[caption id="attachment_9445" align="aligncenter" width="150"] Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA[/caption]
Optika.id - Selasa pagi tadi, di tengah suasana peringatan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Front Kedaulatan Negara (FKN) dideklarasikan oleh mantan pengawas KPK Dr. Ir. Abdullah Hehamahua di kantor Dewan Dakwah Islamiah Indonesia, Jakarta. Dikatakan bahwa sudah 77 tahun Republik ini diproklamasikan kemerdekannya, tapi kondisi negeri ini makin jauh dari cita-cita para pendiri bangsa. Kedaulatan negara dirampas oleh kaum sekuler kiri dan nasionalis radikal yang telah diam-diam menjadikan partai politik sebagai instrumen *kudeta konstitusi* setelah berhasil mengganti UUD45 menjadi konstitusi palsu UUD2002.
Baca juga: Rebuilding Indonesia Anew
Kudeta konstitusi itu dilakukan melalui serangkaian maladministrasi publik, yaitu rekayasa perundang-undangan, tafsir dan penegakannya untuk kepentingan segelintir elite partai politik yang berselingkuh dengan para taipan pendukung logistiknya, bukan untuk kepentingan publik. Publik pemilih dibeli hak politiknya melalui Pemilihan Umum dengan harga recehan untuk mengantarkan para petinggi parpol menduduki berbagai jabatan publik. Bukannya menjalankan amanah konstitusi, para pejabat publik itu justru membuka jalan lebar bagi penjongosan ekonomi dan politik bangsa ini. Secara lambat tapi pasti kedaulatan negeri ini berpindah tangan ke oligarki yang dengan mudah mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa koreksi berarti oleh DPR dan media massa. Sementara banyak kampus asyik masyuk sibuk meraih ranking klas dunia, suara kritis segera dibungkam atau pengkritik itu dikriminalisasi atau dibunuh karakternya.
Rezim yang berkuasa saat ini praktis makin menyediakan negeri ini menjadi satelit negeri asing, baik Barat ataupun Tiongkok. Melalui hutang ribawi yang menggunung mencapai Rp. 15 T, negeri ini nyaris tergadai ke pemberi hutang. Kedaulatan Republik ini perlahan hilang saat pembangunan semakin menggantungkan pada hutang asing. Kemandirian dalam ekonomi dan kepribadian dalam budaya makin tidak dipedulikan dalam pengelolaan pembangunan. Padahal, *pembangunan seharusnya dirumuskan sebagai upaya perluasan kemerdekan*, dan pendidikan sebagai upaya belajar merdeka, bukan sekedar peningkatan kesejahteraan material semu dalam kubangan hutang ribawi masyarakat buruh.
Bung Karno benar saat mengumumkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD45 dengan semangat Piagam Jakarta demi mengatasi kebuntuan politik di Konstituante, sekaligus sebagai semacam reproklamasi kemerdekaan yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD45. Namun, dengan dukungan PKI dan PK China, Bung Karno terbukti melakukan blunder politik besar saat mencoba meramu Nasakom justru dengan menangkapi tokoh2 muslim seperti Natsir dan Hamka serta membubarkan Masyumi. Bung Karno mungkin mengira untuk sementara berhasil membebaskan RI dari pengaruh kapitalis AS, tapi jatuh kemudian pada pengaruh komunis RRT. Sejarah lalu mencatat kejatuhan Bung Karno dan munculnya Soeharto.
Baca juga: Kekalahan Resmi Politik Islam di Indonesia
FKN perlu mencermati tantangan kedaulatan yang dihadapi oleh RI sejak proklamasi kemerdekaannya, Orde Lama, Orde Baru dan zaman reformasi ini. Tantangan itu berasal dari dalam dan dari luar. Dari dalam, partai politik di DPR semakin bernafsu untuk memonopoli politik secara radikal menjadikan publik pemilih hanya para jongos politik, bahkan presiden pun menjadi pesuruh atau petugas partai. DPD pun dibuat lumpuh tak berdaya. Karena biaya politik yang makin mahal, para elite politik semakin mesra dengan para taipan yang menyediakan logistik bagi para elite politik tersebut, sementara wong cilik dan tukang bakso harus menghadapi harga minyak goreng, BBM, cabe dan kebutuhan sehari-hari yang membumbung tinggi.
Dari luar, baik China dan Barat tidak akan begitu saja mudah melepas Indonesia menjadi negara yang berdaulat. Persatuan Indonesia akan terus dirongrong oleh sentimen kesukuan yang kini marak, dan ketimpangan sosial ekonomi dan kesenjangan spasial yang memburuk. Prinsip permusyawaratan perwakilan akan terus diolok-olok oleh demokrasi _one-man one-vote_ yang memuja elektabilitas. Pembelahan bangsa menjadi masyarakat kampret dan cebong akan terus dipelihara, sementara narasi islamophobia akan terus disemburkan di tengah propaganda LGBT atas nama hak asasi manusia.
Jika puasa dapat menjadi resep bagi godaan nafsu syahwat perut dan kelamin yang digelorakan oleh hutang ribawi, maka godaan pemujaan kelompok, suku dan hak asasi harus dihadapi dengan menyembelih keakuan melalui pengorbanan diri. *Kewajiban asasi lebih primer daripada hak asasi*. Kewajiban sebagai ekspresi tanggungjawab adalah konsekuensi pertama dan utama manusia yang merdeka, dan bangsa yang berdaulat.
Baca juga: Kembali ke UUD1945: Challenges and Responses
Stasiun Gambir, 5 Juli 2022
Editor : Pahlevi