di Lebak Bulus
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Politik yang tergabung dalam Forum Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI), Reza Haryadi menyebut jika pola-pola stigmatisasi, mobilisasi politik identitas hingga framing ini terjadi biasanya dalam modus komodifikasi atau perubahan fungsi politik identitas. Tujuannya, agar target terdistorsi opini publik serta penyematan label negative pada figure sasaran.
"Ini tampak seperti komodifikasi politik identitas, siapa saja bisa disasar, dan Anies Baswedan sebagai figur capres bisa jadi target potensial. Mungkin motifnya untuk mencederai citra dia di mata publik," ujar dia, Senin (27/6/2022).
Mantan aktivis GMNI tersebut menduga jika aksi dukungan terhadap capres yang makin marak di negeri ini tak lepas jua dari mobilisasi politik akan tetapi tidak benar-benar tulus. Tak terkecuali dukungan kelompok yang mengaku sebagai Ijtima Ulama yang mendukung Sandiaga Uno dan Majelis Sang Presiden yang mengusung Anies sebagai Capres 2024.
Menurutnya, aksi politik yang digelar secara sistematis, terpola dan sulit dimungkiri tersebut berimbas pada rancangan politik tertentu yang terjadi di baliknya. Aksi tersebut, imbuhnya, juga dapat memberi impresi politik yang dianggap bisa diinterpretasikan secara keliru kepada publik. Seolah-olah, Anies dipandang dekat dengan kelompok yang intoleran serta radikal.
"Ini bisa dimainkan oleh lawan politik untuk menyudutkan karena dicap Islam garis keras dan menjadi tantangan bagi Anies jika maju pilpres 2024," ujar Reza.
Reza menyebut, berbagai stigma yang dilancarkan kepada Anies tersebut secara politik tidak menguntungkan salah satu calon presiden yang belakangan makin populer setelah mendapat dukungan Partai Nasdem serta menjadi figure dengan elektabilitas tinggi yang digadang-gadang menjadi kandidat Capres dalam Pilpres 2024.
Adanya framing politik tersebut tentu akan membatasi ruang gerak Anies untuk meraih dukungan kelompok moderat dan nasionalis.
Pembingkaian politik identitas tersebut nantinya bakal mereduksi demokrasi serta berpotensi dapat memecah belah anak bangsa menjelang Pilpres 2024.
Baca juga: Tom Lembong Terjerat Kasus Impor Gula, Anies Buka Suara
Berdasarkan pengalaman sebelumnya yang menunjukkan polarisasi politik berbasis politik identitas tersebut kondusif bagi konflik sosial dan memerlukan waktu yang cukup panjang untuk pemulihan sosial.
Akan tetapi, Reza meyakini bahwa publik makin hari makin kritis terhadap sematan politik identitas serta melawan aktor-aktor yang menggerakkan politik identitas hanya untuk kepentingan kekuasaan semata.
"Anies juga perlu memelopori politik bermartabat dan konsisten saja menjalankan program prorakyat memecahkan masalah-masalah faktual di Jakarta yang sudah dilakukan selama menjadi Gubernur DKI," ucap Reza.
Untuk melawan stigmatisasi intoleran dan radikal itu sendiri, menurutnya, Anies punya modal besar, di mana dia lahir dan berpengalaman sebagai aktivis dari kampus yang dikenal sebagai corong moderasi di Indonesia.
Pengalaman sebagai aktivis dan latar belakang sebagai akademisi dari kampus yang mengembangkan pemikiran inklusif dan moderat dari Cak Nur (Nurcholish Madjid).
Baca juga: Anies dan Ganjar akan Hadir dalam Pelantikan Prabowo-Gibran Minggu Besok
"Itu semestinya dapat menegaskan pandangan dan komitmen Anies terhadap pluralisme dan kebangsaan," ucapnya.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi